Dr. KH. Musta'ien Syafi'i, M.Ag., saat menyampaikan Khutbah Shalat Kusuf di Masjid Ulul Albab, Rabu (09/03/2016)
Dr. KH. Musta’ien Syafi’i, M.Ag., saat menyampaikan Khutbah Shalat Kusuf di Masjid Ulul Albab, Rabu (09/03/2016)

Tebuireng.org – Gerhana matahari merupakan fenomena alam yang terjadi ketika matahari telah tertutupi rembulan. Ketika matahari tertutup secara sempurna oleh bulan maka terjadilah gerhana matahari total. Walaupun daerah Jombang tidak terjadi gerhana matahari total dan malah berkabut, seluruh santri, asatifz,warga sekitar, dan peziarah tetap semangat berbondong-bondong berkumpul di Masjid Ulul Albab untuk melaksanakan Shalat Kusuf pada Rabu pagi (09/03/16).

Sebelum Shalat Kusuf dimulai, KH. Hasyim Abbas menyampaikan tata cara pelaksanaan shalat. Shalat Kusuf terdiri dari dua rakaat dan setiap rakaat terdapat dua kali pembacaan surat al-Fatihah. “Setiap rakaatnya itu ditandai oleh dua kali berdiri. Pertama membaca al-Fatihah dan membaca sebagian surat al-Baqoroh kemudian rukuk. Setelah itu berdiri lagi dan tidak boleh sujud (seperti i’tidal). Pada berdiri yang kedua imam membaca al-Fatihah, setelah itu membaca surat al-Imron,” ungkap beliau. Sujud dan rukuk Shalat Kusuf lebih lama dari sholat umumnya. Surat yang kedua tidak lebih panjang dari yang pertama. “Kemudian rukuk lagi, setelah itu i’tidal dan sujud,” tambah beliau.

Shalat Kusuf di Tebuireng dimulai pukul 07.20 dengan dipimpin oleh Dr. KH. Mustain Syafi’ie, M.Ag. Beliau mengawali dengan histori gerhana. “Gerhana mempunyai latar belakang historis yang panjang. Biasanya orang-orang melihat Tuhan berdasarkan observasi yang bersifat empirik dan meninggalkan yang magis. Namun pada akhirnya, kembali kepada Tuhan yang inmateri, yang kita disebut Allah. Sehingga meninggalkan  seluruh hal-hal yang bersifat kosmos,” tuturnya.

Tidak sama dengan pengembaraan teknologi, yakni nilai-nilai keilmuan yang sangat hakiki. Sejak dulu ada gerhana, namun persepsi publik untuk menemukan gerhana itu berbeda-beda. Karena era teknologi belum ada saat itu, maka digunakan pendekatan mistis. Seperti di negeri para dewa, India, Cina, Yunani, gerhana difahami dengan dewa yang marah. Dalam tradisi India ada semacam Betorokolo yang marah terhadap Dewa Surya (matahari) protes terhadap Indra (dewa rembulan) dibayangkan bahwa Betorokolo dihukum karena kejahatannya sehingga dipenggal kepalanya. Kepalanya terbang ke atas mencari keadilan dan akhirnya menelan Dewa Surya. Untuk membebaskan Dewa Surya dari Betorokolo maka umat Hindu melakukan kegaduhan. Apa saja yang ada mereka pukuli untuk merusak konsentrasi Betorokolo agar matahari bisa bersinar kembali.

Di Jawa ada Buto Ijo menelan matahari. Karena adanya rembesan keyakinan Hindu, orang hamil dalam kondisi gerhana akan menepuk perutnya disebabkan khawatir janinnya hilang. Di daerah Arab juga seperti itu, persis ketika wafatnya putra Nabi Muhammad, Ibrahim, masyarakat mengkaitkan gerhana dengan kematian seseorang. Namun Rasulullah menepis semua isu yang ada dengan bersabda:

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

إن الشمس والقمر آيتان من آيات الله لا يخسفان لموت أحد ولا لحياته

Artinya : “Sesungguhnya matahari dan rembulan adalah dua di antara tanda-tanda kebesaran Allah, keduanya tidaklah gerhana lantaran kematian seseorang di antara manusia“. (HR. Aisyah)

Orang-orang Yunani memberi nama hari-hari dengan nama dewa, seperti Sunday yang berasal dari kata “sun” Dewa Matahari dan “day” hari. Namun Islam memberikan nama hari dengan hitung-hitungan biasa agar lebih clean dan clear. Hari Dewa Matahari diganti dengan nama “Ahad” yang berarti satu dan hari dewa rembulan “Monday” diganti dengan “Isnain”, hari kedua. Ketika Abu Bakar ra belum masuk Islam, orang tuanya memberi nama Abdu asy-Syamsi (hamba matahari) maka saat masuk Islam dirubah oleh Rasulullah menjadi Abdullah (hamba Allah). “Begitu pula seharusnya bila seorang santri yang namanya jelek seperti misalkan bernama “musyrikin” (orang musyrik) maka wajib mengganti dengan “muslihin” (orang sholeh),” jelas beliau disambut tawa hadirin.

Gerhana matahari pantauan dari Tebuireng
Gerhana matahari pantauan dari Tebuireng

Khatib juga berpesan agar umat Islam harus lebih cerdas dalam melihat terjadinya fenomena gerhana matahari. Ada korelasinya dengan kehidupan yang ada atau tidak, seperti yang diteliti orang-orang lain. “Mohon maaf, dikalangan para santri gerhana masih disikapi dengan hanya shalat kusuf. Insya Allah kedepan harus melihat bukan hanya dari shalatnya, tapi dari ayat kebesaran Allah. Ada perubahan cuaca apa? Ada apa yang tersirat di dalamnya? Karena itulah santri-santri yang di Trensain dan SMA harus menelitinya,” tambah beliau.

Meskipun gerhana matahari adalah tanda ketuhanan yang begitu hebat, tetapi secara teologis disyariatkan empat hal. Pertama adalah berdoa kepada Allah. Kedua adalah bertakbir. Ketiga mengerjakan sholat. Keempat ialah membenarkan Allah (yakin terhadap Allah).

Sebagai penutup khutbah, khatib mengulangi hadis yang panjang tadi untuk memberikan pesan agar tidak berbuat maksiat. “Mari kita melihat berita-berita di televisi, Allah akbar la ilaa haillallah Allah akbar astaghfiruka wa atubu ilaih, sepertinya negeri ini melihat gerhana matahari total (GMT) sebagi suatu tontonan. Yang diinginkan memiliki kacamata dan pergi ke tempat yang dilintasi gerhana untuk melihat keajaiban-keajaiban. Mereka muslim namun sedikit sekali yang mengambil hikmah gerhana ini dengan pendekatan kepada Allah. Dengan demikian sesungguhnya apakah keimanan seseorang sudah betul? Ini menjadi garapan generasi kedepan, generasi pondok pesantren,” pungkas beliau. (masnun/abror)