Mantan Katib Aam PBNU, KH. Malik Madani hadiri acara halaqah ke-8 komite khittah 1926, di Pesantren Tebuireng 8, Banten. (Foto: Aros)

Tebuireng.online– Nahdlatul Ulama (NU) merupakan ormas Islam terbesar di Indonesia dengan sejarah panjang mengawal Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu, NU seharusnya tidak masuk pada tataran politik rendahan, yaitu politik praktis atau politik kekuasaan.

Hal itu disampaikan oleh mantan Katib Aam PBNU, KH. Malik Madani dalam kesempatan menyampaikan pandangan umum soal Khittah NU di Pesantren Tebuireng 8 Serang Banten. Dalam acara yang merupakan rangkaian Halaqah ke-8 Komite Khittah NU 1926 (KKNU26) itu menyampaikan pesan dari Almarhum KH. Ahmad Sahal Mahfudz.

“Dalam rapat umum di Universitas Ilmu Al Quran (Unsiq) Kalibeber, Wonosobo, Kiai Sahal mewanti-wanti agar NU tidak bermain-main dalam politik rendahan (siyasah safinah) tetapi NU bermain dalam politik tinggi (siyasah aliyah),” ungkap Kiai Asal Yogyakarta tersebut pada Sabtu (06/04/2019).

Yang dimaksud dengan politik tinggi di sini, lanjut Kiai Malik, bahwa NU tidak main pada tataran politik praktis tetapi menjalankan tiga hal yang merupakan politik tingkat tinggi. Tiga hal itu adalah politik kebangsaan, politik kerakyatan, dan etika politik.

“Politik kebangsan menuntut NU proaktif membentengi NKRI sebagai bentuk final bagi umat Islam,” jelasnya.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Sementata itu, politik kerakyatan menuntut NU agar proaktif menyadarkan rakyat atas hak-haknya sebagai rakyat agar tidak menjadi alat kekuasaan bagi elit politik. Sedangkan etika politik, NU aktif menyebarluaskan ajaran Islam tentang etika berpolitik, termasuk menolak politik uang, suap, korupsi, dan lain-lain.

Menurutnya kalau NU sudah masuk pada tataran politik kekuasaan, maka di dalamnya sarat (penuh) akan kepentingan. Selain itu, juga akan menimbulkan gesekan antara struktural dengan kultural, sehingga tidak akan pernah ada ittifaq (kesepakatan), yang ada hanya ikhtilaf (perselisihan).

PBNU, tambahnya, saat ini secara terang-terangan maupun terselubung, memobilisasi warga NU, struktur NU dalam tingkatakan pengurus wilayah sampai MWC untuk mendukung salah satu paslon. Penggiringan semacam itu, menurutnya merupakan pelanggaran terhadap Khittah NU 1926.

“Bagi mereka (memasukkan NU dalam politik praktis) adalah untuk membesarkan NU. Padahal ikut dalam politik praktis sama dengan merendahkan harkat dan martabat NU,” tegasnya di depan ratusan kiai dan ulama Banten.

Terakhir, Ia berpesan agar Komite Khittah tetap netral dan lurus untuk mengingatkan para elit PBNU bahwa mereka telah membelokkan rel Khittah NU. “Kewajiban kita mengingatkan, kalau tidak mau diingatkan ya sudah,” pungkasnya.

Pewarta: Abror Rosyidin
Publisher: RZ