Sosok Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari begitu melegenda di Tebuireng, bahkan Indonesia. Namun tak banyak orang yang bertemu langsung dengan Mbah Hasyim. Sehingga, terasa sulit untuk menghadirkan sosok Mbah Hasyim di tengah zaman yang mulai bergejolak ini. Dan tim kami, dari Majalah Tebuireng mendapatkan kesempatan langkah, bertemu dan melakukan wawancara kepada KH. Abdurrahman Bajuri yang pernah merasakan langsung nyantri di Pesantren Tebuireng, di bawah asuhan Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari.
Kabarnya, kiai adalah salah satu santri yang pernah diasuh langsung oleh Hadratussyaikh, lalu, pada tahun berapa njenengan mulai mondok di Tebuireng?
Saya menjadi santri di Tebuireng dulu pada tahun 1938. Saya masuk di Ibtidaiyyah 7 tahun, dulu belum ada Tsanawiyah ataupun Aliyah. Ibtidaiyyah saja sudah paling tinggi dalam jenjang pendidikan dan alhamdulillah, saya dapat selesaikan dalam waktu 8 tahun dan mendapatkan Syahadah (ijazah) Ibtidaiyyah. Materi pelajarannya pun sudah dapat dikatakan komplit, karena ngaji ilmu alatnya saja sudah sampai kitab Jauharul Maknun dan Uqudul Juman seperti itu dan juga termasuk dibacakan kitab Jam’ul Jawami’, yang merupakan kehendak dari Hadratussyaikh.
Pada masa njenengan nyantri di Tebuireng, apa kebiasaan yang dilakukan oleh Hadratussyaikh?
Pada saat saya mondok, Hadratussyaikh sudah sepuh seperti foto ini (sambil menunjuk foto Mbah Hasyim yang memakai serban putih, di kitab Irsyadus Syari). Setahu saya yang ini saja terlihat terlalu muda.
Untuk kesehariannya, Hadratussyaikh selalu mengenakan pakaian jubah. Di dalamnya memakai baju kurung dan di luarnya memakai jubah, jadi seperti ‘Arabiyah dan memakai serban di kepala.
Beliau ngaji Bukhari Muslim selama 3 bulan, ketika bulan Rajab, Sya’ban, sampai Ramadan, siang hingga malam tidak pernah diwakilkan, itu ngaji langganannya.
Saya hanya ngajinya ikut-ikutan karena yang ngaji ke beliau ini diikuti oleh sebagian besar kiai se-Indonesia, seperti dari Bima, Kalimantan, Bawean, Sumatera. Mbah Hasyim ketika menyampaikan pengajiannya selalu menggunakan Bahasa Jawa, enggak pernah menggunakan Bahasa Arab. Santri yang dari luar Jawa mestinya ada yang paham dan ada yang tidak, tetapi lama-kelamaan pasti akan paham dengan sendirinya.
Para kiai-kiai yang ngaji ke beliau ini juga diajak prihatinan/riyadhohan meminta kepada Allah supaya Indonesia itu merdeka. Makanya saya itu agak heran, orang Islam ini kok seolah-olah gak punya merdeka, seolah-olah merdekanya hanya milik pemerintah.
Pada tahun 1938, saya masuk nyantri di Tebuireng itu, dan perlu diingat, di Tebuireng bendera Merah Putih besar yang lebar dan panjangnya satu meter lebih itu sudah punya, sudah dikibarkan.
Ketika itu yang menjajah Belanda dan lagu Indonesia Raya sudah dikumandangkan di Tebuireng. Cuma pada saat itu, Belanda tidak mengizinkan bendera Merah Putih berkibar di tengah lapangan dan benderanya tetap dikibarkan tetapi di dalam sekolahan, walaupun demikian tetapi semangat kemerdekaanya tetap menggebu-gebu. Sampai-sampai yang memegang dan mengibarkan bendera itu naik di atas meja sambil menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya.
Ketika ada yang mimpin lagu Indonesia Raya suaranya lemes klemar-klemer, seketika Pak Wahid Hasyim masuk kelas dan menggedor papan untuk mengingatkan para santri kalau nyanyi lagu kebangsaan itu jangan lemes harus tegas dan semangat, kebetulan ndalem Pak Wahid Hasyim bertempat dekat dengan sekolah.
Apa saja yang biasa dilakukan Hadratussyaikh kala pagi sampai malam?
Kalau kegiatannya Mbah Hasyim sendiri di antaranya, menentramkan santri, setiap seminggu sekali atau sebulan sekali seluruh santri berkumpul, kemudian dinasehati sama Mbah Hasyim, Kemudian kalau mau ada kejadian apa atau ada kepentingan, baru juga dikumpulkan sama Mbah Hasyim, ini salah satu ngajinya santri kepada Mbah Hasyim. Apabila dilihat, kok santri keliatan nakal-nakal, kalau ada laporan kenakalan santri lalu dikumpulkan dinasehati, “Sampean, ning kene ki dikon ngaji, yo disangoni, mestine ki sesuk bali di takone jajane cah,” (Kamu di sini itu disuruh untuk mengaji, ya juga dibekali, mestinya nanti kalau kamu sudah pulang akan ditanyakan hasil kamu ngaji) seperti itu, nasehatnya sambil tertawa tipis.
Beliau kalau menasehati santri-santri nggak pernah marah-marah. Lah kemudian kegiatan kesehariannya beliau mengajar ngaji santri hanya ba’da Ashar saja, yang dibaca Kitab Tafsir Jalalain, Al Hikam, dan Taqrib. Khatam diulangi lagi, khatam diulangi lagi.
Keistikamahan Apa yang dilakukan oleh Hadratussyaikh?
Yang dimaksud istiqomah itu apa? Perbuatan yang dilakukan secara terus menerus. Ya perbuatan beliau memang selalu istiqomah, beliau ini kan ahli Hadis, jadi ya selalu dibacakan Hadis. Kalau kepingin dijauhkan dari fakir, maka memperbanyak membaca Laahaulawa laaquwwata illa billahil ‘aliyil a’dhim.
Dan Mbah Hasyim niku termasuk memiliki pandangan-pandangan yang selektif. Jadi setiap sesuatu yang tidak sesuai dengan akidah, tidak cocok dengan syariah, diberantas. Sudah tidak takut terhadap apapun, walaupun dibenci, dimarahi, dicaci, dan lain sebagainya, beliau tetap teguh terhadap pendirian beliau. Tetapi dengan tingkah yang halus dan selalu menunjukkan bahwa yang benar seperti ini, ada dalil Al Qurannya, ayatnya ini, hadisnya ini, selalu dengan cara halus. Dan tidak memarah-marahi menggunakan emosi dan tidak pernah menyalah-nyalahkan orang.
Beliau sangat sabar. Pernah itu ada yang menyalah-nyalahkan, menyindir, yang menggunakan nadzaman (syiir berbahas arab) sebanyak seratus bait kemudian karangan nadzaman tersebut dikirimkan kepada Mbah Hasyim berbentuk risalah yang isinya mengolok-ngolok NU, terutama mengolok-ngolok Mbah Hasyim.
Kemudian Mbah Hasyim menjawab semua tuduhannya itu juga dengan nadzaman menggunakan Bahar Rojaz sebanyak 100 bait. Kemudian nadzaman tersebut dibaca di hadapannya santri di pesantren kemudian dicetak. Isinya dijabarkan Mbah Hasyim secara detail. Setelah mengetahui penjabaran dari Mbah Hasyim ini kemudian orang yang mengolok dan kawan-kawannya sowan kepada Mbah Hasyim dan meminta maaf. Ini yang saya katakan tadi beliau itu tidak “jengkelan” tidak gampang marah. Walaupun beliaunya di olok-olok, NU-nya diolok-olok, beliau tidak pernah jengkel. Beliau membaca risalahnya itu pun sambil senyum-senyum. Kemudian dalam karangan Mbah Hasyim pun mengajak yang menyindir, “Ayo kita doakan mereka dan kawan-kawanya, supaya mendapat ampunan dari Allah,” lah… kalau kayak gitu apa enggak sangat sabarnya beliau.
Lalu, Bagaimana Sikap Hadratussyaikh dengan Masyarakat Sekitar?
Ada sebagian kecil masyarakat tidak suka dengan beliau, hanya sebagian kecil saja.
Satu desa itu ya juga ditirakati puasa sama Mbah Hasyim dan rombongan yang mau berseteru sebenarnya itu orang-orang yang nekat. Yang dipuasain sama Mbah Hasyim itu ya enggak bisa ngapa-ngapain. Yang enggak suka sama santri ya rombongannya orang-orang nekat itu. Kalau orang-orang yang mukmin ya enggak megikuti hal-hal seperti itu.
Bagaimana Sikap Mbah Hasyim Terhadap Non Muslim?
Sikap Mbah Hasyim ya biasa-biasa saja, enggak pernah bermusuhan ataupun melayani musuh, itu tidak pernah, ketika dijarak (dihina), dikasari, ya biarin saja, nanti juga capek-capek sendiri, bilang gitu,
Mbah Hasyim itu tidak pernah marah. Dan itu saja ketika melayani orang-orang kampung yang njaraki itu kehendaknya Kiai Idris. Mbah Hasyim tidak tahu. La… orang kampung yang di-bekingi (didukung) Belanda itu menantang terus dan menginginkan Mbah Hasyim, yang enggak terima ya menantunya itu, Kiai Idris. “Udah, gak usah pamit-pamit, layani aja orang-orang itu,” Kiai Idris bilang begitu. Sebab kalau pamit ke Mbah Hasyim mesti tidak bakal diizinkan
Mbah Hasyim adalah seorang pemimpin yang disegani, rahasianya apa ya Kiai?
Ya itu, Beliau tidak gampang marah. Beliau kalau dimarahin seseorang, beliau sendiri tidak marah, kan malah buat bingung yang marah. Kalau menurut saya, beliau memang benar-benar memahami Ahlussunah Wal Jama’ah, jadi kalau disuruh sendiri, pasti tidak akan mau, inginnya harus selalu bersama- sama.
Bagaimana sikap Mbah Hasyim menanggapi pemimpin non muslim?
Itu kan sudah jelas di Al Quran, Wala Tasyubbulladzina yad’una min dunillah, jangan terlalu kasar terhadap orang-orang yang tidak menyembah kepada Allah, nanti sana memaki-maki ke Allah, malah nanti Tuhannya kita dimaki-maki. Ya udah Santai saja gak usah keras-keras, dimusuhi ya enggak kaget, tenang, ikhtiyarnya ya Al Quran lah, tawakalnya tinggi sekali. Kalau sudah demikian ya Hasbunallah wa nikmal wakil, mau diapakan saja ya silahkan yang penting saya masih tetap menghidupkan agamanya Allah, gitu prinsipnya Mbah Hasyim. Jadi beliau sangat besar pasrahnya kepada Allah.
Cita-cita Apa yang Diperjuangkan oleh Mbah Hasyim?
Yang terutama itu NU, diikat persatuannya itu melalui NU. Tujuannya itu untuk mengurus faham Ahlussunah Wal Jama’ah, terutama di amar ma’ruf nahi munkar. Makanya itu beliau mengarang dan menyusun Qanun Asasi Jam’iyyah Nahdhatul Ulama’, hadisnya kurang lebih 40 dan Al Qurannya sekitar 40. Dengan demikian berarti yang diperjuangkan dahulu adalah NU pada tahun 1926, lah baru kemudian melalui NU ini Mbah Hasyim mengajak para kiai-kiai untuk merebut dan memperjuangkan kemerdekaan.
Sebab Islam tidak bakal akan jaya, liyudhhirohu ‘ala dini kullihi, ketika bangsa tidak merdeka. Dan kiai-kiai se-Indonesia itu diajak untuk memohon kepada Allah untuk diberikan kemerdekaan.
Mungkin ada pesan untuk santri-santri Mbah Hasyim era sekarang, khususnya di Tebuireng, umumnya seluruh santri calon penerus ulama?
Pesan saya, seperti apa yang telah dipesankan oleh Mbah Hasyim yang telah tertulis di Ijazah saya waktu nyantri di sana, dan pesan untuk seluruh santri beliau, “Nushihi bitaqwallah wa irsyadil ‘ibad ma fihi sa’adatuhum fi dunya wal akhiroh, sampean semua saya ingatkan, takutlah kepada Allah dan bertawakallah seterusnya, tugasmu yakni memberikan petunjuk, mengajari setiap orang, sehingga bisa menjadi orang yang beruntung dunia dan Akhirat.”
Biasanya yang mendapat pesan seperti ini hanya yang telah menyelesaikan pendidikan sekolahnya, kalau yang hanya satu tahun, dua tahun, ya enggak. Paling pesennya “Ojo kuat-kuat sing njajan, kasian orangtuamu.”
Pewawancara: Ari Setiawan
Pentranskripsi: Nazha Zamani dan Rara Zarary
*Pernah dimuat di Majalah Tebuireng edisi 49 Maret-April 2017, dimuat ulang untuk kepentingan pendidikan