Ilmu dan Waktu dalam pesan KH Hasyim Asy'ari bagi generasi muda.
KH Hasyim Asy’ari

Di tengah lanskap keberagamaan Indonesia yang majemuk, narasi lintas iman bukanlah sekadar jembatan keramahan, melainkan fondasi etis bagi kehidupan berbangsa. Dalam konteks ini, saya seorang Katolik menemukan figur KH Hasyim Asy’ari sebagai teladan spiritual yang melampaui batas identitas keagamaan. Ulama besar pendiri Pesantren Tebuireng ini tidak hanya milik umat Islam, tetapi juga sosok yang mewakili hikmat kebijaksanaan Nusantara yang bisa dibaca dan direnungkan oleh siapa pun yang mencintai kemanusiaan dan keadaban publik.

Dalam tradisi Katolik, terdapat konsep “benih-benih kebenaran” (semina verbi), yang diyakini tertanam dalam tradisi-tradisi keagamaan non-Kristiani. Konsili Vatikan II, melalui dokumen Nostra Aetate, menyatakan bahwa Gereja menghargai apa pun yang benar dan suci dalam agama-agama lain, karena semuanya mencerminkan sinar kebenaran yang menerangi seluruh umat manusia. Jika demikian, maka memahami KH Hasyim Asy’ari bukan hanya sebagai studi historis tentang seorang tokoh muslim, tetapi sebagai sebuah ziarah spiritual Katolik untuk menemukan wajah Allah dalam kehidupan orang lain.

KH Hasyim Asy’ari, dalam banyak aspek, menghidupi semangat agape (cinta kasih) yang melayani dan memberi diri bagi sesama. Meski dalam bahasa Islam nilai itu terartikulasi lewat istilah rahmah dan ukhuwah, maknanya sejajar dengan apa yang dalam tradisi Kristiani disebut kasih tanpa syarat. Salah satu bukti nyata dari kasih itu adalah ketika beliau memfasilitasi perjumpaan berbagai elemen masyarakat di pesantrennya, menjadikan Tebuireng bukan hanya ruang pendidikan Islam, tetapi juga pusat penyemaian kebangsaan.

Nilai ini mengingatkan saya pada gagasan civic friendship dari Santo Thomas Aquinas, bahwa cinta kepada tanah air dan kepada sesama warga bukan sekadar emosi, tetapi tindakan moral dan tanggung jawab spiritual. Dalam konteks Indonesia yang pada awal abad ke-20 tengah dijajah, sikap KH Hasyim Asy’ari sangat relevan jika dibaca melalui lensa teologi pembebasan. Ia menempatkan agama sebagai kekuatan pembebas, bukan semata ritualistis.

Dalam seruannya untuk mempertahankan kemerdekaan melalui Resolusi Jihad (1945), saya melihat paralel dengan pemikiran Gustavo Gutiérrez, bahwa iman sejati tidak bisa dilepaskan dari perjuangan melawan ketidakadilan. KH Hasyim Asy’ari tidak berdakwah dari menara gading, melainkan turun langsung mengkonsolidasikan umat agar melawan kolonialisme, demi martabat manusia dan bangsa. Inilah contoh konkret bagaimana iman diterjemahkan dalam praksis historis.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Saya juga tertarik pada relasi antara agama dan modernitas yang diprakarsai KH. Hasyim Asy’ari. Dalam banyak hal, beliau bukanlah sosok yang anti-modern, meskipun tetap kritis terhadap pengaruh Barat yang dianggap merusak moral umat. Posisi beliau sangat mirip dengan pendekatan Gereja Katolik pasca-Vatikan II yang mengajak umat tidak menolak dunia modern secara mutlak, tetapi mengarahkan modernitas agar tetap berakar pada nilai spiritual dan kearifan tradisional.

Dengan mendirikan lembaga pendidikan yang tidak hanya mempelajari ilmu agama, tetapi juga membuka diri terhadap ilmu umum, KH Hasyim Asy’ari memberikan warisan penting: bahwa religiositas dan rasionalitas bukan dua kutub yang saling meniadakan, melainkan dua sayap untuk terbang bersama menuju kebaikan bersama (bonum commune). Ada pula dimensi eklesiologis yang menarik bila menilik model kepemimpinan KH Hasyim Asy’ari. Ia tidak membangun kultus individualistik di sekeliling dirinya, tetapi menciptakan sistem sosial-religius yang kolektif.

Ini sangat paralel dengan gagasan kepemimpinan kolegial dalam Gereja Katolik, di mana otoritas tidak bersifat absolut, melainkan selalu dikaitkan dengan pelayanan, partisipasi, dan semangat sinodal. Pesantren Tebuireng, dalam hal ini, bisa dibaca sebagai semacam ecclesiola (komunitas kecil) yang menjalankan prinsip-prinsip transformatif agama dalam skala lokal, tetapi berdampak luas secara nasional.

Namun yang paling menyentuh saya justru bukan pencapaian politik atau kelembagaan KH Hasyim Asy’ari, melainkan spiritualitas pribadinya. Dalam kesaksiannya, banyak santri dan sahabat menggambarkan beliau sebagai sosok yang penuh kerendahan hati, tawadhu, serta disiplin dalam ibadah dan laku hidup. Saya membayangkan jika beliau hidup sezaman dengan para santo Katolik dari era kontemporer, ia bisa bersanding dengan orang-orang seperti Santo Oscar Romero atau Santa Teresa dari Kalkuta, tokoh-tokoh yang hidup bagi orang kecil, tidak gila hormat, dan mengandalkan doa sebagai sumber kekuatan moral.

Tentu saja, saya tidak mengafirmasi semua ajaran Islam sebagaimana yang dianut KH Hasyim Asy’ari. Tetapi di luar wilayah dogma, kita dipanggil untuk saling belajar dalam semangat mutual enrichment. Bahkan, Paus Fransiskus dalam Fratelli Tutti menegaskan pentingnya membangun persaudaraan universal dengan mereka yang berbeda agama, tanpa harus menyeragamkan iman. Dalam terang itulah saya merasa penting untuk menulis dan merenungkan sosok ulama besar ini: bukan sebagai objek studi, melainkan sebagai sesama peziarah iman yang telah memberikan cahaya dari jalannya sendiri.

Dalam konteks Indonesia hari ini, ketika agama sering kali direduksi menjadi identitas politik dan simbol-simbol yang saling bertabrakan, kita butuh teladan seperti KH Hasyim Asy’ari. Keteguhan spiritual dan keberpihakan sosialnya menjadi oase di tengah gurun kebencian identitas. Kita butuh lebih banyak narasi lintas iman yang tidak berhenti pada toleransi pasif, tetapi melangkah lebih jauh pada pengakuan akan kebajikan yang hadir dalam diri yang lain.

Saya membayangkan seandainya umat Katolik berkunjung ke Tebuireng bukan dengan rasa curiga, melainkan dengan rasa syukur. Bahwa di tempat itu pernah lahir seorang guru bangsa, yang ajarannya bisa memperkaya kehidupan rohani siapa pun yang mau mendengar. Begitu juga sebaliknya, jika umat Islam datang ke gereja bukan untuk membandingkan, melainkan untuk belajar tentang cinta dan pengorbanan. Di sanalah agama menjadi jembatan, bukan sekat; rahmat, bukan ancaman.

KH Hasyim Asy’ari mungkin tidak akan dikenal dalam kalangan gerejawi seperti para Santo atau Bapa Gereja. Tapi bagi saya pribadi, ia adalah “orang benar” dalam pengertian biblis yang telah hidup sesuai dengan terang yang diberikan kepadanya. Dan karena itu, ia layak disebut sebagai teladan untuk semua iman.

Baca Juga: Ingin Tahu Islam dan Pesantren, 12 Pastor Lintas Negara Kunjungi Tebuireng


Penulis: T.H. Hari Sucahyo, Peminat masalah Sosial, Religi, dan Budaya. Penggagas Lingkar Studi Adiluhung dan Kelompok Studi Pusaka AgroPol