Oleh: Muhammad Masnun*

Di tahun 2020 ini umat manusia diguncang pandemi virus corona 19. Semua negara begitu serius untuk mengurangi penyebaran dan dampak virus ini. Ada dua pendekatan yang umum dipakai, yakni lockdown (mengunci akses suatu daerah) dan rapid test (melakukan pemeriksaan massal).

Dalam sejarah Islam pernah terjadi wabah yang berbahaya di zaman Sahabat Umar bin Khattab. Khalifah Umar membatalkan perjalan menuju ke Syam karena sedang dilanda taun. Selain itu, Rasulullah Muhammad Saw. juga memerintahkan untuk tidak mendekat ke daerah yang terkena wabah dan bagi yang terdampak tidak boleh keluar.

Masyarakat umum diminta oleh pemerintah untuk menjaga jarak agar mengurangi penyebaran virus corona. Sangat cepat dan mudah sekali menyebarnya virus ini. Bisa melalui kontak fisik maupun dari droplet (rintik air) saat bersin. Orang yang pernah satu forum/majelis sangat mudah sekali terinfeksi. Baru-baru ini ada masjid di Kebon Jeruk, Jakarta Barat, yang tiga orang jamaahnya positif terinfeksi Corona. Akibatnya sekitar 200 orang jamaah yang ada di masjid itu diisolasi selama 14 hari.

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan menggunakan istilah pembatasan sosial (social distancing). Namun istilah ini memberikan beberapa pengertian/pemaknaan yang kurang presisi. Menjaga jarak bukan berarti tidak boleh melakukan sosialisasi. Tetapi yang dijaga adalah kontak fisik antar individu. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendorong penggunaan kalimat phyisical distancing (pembatasan fisik). Gagasan tersebut difungsikan untuk menjernihkan pemahaman bahwa perintah untuk tetap di rumah dalam masa wabah virus corona 19 ini tidak berarti memutuskan kontak dengan teman dan keluarga, tetapi menjaga fisik untuk memastikan penyakit ini tidak menyebar. 

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Media sosial dan teknologi informasi sudah cukup memenuhi kebutuhan interaksi sosial antar manusia. Tetapi yang ramai malah caci-maki, saling menghujat, dan mengkambinghitamkan orang lain karena corona. Muncul pula ustadz-ustadz dan dokter-dokter baru di media sosial. Dunia daring menjadi semakin gaduh dan merisihkan dunia nyata. Sudah cukuplah kita mengikuti kiai-kiai di lembaga sosial yang ada seperti Majelis Ulama Indonesia, Nadhlatul Ulama, Muhammadiyah, atau sejenisnya. Lembaga-lembaga yang pastinya mempertimbangkan maslahah (kebaikan) dan mafsadah (keburukan) di dalam setiap keputusannya.

Mungkin virus corona ini salah satu peringatan dari Tuhan pula. Jalaluddin Rumi dalam Al Masnawi, mengatakan, “Lakukanlah segala sesuatu sesukamu terhadap alam. Entah itu penyiksaan ataupun pengerusakan. Karena yang Maha Adil selalu dalam pengamatan. Menunggu menyerap. Memberi balasan sebelum Hari Perhitungan.”

Selain itu, ketika kita banyak kegiatan menjadikan waktu untuk ibadah terasa begitu sempit, semua tergesa-gesa, shalat ingat rapat, ingat tugas. Namun bagaimana kalau banyak waktu kosong seperti sekarang? Hampir seluruh kegiatan diminta untuk dilaksanakan di rumah. What will you do? Seberapa besar keinginanmu untuk mendekatkan diri kepada Allah?

“Terkadang istri dan anak dapat menyibukkan suami atas ketaatan kepada Allah, sehingga menariknya untuk bekerja keras mencari dunia, menghimpun harta, menyimpan harta, bermegah-megahan, dan berbangga-bangga dengan harta dan anggota keluarga,” tutur KH. M. Hasyim Asy’ari.

Apakah bosan di rumah? Ya, itu masalah klasik. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Nadiem Makarim, mengungkapkan bahwa ujung masalah di Indonesia adalah sumber daya manusia. Masalah yang dihadapi zaman ini dan ke depan tidak bisa ditebak, seperti munculnya virus corona ini. Bagaimana manusia merubah kegiatan yang awalnya begitu banyak di luar rumah hingga menjadi hanya di rumah? Pastinya bagi yang tidak adaptif maka akan terasa begitu membosankan. Beda lagi dengan anak yang terbiasa di dalam rumah, dia tidak terlalu meraskan dampak virus ini.

Nadiem juga menyampaikan bahwa bila sumber daya manusia kuat, apapun masalah yang dihadapi akan bisa diatasi. Anak muda bisa beradaptasi dengan berbagai kondisi yang perubahannya begitu cepat. Kegiatan di rumah secara terus-menerus akan menuntut seseorang untuk kreatif. Jadwal dan tata kelola keluarga ditentukan oleh diri-sendiri. Anak-anak yang biasanya ke sekolah dan diajar gurunya, kini dididik oleh orang tuanya sendiri. Full day home, mungkin bisa muncul istilah seperti itu. Yang bisa memberi contoh kebaikan dan teladan, ya hanya anggota keluarga itu sendiri.

Tetapi mungkin karena kembali ke sifat dasar seseorang. Seperti Pramodia Ananta Toer‎, dia malah lebih produktif saat di penjara. Kemudian Walikota Mojokerto yang pernah tersandung kasus, kemudian beliau malah bersyukur ketika di penjara. Diungkapkan bahwa ketika saat di dalam penjara malah lebih punya waktu untuk Allah. Sebelumnya terlalu sibuk dengan urusan bersama orang lain. Begitu pula dengan yang terdampak program di rumah aja ini. Pastinya kegiatan yang dilakukan adalah yang sesuai dengan hati nuraninya.

Semoga dengan lebih seringnya kita di dalam rumah ini menjadikan hati lebih tenang dan lebih fokus beribadah. Seperti ungkapan, Emha Ainun Najib, “Dalam sunyi kita temukan kekhusyukan. Dalam kekhusyukan kita temukan keindahan.”‎ 

“Ketenangan hati dan ketentraman jiwa itu lebih berharga dari harta dan pangkat,” Habib Anis bin Alwi al Habsyi. ‎”Kau mencari-cari pusaka berharga di seluruh pelosok dunia ini, padahal sejatinya ia adalah kau sendiri,” Jalaluddin Rumi.

“Setiap kejadian ada waktunya, setiap musibah ada akhirnya,” Syekh Abdul Qadir Al Jilani.


*Alumni Ma’had Aly Hasyim Asy’ari