
Dalam beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan semakin maraknya narasi tentang dunia pesantren yang muncul di ruang-ruang publik. Buku, artikel jurnal, film dokumenter, hingga ceramah YouTube banyak membicarakan bagaimana kehidupan para santri dijalankan, nilai-nilai apa yang mereka anut, dan seperti apa kiprah pesantren dalam membentuk karakter bangsa.
Namun, ada satu kejanggalan yang tak bisa diabaikan, mengapa mayoritas narasi itu justru datang dari luar pesantren? Yang paling sering bicara tentang pesantren ternyata bukan para santri sendiri, melainkan pihak-pihak yang memandang dari luar pagar yakni akademisi, jurnalis, aktivis, atau politisi.
Mereka menjadi penafsir sekaligus juru bicara bagi sebuah dunia yang tidak mereka tempati. Fenomena ini membuat santri terkesan hanya sebagai “bahan cerita”, alih-alih menjadi penyampai langsung kisah hidupnya.
Baca Juga: Peran Pesantren dalam Membangun Toleransi di Tengah Perbedaan
Padahal, para santrilah yang paling memahami kehidupan pesantren secara utuh. Mereka menjalaninya setiap hari. Dari bangun dini hari untuk salat dan mengaji, mengikuti pengajian kitab, belajar mandiri di sela jadwal yang padat, hingga berinteraksi dengan sesama dalam lingkungan yang serba terbatas namun penuh makna.
Semua itu membentuk pengalaman yang tak bisa sepenuhnya dipahami dari luar. Menulis dari sudut pandang santri berarti menyampaikan cerita dari dalam, dengan nuansa yang tidak bisa ditangkap hanya lewat observasi atau penelitian.
Representasi yang dikendalikan dari luar membuat dunia pesantren kehilangan nuansa. Di satu sisi, pesantren dipuja setinggi langit sebagai penjaga moral bangsa; di sisi lain, kadang juga dicurigai sebagai sarang konservatisme atau radikalisme.
Dua gambaran ekstrem ini lahir dari kekosongan suara internal yang seharusnya menyampaikan realitas apa adanya, yakni yang utuh, jujur, dan tak terseret romantisme berlebihan maupun prasangka negatif.
Dunia pesantren lebih dari sekadar tempat menuntut ilmu agama. Ia adalah ruang hidup; tempat bertumbuhnya pemikiran, semangat kolektif, budaya adab, dan jaringan sosial yang tak mudah dilihat mata telanjang.
Potensi seperti ini hanya akan mengemuka jika para santrinya sendiri hadir di ruang publik dengan membawa narasi dari dalam bukan hanya lewat ucapan, melainkan juga lewat tulisan yang menggugah dan menggugat.
Santri perlu menulis. Tak semata untuk mengisi waktu luang atau sekadar mengejar lomba, tapi untuk memastikan bahwa pengalaman mereka tidak menguap begitu saja. Menulis menjadi jembatan antara pengalaman personal dan pemahaman publik.
Lewat tulisan, dunia tahu bahwa kehidupan pesantren bukan sekadar hafalan dan doa, melainkan juga refleksi, kegelisahan, dan pemikiran mendalam tentang zaman.
Baca Juga: Di Balik Tuduhan Feodalisme dalam Tubuh Pesantren
Di tengah dunia yang dipenuhi dengan opini liar dan narasi instan, suara santri punya kekuatan penyeimbang. Mereka tumbuh dalam tradisi Islam yang penuh kesabaran dan keilmuan, belajar menghargai perbedaan, dan terbiasa hidup dalam keragaman tanpa gaduh.
Di saat narasi keagamaan makin keras dan bising, pendekatan santri bisa menjadi angin sejuk mengajak tanpa memaksa, menyapa tanpa menghakimi. Tentu, kebiasaan menulis tidak tumbuh begitu saja. Perlu ditanam, dipupuk, dan dirawat. Pesantren perlu mulai menata ulang budaya literasi di dalam temboknya.
Sudah saatnya santri tidak hanya dikenalkan pada literatur klasik, tapi juga diberi ruang untuk merespons dunia melalui kata-kata mereka sendiri. Menulis bisa menjadi semacam “ngaji baru”, yakni mengaji realitas, mengaji perubahan, dan mengaji masa depan.
Langkah-langkah kecil bisa membuka jalan lebar. Majalah dinding, buletin internal, forum diskusi sastra, pelatihan menulis semua itu bisa menjadi pemicu awal lahirnya santri-santri penulis. Bukan hanya untuk konsumsi internal, tapi untuk tampil di media nasional, jurnal populer, bahkan platform digital tempat generasi baru mencari referensi hidup.
Lebih dari itu, pesantren juga perlu sadar bahwa zaman telah berubah. Dunia kini membaca dalam banyak bentuk: bukan hanya dalam buku, tetapi juga dalam bentuk cuitan pendek, video singkat, infografis, hingga narasi visual.
Bila pesantren hanya diam, maka yang tampil di panggung adalah versi-versi karikatural yang bisa jadi menyesatkan. Maka dari itu, pesantren harus mulai belajar berbicara dalam bahasa zaman tanpa kehilangan ruhnya.
Santri hari ini dituntut untuk tidak hanya tekun mengaji, tetapi juga tanggap terhadap dinamika sosial. Kemampuan menyampaikan gagasan menjadi keterampilan yang tak kalah penting dari menghafal teks.
Baca Juga: Pesantren Tebuireng dan Penanaman Nilai Toleransi Pada Santri
Kecakapan berbicara, menulis, dan menyampaikan pandangan secara terbuka bukanlah kemewahan, melainkan kebutuhan zaman yang harus dijawab. Menulis bagi santri bukan sebentuk pelarian, melainkan jalan untuk berperan. Lewat tulisan, santri tak lagi hanya dikenal lewat identitas mereka dikenal lewat gagasan.
Inilah cara paling sederhana namun bermakna untuk ikut menjaga marwah pesantren di tengah arus informasi yang semakin keras dan cepat. Karena selama santri memilih diam, selama itu pula tafsir tentang pesantren akan terus didefinisikan oleh pihak luar. Dan jika itu dibiarkan, pesantren bisa kehilangan posisi pentingnya dalam percakapan intelektual kebangsaan.
Penulis: Achmad ‘Adzimil Burhan Al-Hanif
Editor: Rara Zarary