
Mengapa surah an-nisa’ ayat 34 ini penting untuk dibahas? Ayat tersebut menyebut bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan. Kalimat ini telah lama menjadi sorotan, terutama dalam isu kesetaraan gender. Banyak yang memahami ayat ini sebagai bentuk keunggulan laki-laki dalam rumah tangga maupun masyarakat, tapi tidak sedikit pula yang mempertanyakan keadilannya terhadap perempuan. Berikut isi surah An-Nisa’ ayat 34:
اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْۗ فَالصّٰلِحٰتُ قٰنِتٰتٌ حٰفِظٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّٰهُۗ وَالّٰتِيْ تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِى الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّۚ فَاِنْ اَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلًاۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيْرًا ٣٤
Artinya: “Laki-laki (suami) adalah penanggung jawab atas para perempuan (istri) karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari hartanya. Perempuan-perempuan saleh adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, berilah mereka nasihat, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu,) pukullah mereka (dengan cara yang tidak menyakitkan). Akan tetapi, jika mereka menaatimu, janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.”
Dalam sejarah tafsir klasik, ayat ini sering dijadikan landasan bahwa laki-laki memang memiliki kekuasaan lebih tinggi dibanding perempuan, termasuk dalam hak mengambil keputusan dan mendidik istri. Padahal, konteks sosial dan budaya zaman dulu tentu berbeda jauh dengan kondisi masyarakat saat ini. Maka tak heran jika muncul kebutuhan untuk membaca ulang makna ayat ini agar lebih sesuai dengan nilai keadilan dan kemanusiaan.
Pendekatan baru dalam menafsirkan ayat ini tidak berarti mengubah isi Al-Qur’an, melainkan mencoba memahami makna yang lebih dalam sesuai semangat zaman. Di sinilah peran pemikir seperti Abid al-Jabiri menjadi penting ia menawarkan cara pandang yang lebih menyeluruh dan kontekstual terhadap ayat ini.
Abid al-Jabiri adalah seorang pemikir Muslim asal Maroko yang hidup di tengah gejolak perubahan sosial dan politik. Ia lahir tahun 1935 dan aktif dalam dunia filsafat serta politik, terutama memperjuangkan kemerdekaan negaranya dari penjajahan. Latar belakang inilah yang membentuk cara pandangnya yang kritis terhadap budaya dan tafsir keislaman yang konservatif.
Al-Jabiri terkenal karena proyek besarnya, “Kritik Nalar Arab,” yang mengajak umat Islam berpikir ulang secara kritis terhadap warisan intelektual Islam. Ia juga menulis tafsir al-Quran berjudul Fahm al-Qur’an al-Hakim, yang unik karena disusun sesuai urutan turunnya wahyu, bukan urutan mushaf seperti umumnya.
Pemikiran al-Jabiri menekankan pentingnya memahami ayat-ayat al-Quran dalam konteks historis dan sosial di masa Nabi. Ia tidak hanya berpegang pada teks, tetapi juga menggali latar belakang dan semangat zaman ayat itu diturunkan. Karena itulah, pendekatannya sangat cocok untuk membahas isu-isu modern seperti kesetaraan gender.
Makna Qiwamah: Bukan Dominasi, Tapi Tanggung Jawab
Salah satu fokus utama al-Jabiri dalam menafsirkan Surah An-Nisa’ ayat 34 adalah kata “qawwamun” yang sering diterjemahkan sebagai “pemimpin”. Bagi sebagian orang, ini seolah menunjukkan bahwa laki-laki adalah penguasa perempuan. Namun al-Jabiri tidak setuju dengan pemahaman seperti itu.
Ia menjelaskan bahwa qiwamah seharusnya tidak diartikan sebagai dominasi laki-laki, tapi lebih pada tanggung jawab yang diberikan kepada mereka, khususnya dalam menafkahi dan melindungi keluarga. Ia juga menolak pemahaman yang mengaitkan kepemimpinan ini dengan hak untuk memukul istri, karena hal itu bertentangan dengan semangat keadilan dan kasih sayang dalam Islam.
Menurut al-Jabiri, tafsir yang membenarkan kekerasan dalam rumah tangga sering kali didasarkan pada riwayat-riwayat yang lemah. Ia mengajak umat Islam untuk kembali melihat konteks sosial dan tujuan utama syariat, yaitu menjaga kehormatan dan kesejahteraan setiap individu, termasuk perempuan.
Perempuan di Zaman Nabi: Aktif dan Berani Bersuara
Al-Jabiri menunjukkan bahwa perempuan di masa Nabi Muhammad SAW punya peran yang penting dalam kehidupan sosial. Mereka tidak hanya berperan di rumah, tapi juga berani menyampaikan pendapat, bahkan terhadap Nabi sekalipun. Hal ini menunjukkan bahwa Islam tidak pernah membungkam suara perempuan.
Salah satu contohnya adalah ketika ayat warisan turun dan menyebut laki-laki mendapat dua bagian dari harta dibanding perempuan. Para perempuan bertanya-tanya, apakah ini adil? Allah lalu menjawab bahwa setiap orang akan mendapat balasan sesuai dengan amalnya, baik laki-laki maupun perempuan. Ini menegaskan bahwa hak perempuan tidak lebih rendah dari laki-laki dalam pandangan Allah.
Dengan memahami konteks sosial di Madinah, al-Jabiri melihat bahwa perempuan saat itu punya kekuatan dan suara dalam berbagai aspek kehidupan. Oleh karena itu, tafsir terhadap ayat-ayat tentang perempuan tidak bisa dilepaskan dari realitas sosial tersebut. Ia ingin menunjukkan bahwa kesetaraan adalah bagian dari nilai Islam sejak awal.
Pemukulan dalam Ayat: Apa Maksud Sebenarnya?
Ayat 34 Surah An-Nisa’ juga membahas soal pemukulan istri. Banyak yang menganggap ini sebagai pembenaran atas kekerasan rumah tangga. Tapi al-Jabiri menawarkan penafsiran yang berbeda. Menurutnya, pemukulan yang dimaksud bukanlah kekerasan fisik.
Ia menjelaskan bahwa langkah-langkah menghadapi ketidakharmonisan rumah tangga dimulai dari nasihat, lalu pisah ranjang, dan terakhir, jika terpaksa pemukulan ringan sebagai simbol, bukan menyakitkan. Dalam hadis, Nabi menjelaskan bahwa itu pun seperti menggunakan siwak, yaitu ranting kecil, dan bahkan beliau menegur keras suami yang bertindak kasar.
Bagi al-Jabiri, ayat ini bukan mendorong kekerasan, tapi justru mengatur batas agar konflik tidak makin parah. Ia ingin menegaskan bahwa Islam tidak membenarkan perlakuan kasar terhadap perempuan, apalagi jika hanya untuk menunjukkan kekuasaan laki-laki.
Kritik dan Respons terhadap Pemikiran Al-Jabiri
Meskipun pemikiran al-Jabiri dianggap progresif, bukan berarti tanpa kritik. Salah satu catatannya adalah penjelasan al-Jabiri soal posisi perempuan di Madinah perlu dilengkapi dengan bukti sejarah yang lebih kuat. Ia menyebut bahwa perempuan di Madinah lebih kuat dari di Makkah, tapi tidak memberikan banyak contoh konkret untuk mendukung argumen ini.
Namun secara umum, pendekatan al-Jabiri memberi angin segar bagi tafsir yang ramah perempuan. Ia berani mempertanyakan tafsir yang tidak sesuai dengan nilai-nilai keadilan, dan membuka ruang bagi pembacaan al-Quran yang lebih humanis dan kontekstual.
Penutup
Apa yang ditawarkan oleh Abid al-Jabiri bukanlah tafsir baru yang menyalahi ajaran Islam, tapi usaha untuk memahami makna al-Quran sesuai dengan perubahan zaman dan nilai-nilai keadilan. Dalam hal ini, ia menekankan bahwa laki-laki dan perempuan adalah mitra sejajar dalam kehidupan, bukan atasan dan bawahan.
Dengan menolak pemahaman dominatif dan membela pendekatan kontekstual, al-Jabiri menunjukkan bahwa Islam bisa sangat relevan dalam isu-isu modern, termasuk soal kesetaraan gender. Ia mengingatkan bahwa tafsir tidak boleh berhenti di masa lalu, tapi harus terus berkembang mengikuti perkembangan zaman.
Kesetaraan dalam Islam bukan berarti menyeragamkan laki-laki dan perempuan, tapi memastikan keduanya diperlakukan adil sesuai kemampuan dan perannya. Tafsir seperti inilah yang bisa membantu umat Islam menjalani kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat dengan lebih harmonis dan bermartabat.
Baca Juga: Al-Qur’an Mengakui Kesetaraan Gender
Penulis: Wahyu Nur Oktavia, Mahasiswi UIN Sunan Ampel Surabaya.
Editor: Muh. Sutan