sumber gambar: www.google.com

Tebuireng.online– Jakarta, Pada tanggal 5 Oktober 1965 bersama PBNU, Muslimat menandatangani sikap mengutuk penghianatan PKI. Muslimat NU saat itu diwakili Nyai Sholeha Wahid Hasyim. Pada hari yang sama, Muslimat NU juga turut menandatangani pernyataan sikap Front Pancasila agar Pemerintah menindak tegas dan membubarkan PKI.

Setahun sebelum meletusnya G/30S PKI, pada 1964 Muslimat NU gencar melakukan Sukarelawati bertempat di Pusat Pendidikan Hansip Pusat. Kegiatan ini dipimpin oleh Nyai Saifuddin Zuhri dengan pengasuh asrama Chadidjah Imron Rosjadi. Kegiatan ini mendapat restu dari PBNU melalui surat tanggal 5 Oktober Nomor 2207/B/x/64.

Materi pendidikannya antara lain baris berbaris, teknik menggunakan senjata, latihan menembak, bongkar pasang senjata dengan mata tertutup, cara menanggulangi kebakaran, PPPK, dan perawatan keluarga. Kegiatan ini diikuti peserta dari berbagai daerah.

Dua hari setelah meletusnya G/S30 PKI, Muslimat NU membuat pernyataan sikap menolak permintaan Dewan Revolusi memasukkan nama Mahmudah Mawardi sebagai anggota. Pada 2 Oktober 1965, Nyai Sholeha Wahid Hasyim kembali mewakili Muslimat NU dalam menghadiri rapat MPRS.

Tak berhenti di sana, Muslimat NU dengan dikomandoi Nyai Sholeha juga meminta Departemen Pendidikan dan Kebudayaan untuk membubarkan Taman Kanak-kanak “Melati” yang dikelola oleh Gerwani (Gerakan Perempuan Indonesia), sayap perempuan PKI. Isu pembubaran ini dibawa Muslimat pada rapat Dewan Pimpinan Kongres Wanita Indonesia (Kowani).

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

“Akhirnya TK melati diambil alih dari Gerwani oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,” ungkap Ketua 1 Pimpinan Pusat (PP) Muslimat NU Sri Mulyati saat ditemui di kantor pusat Muslimat NU di Kalibata, Jakarta Selatan, Ahad (8/12).

Perjuangan melawan PKI terus dilakukan Muslimat NU, pada tanggal 8 November 1965 di bawah pimpinan Asmah Sjachruni (Muslimat NU) dan Nyai Arudji Kartawinata (PSII) mengadakan demonstrasi besar-besaran menuntut pembubaran PKI. Perjuangan Muslimat juga dilakukan dalam organisasi Kesatuan Aksi Perempuan Indonesia (KAWI). KAWI bubar setelah tuntutan Tritura (bubarkan PKI, bubarkan Kabinet dan turunkan harga barang) terwujud.

Setelah PKI bubar, Nyai Soleha kembali melanjutkan perjuangannya lewat pendidikan, sosial dan keagamaan seraya membesarkan putra-putrinya. Gerakan secara kultural ini berlanjut hingga wafat. Nyai Sholeha tidak menikah lagi setelah cerai wafat dengan Kiai Wachid Hasyim. Meskipun saat itu usianya masih 30 tahun saat menjanda.

Dalam karier politik, Nyai Soleha pernah menjadi anggota DPRD DKI pada pemilu 1955. Pada 1960 ia diangkat menjadi anggota DPR GD dan menjadi anggota DPR RI pada tahun 1971 mewakili partai Nahdlatul Ulama. Pada 1982 terpilih lagi melalui Partai Persatuan Pembangunan (PPP) hingga1987.

Selain berjuang di parlemen, Nyai Sholeha juga turut serta mengisi pembangunan Indonesia yang baru merdeka. Dalam periode 1958-1960, di jajaran Badan Kerja Sama (BKS) Perempuan militer yang digerakkan ABRI, Muslimat NU memperoleh kepercayaan duduk sebagai wakil Bendahara atas nama Sholeha Wahid Hasyim lagi. Selanjutnya pada periode 1960-1962 posisi ini digantikan oleh Malichah Agus dan dilanjutkan oleh Aisyah Hamid Baidlowi (1963-1964).

Bulan Desember sejak tahun 2009 identik dengan Gus Dur (Abdurrahman Wahid). Hal ini berkaitan dengan erat dengan tanggal wafatnya Gus Dur yang jatuh pada 30 Desember 2009. Membicarakan Gus Dur tidak akan lengkap tanpa membahas sosok perempuan yang melahirkannya, Nyai Sholeha Wachid Hasyim atau istri dari mantan Menteri Agama RI KH A Wachid Hasyim.

Dalam ‘Seribu Jilid Makna Jejak Ibu” pada buku Ibuku Insiprasiku, Gus Dur mengatakan bahwa ibunya bagaikan “Ayam Induk” bagi pimpinan NU. Ibunya tidak banyak bicara tentang kesetaraan gender, tetapi beliau melaksanakannya jauh sebelum masyarakat membahasnya.

Tokoh yang sangat dihormati Gus Dur ini, wafat pada Jum’at, 29 Juli 1994, sekitar pukul 23.00 WIB di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta. Usianya kala itu 72 tahun. Jenazahnya dimakamkan di kompleks pemakaman Tebuireng Jombang.

Sang Bunda dilahirkan di Jombang pada 11 Oktober 1922. Ia anak kelima KH Bishri Syansuri dengan istri Nyai Hj Nur Chadijah (adik dari KH A Abdul Wahab Hasbullah) dari 10 saudara.

“Nama kecilnya adalah Munawwaroh,” kata Sri.

Munawwaroh kecil dididik dalam bidang keilmuan pesantren oleh ayahnya di Pesantren Denanyar. Saat usia menginjak 14 tahun, ia dinikahkan dengan Gus Abdurrahim, anak dari Kiai Cholil Singosari, tetapi sang suami kemudian wafat pada tahun awal pernikahan mereka.

Selanjutnya ia menikah dengan Kiai Wachid Hasyim pada tahun 1936 M, tepat hari Jum’at, 10 Syawal 1356 H. Setelah menikah, pada awalnya, mereka tinggal di Denanyar, tetapi kemudian pindah ke Pesantren Tebuireng, sampai sekitar tahun 1942.

Nyai Soleha bagi Gus Dur merupakan sosok yang lengkap, selain ibu juga bertugas sebagai ayah. Dikarenakan ayahnya Gus Dur wafat saat ia masih kecil. Karakter Gus Dur banyak dipengaruhi oleh Nyai Sholeha Wachid Hasyim. Sifat yang turun ke Gus Dur terpancar dalam keteguhan memegang prinsip dan kepedulian kepada mereka yang terpinggirkan. Kemudian hari tak mengherankan Gus Dur dikenal sebagai bapak pluralisme Indonesia.

Gus Dur begitu mencintai dan taat pada ibunya. Sering kali dalam rapat keluarga Gus Dur punya pandangan sendiri yang berbeda dengan adik-adiknya. Ketika tidak ditemukan solusi karena Gus Dur tidak sepakat, maka saudara-saudaranya melaporkan ke Nyai Sholeha jika Gus Dur tidak sepakat. Ajaibnya, saat sang ibu meminta Gus Dur mengikuti hasil rapat, maka ia pun segera mengiyakan.

Sejarah mencatat, keahlian dalam diplomasi yang dimiliki oleh kader Muslimat NU seperti Nyai Sholeha membuat ia bisa duduk di parlemen. Ini juga menjadi pertimbangan pemerintah saat itu sehingga melibatkan Muslimat NU dalam Kongres Islam Asia Afrika yang di selenggarakan di Bandung 1964.

“Pimpinan Muslimat NU yang masuk dalam jajaran kepanitian acara ini adalah Nyai Sholeha Wahid Hasyim (Wakil Bendahara) sendiri dan Mahmudah Mawardi (SC) yang merangkap sebagai juru bicara mewakili Indonesia,” tambah Sri.

Beberapa organisasi sosial yang digeluti Nyai Sholeha antara lain Yayasan Dana Bantuan (YDB), Yayasan Bunga Kamboja, Ikatan Keluarga Pahlawan Nasional Indonesia (IKPNI), Home Care, panti jompo dan pengajian untuk para ibu yang dinamakan al-Ishlah di Mataraman. Di dalamnya ia sangat aktif dan cukup berperan.

Sosok Nyai Sholeha tergambar jelas dalam buku “Ibuku inspirasiku” yang ditulis oleh kedua putranya, Gus Dur dan Pengasuh Tebuireng saat ini KH Salahuddin Wahid. Nyai Sholeha Wahid di mata kedua putranya adalah pribadi yang terbuka dan mudah bergaul dengan siapa saja, ia sangat rajin melakukan silaturrahim dengan banyak pihak.

Kediamannya kerap menjadi tempat pertemuan tokoh-tokoh bangsa terutama kaum Nahdliyin untuk berdiskusi dan merancang strategi. Apalagi saat dua tokoh NU KH A Wahab Hasbullah dan KH Bisri Syansuri masih hidup.

“Nyai Sholeha adalah Muslimat sejati, meskipun membesarkan enam anaknya sendiri tapi sukses mengantar anaknya menjadi orang besar. Seperti Gus Dur yang jadi ketua umum NU dan presiden,” tandas Sri.

Pewarta: Syarif Abdurrahman