Oleh: Ma’sum Ahlul Choir*
Teori determinisme ilahi menyatakan bahwa Allah SWT telah menentukan segala sesuatu, termasuk perbuatan manusia. Teori ini seringkali menimbulkan pertanyaan mendasar mengenai keadilan Allah, khususnya dalam konteks penderitaan dan siksa yang dialami manusia kelak di akhirat. Jika Allah SWT telah menentukan segala tindakan, termasuk tindakan maksiat yang berujung pada siksa, bagaimana dapat dibenarkan adanya hukuman bagi manusia?
Tulisan ini akan menelusuri berbagai perspektif teologis dan filosofis untuk mengungkap kompleksitas hubungan antara kehendak Ilahi, perbuatan manusia, dan konsekuensinya, termasuk siksa yang diterima. Tujuannya adalah untuk mencapai pemahaman yang lebih rasional dan objektif, tanpa terjebak dalam spekulasi yang tidak berdasar.
Memang benar jika perbuatan dan kehendak manusia telah diciptakan oleh Allah di zaman azali sehingga pada hakikatnya manusia tidak memiliki kehendak apa pun atas tidakan-tindakannya, hal tersebut bisa kita ketahui dari salah satu ayat dalam al-Quran surat Al-Shaffat ayat 96:
وَاللهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُوْنَ (الصفات-96)
“Dan Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu kerjakan.”
Namun, kendati demikian tidak bisa dikatakan bahwa manusia dalam keadan terpaksa oleh kehendak Tuhannya, sebagaimana pemahaman yang dianut oleh kalangan Jabariyah. Dalam hal ini, penulis mencoba memberi jawaban atas pertanyaan yang terus muncul di benak semua orang dengan mengutip penjelasan dari Syekh Abul-Hasan Al-Asy’ari yang ditulis oleh Doctor Hamudah Ghurabah dalam kitabnya yang bertajuk Abul-Hasan Al-Asy’ari beliau menjelaskan bahwa :
“Imam Asy’ari berkata bahwa setiap orang mampu membedakan antara tindakan di luar kendalinya (idhthirâri), misalnya menggigil karena demam, dengan tindakan yang disadarinya dan dilakukan atas keinginannya sendiri, misalnya menulis. hal ini menunjukkan ketidakmampuan manusia (’âjiz) atas hal-hal yang bersifat terpaksa (idhthirâri), dan kemampuannya (qudrat) atas tindakan yang dipilihnya (ikhtiyâri). Oleh karena itu, kemampuan atau kekuatan (qudrat/istitha’ah) manusia terbukti nyata melalui kesadarannya akan kemampuan tersebut dalam berbagai aktivitas”[1].
Dari pemaparan Syekh Abul-Hasan Al-Asy’ari di atas, bisa kita ketahui meskipun amal perbuatan manusia sejatinya diciptakan oleh Allah namun di sisi lain dalam beberapa keadaan manusia juga memiliki kontrol atas perbuatannya sendiri. Sehingga tidak bisa dikatakan bahwa manusia dalam keadaan terpaksa oleh kehendak Tuhannya. Di sisi lain, Syekh Abi Ishaq Al-Isfirayini memberikan komentarnya terkait amal seorang manusia yang menurut beliau perbuatan manusia merupakan kombinasi antara dua kontrol yaitu kontrol dari Tuhan dan kontrol dari manusia itu sendiri. Kterangan ini dikutip oleh Syekh Muhammad Al-Dasuqi dalam Kitabnya yang berjudul Hasiyah Al-Dasuqi Ala Ummil Barahin:
“Dua kontrol dalam satu tindakan adalah sesuatu yang mungkin terjadi. Kontrol Tuhan erat hubungannya dengan dasar asal sebuah tindakan, sedangkan kontrol manusia ber- hubungan dengan sifat suatu tindakan. Kontrol manusialah yang menjadikan suatu tindakan tergolong baik atau buruk. Misalnya, dalam perbuatan shalat, menurut al-Isfirayini terkandung dua unsur, yaitu sebagai sebuah perbuatan dan sebagai sebuah kepatuhan. Jika ditinjau dari sisi perbuatannya, pekerjaan salat itu diciptakan oleh Allah, akan tetapi jika ditinjau dari sudut kepatuhan seorang hamba, maka termasuk ciptaan manusia. Contoh lain, perbuatan menampar anak yatim. Dari sisi perbuatannya adalah ciptaan Allah, namun dari sisi menyakitkannya adalah perbuatan manusia”[2].
Setelah mengamati pendapat Al-Isfirayini dan Al-Asy’ari di atas maka kita akan menemukan benang merah bahwa sebenarnya manusia juga ikut serta dalam mengontrol perbuatannya. Meskipun pada hakikatnya Allah yang menciptakan perbuatan tersebut, namun manusia juga ikut serta dalam mengontrol. Sehingga tidak bisa dikatakan bahwa manusia dalam keadaan terpaksa oleh kehendak Tuhannya sebagaimana asumsi kaum Jabariyah. Karena Allah sebagai Sang Pencipta telah membekali setiap manusia dengan potensi akal yang dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, di samping Allah memberinya iradah juz’iyyah (daya parsial untuk melakukan perbuatan baik dan buruk). Tidak ada alasan bagi manusia yang sudah berbuat maksiat untuk berkata, “Ini sudah takdir Tuhan”. Bukti bahwa manusia tidak dalam keadaan terpaksa adalah ketika melakukan suatu tindakan, dia merasa bahwa perbuatan itu atas kemauannya sendiri[3].
Setelah kita memahami bahwa manusia memiliki andil dalam mengontrol apa yang akan dia perbuat, meskipun pada hakikatnya Allah yang menciptakan perbuatan tersebut. Maka jika manusia berbuat maksiat, Allah akan menyiksanya atas dasar kontrol dari diri manusia tersebut yaitu memilih untuk berbuat maksiat. Dalam hal ini, Al-Maghfurlah KH. Ahmad Nawawi Bin Abd Djalil salah satu pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri memberikan jawaban secara khusus atas pertanyaan yang sering muncul di benak masyarakat dalam kitab yang beliau tulis yang bernama Al-Ma’man Min Al-Dzalalah beliau menuturkan:
“Beberapa teman bertanya kepada saya: Bagaimana perbuatan hamba di dunia berpengaruh pada akhirat? Dan bagaimana hamba yang beriman dan taat mendapatkan pahala di surga, sementara hamba yang kafir dan durhaka dihukum di neraka? Bukankah semua perbuatan itu merupakan ciptaan dan kehendak Allah, sebagaimana firman-Nya: ‘Dan Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu kerjakan’? saya menjawab: Kamu benar dalam mengatakan bahwa semua perbuatan hamba adalah ciptaan Allah, sesuai dengan firman-Nya: ‘Dan Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu kerjakan’. Namun, yang melakukan perbuatan tersebut adalah hamba, sehingga balasan-Nya atas perbuatan itu adalah karena hambalah yang melakukannya. Tidakkah kamu lihat siapa yang beriman kepada Allah? Atau siapa yang melakukan amal kebaikan dan menjauhi keburukan? Atau siapa yang mengingkari-Nya? Atau siapa yang melakukan keburukan? Semua itu adalah hamba. Dari sudut pandang bahwa hamba adalah yang melakukan perbuatan tersebut, maka dia akan mendapatkan balasan sesuai dengan amalnya. Perbuatan adalah penyebab balasan, dan pelaku perbuatan tersebut akan mendapatkan balasan, baik janji maupun ancaman dari-Nya. Jika tidak ada perbuatan dari hamba, maka tidak ada balasan untuknya.”[4].
Dari semua yang telah penulis paparkan di atas, maka jelaslah bahwa manusia akan menerima balasan sesuai dengan apa yang mereka perbuat karena dua hal yaitu karena manusia juga memiliki kontrol atas perbuatannya dan karena perbuatan itu dilakukan oleh manusia atas dasar pilihannya sehingga karena itulah manusia akan diberikan balasan surga karena ketaatannya dan neraka karena kemaksiatannya.
Baca Juga: Takdir atau Nasib yang Bisa Diubah
[1] Doktor Hamudah Ghurabah, Abu al-Hasan al-Asy’ari, (Kairo: al-Hai’ah al- ‘Ammah li Syu’ûni Mathabi’ al-Amirah, 1973), hal. 108.
[2] Muhammad ad-Dasuqi, Hasyiyah ad-Dasuqi ‘ala Umm al-Barahin, (Semarang: Toha Putra), hal. 40.
[3] Thahir bin Shalih al-Jazairi, Al-Jawahir al-Kalamiyah, (Surabaya: al-Miftah), hal. 46-48
[4] Al-Allamah KH. Ahmad Nawawi Bin Abd Djali, Al-Ma’man Min Al-Dzalalah, (Pasuruan: Sidogiri Penerbit) Hal 35-37
*Mahasantri Marhalah Tsani (M2) Ma’had Aly Hasyim Asy’ari