Oleh: Almara Sukma Prasintia*

Agama Islam mempunyai dua hari raya, yakni hari raya Idul Fitri dan hari raya Idul Adha. Hari raya Idul Adha bertepatan pada tanggal 10 Dzulhijjah. Pada hari ini diperingati acara kurban, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran bahwa pada hari ini terjadi peristiwa Nabi Ibrahim diberi wahyu (diutus) oleh Allah untuk menyembelih putranya yakni Nabi Ismail.

Dengan berat hati nabi Ibrahim memberitahu dan meminta pendapat putranya bahwa dalam mimpi ia diutus Allah untuk menyembelihnya, dan putranya bersedia untuk disembelih. Nabi Ibrahim memantapkan niatnya untuk menyembelih putranya. Nabi Ismail pasrah bulat-bulat, seperti ayahnya yang telah tawakkal.

Sedetik setelah pisau nyaris digerakkan, tiba-tiba Allah berseru dengan firmanNya, menyuruh menghentikan perbuatannya tidak usah diteruskan pengorbanan terhadap anaknya. Allah telah meridloi keduanya. Sebagai imbalan keikhlasan mereka, Allah menggantikannya dengan seekor kambing.

Menurut Wahbah al-Zuhaili kurban (udhiyyah) secara bahasa ialah nama untuk suatu hewan yang disembelih, atau untuk hewan yang disembelih pada hari raya Idul Adha. Sedangkan menurut fiqh kurban ialah menyembelih hewan tertentu dengan niat mendekatkan diri kepada Allah di dalam waktu tertentu.[1]

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Dasar hukum melaksanakan ibadah kurban sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Kautsar ayat 1-2, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

اِنَّاۤ اَعْطَيْنٰكَ الْكَوْثَرَ ، فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَا نْحَرْ 

Sungguh, Kami telah memberimu (Muhammad) nikmat yang banyak. Maka  laksanakanlah sholat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada banyak. (QS. Al-Kausar 108: Ayat 1-2)

Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah telah memberikan banyak nikmat kepada manusia, kemudian Allah memerintahkan manusia untuk shalat dan berkurban sebagai bentuk rasa syukur atas nikmat Allah.

Menurut Imam Syafi’i dalam kitab al-Umm  bahwa hukum berkurban adalah sunnah,

قال الشافعي رحمه االله تعالي الضحايا سنة لا أحب تركها

Imam Syafi’i Rohimahullah berkata: “Menyembelihan (berkurban) hukumnya sunnah dan saya tidak suka jika meninggalkannya[2]

Imam Syafi’i menjelaskan bahwa hukum berkurban adalah sunnah, akan tetapi Imam Syafi’i juga tidak suka meninggalkan kurban dalam setiap tahunnya. Sehingga imam Syafi’i setiap tahun selalu melaksanakan ibadah kurban.

Jenis hewan yang boleh dijadikan berkurban adalah kambing (domba), unta dan sapi. Selain tiga hewan tersebut maka tidak boleh dijadikan kurban.

ويجزئ فيها الجذع من الضأن، وهو ما له سَنَةٌ وطعن في الثانية، (والثني من المعز)، وهو ما له سنتان وطعن في الثالثة، (والثني من الإبل) ما له خمس سنين وطعن

Diperinci lagi bahwa kambing yang boleh dikurbankan adalah yang sudah berusia 1 tahun dan telah masuk umur dua tahun, kambing yang berusia 2 tahun menginjak umur 3 tahun. Unta yang boleh dikurbankan adalah unta yang sudah berumur 5 tahun menginjak umur 6 tahun. Sedangkan sapi yang boleh dikurbankan adalah sapi yang berumur 2 tahun menginjak 3 tahun.[3]

Dengan catatan bahwa 1 ekor kambing hanya mencukupi untuk kurban satu orang, sedangkan 1 ekor unta atau 1 ekor sapi bisa mencukupi kurban 7 orang.

Huwallahu’alam


[1] Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa ‘Adilatuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1984), h. 544

[2] Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris al-Syafi’i, al-Umm, (Beirut: Daral-Fikri, tt) Jilid I, h. 243

[3] Imam Abi Abdillah Muhammad bin Qosim al-Ghozi, Fathul Qorib. Hal. 311


*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari