ilustrasi: sabdawaktu

Oleh: Rara Zarary*

Kata pulang selalu terdengar jauh lebih indah daripada pergi. Tetapi orang harus rindu untuk bisa menikmati keindahan pulang.” (M. Aan Mansyur). Bisa jadi inilah kalimat yang tepat untuk kondisi saat ini. Tak banyak orang yang bisa mendapatkan kesempatan pulang, tetapi tak sedikit orang yang juga tak menginginkan atau mengindahkan kata pulang.

Barangkali kita tidak asing lagi dengan kalimat dalam judul di atas. Sebuah judul film yang disutradarai oleh Angga Dwimas Sasongko yang sekaligus merupakan penulis skrip yang ditulis bersama M. Irfan Ramli. Tidak hanya itu, Ost film tersebut dengan judul “Jalan Pulang” yang dibawakan oleh Yura Yunita berhasil menembus jutaan viewers, semakin membuat kalimat ini familiar. Termasuk menjadi judul artikel ini. Namun di sini saya tidak sedang mereview film atau lagunya, saya tertarik pada kata pulang dan pergi yang tak bisa dipisahkan.

Beberapa waktu lalu, saya bertemu dengan seorang teman. Dalam duduk yang cukup lama di sebuah kafe, kami bercerita banyak hal, termasuk soal pulang. Saya yang selalu mendambakan pulang tentu akan dengan sangat berbunga-bunga dan berdebar mendengar kata liburan, keluarga, rumah, dan pertemuan. Tetapi tidak dengan dia. Baginya pulang tidak pada rumah dan keluarga. Untuknya pulang adalah hanya pada dirinya dan orang (lain) yang menerima dan membuat ia merasa nyaman, sehingga sebagai perantau, ia tak tertarik sama sekali dengan kata pulang ke rumah.

Tentu saya tidak menyalahkannya. Saya juga tak bisa mengatakan atau sekadar sok menasihati ini dan itu atau apalah yang tujuannya harus membuat dia memilih pulang ke rumahnya, pada keluarganya. Saya menyadari, setiap kita punya persepsi sendiri soal pulang dan rumah, barangkali kami memang sedang berbeda dalam mengartikannya. Namun terlepas dari itu, ada hal yang bisa menjadi pelajaran penting untuk kita, salah satunya adalah kita bisa memahami dan menerima pilihan orang lain karena memang setiap dari kita punya latar belakang berbeda.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Pergi yang Jauh

Sebelum ada kata pulang, pergi selalu menjadi kata yang mendahuluinya. Ada banyak kata pergi yang bisa kita definisikan. Dalam KBBI, pergi bisa diartikan sebagai berjalan, meninggalkan, atau berangkat. Bagi perantau, kata pergi lebih akrab dengan kata berangkat (bukan maksud meninggalkan selamanya) sebab ia punya rencana kembali (pulang). Tetapi bagi seseorang yang punya niat ‘meninggalkan’ lebih dekat dengan kondisi tidak kembali, tidak akan pulang lagi. Ini adalah apa yang saya pahami dan artikan soal pergi, kamu bisa mendefinisikan dengan hal berbeda.

Suatu hari, dalam sebuah percakapan panjang antara dua orang terjadi suasana saling menuduh.

“Kamu tidak sayang keluargamu.” Ucap seorang teman.

“Apa alasan kamu mengatakan begitu?” sambut teman lainnya.

“Kamu suka merantau. Kalau sayang keluarga, harusnya kamu bisa lebih banyak sama keluarga. Bagaimana pun kondisinya, tak ada yang bisa menggantikan kebersamaan.” Mendengar itu, ia tak sakit hati, hanya saja ia perlu merasa menjawab.

“Karena aku sayang keluargaku, maka aku merantau. Aku pergi dari rumah untuk mencari, memperjuangkan sesuatu, dan nanti akan kembali untuk memberi kebahagiaan pada mereka.” Cukup sampai di situ jawabannya, selebihnya mungkin akan lebih tidak akan dipahami oleh orang yang bahkan tidak bisa memahami kondisi kita. bukankah yang kita pahami orang-orang hanya bisa melihat hasil tanpa mau tahu proses? Orang-orang lebih banyak menyimpulkan dari apa yang mereka lihat daripada mau tahu ada apa sebenarnya dengan orang lain?

Apapun itu, saya ingin mengajak kita untuk tidak mudah mengklaim pilihan orang lain. Bisa jadi keputusan pergi, adalah pilihan sangat berat tapi hanya itu yang bisa kita lakukan. Sebaliknya, dengan pergi bisa jadi pilihan tak begitu menekan hingga akhirnya kita bisa lebih ringan mengatasinya. Tetapi barangkali kita bisa bermuhasabah diri, mengapa kita pergi? Bagaimana kita harus pulang?

Jangan Lupa Pulang

“Silakan merantau yang jauh (pergi), tetapi jangan lupa pulang.” Kalimat itu adalah salah satu pesan seorang ibu pada anaknya beberapa tahun lalu. “Pulang” bisa berarti rumah, tak menutup kemungkinan yang lain. Misal ingat, nyaman, atau lainnya. Saat kita sibuk belajar atau bekerja, dan tak memungkinkan pulang ke rumah yang jauh, bisa jadi pulang yang bisa ditempuh adalah dengan cara menelpon, mengirim surat atau sebatas tanda bahwa engkau ingat dan masih ada. sehingga kata pulang tak hanya punya satu arti, namun lebih luas dan beragam sesuai kondisi.

Beberapa orang boleh jadi memahami atau menganggap pulang itu ya ke rumahnya, ke rumah ayah ibu atau yang kita sebut keluarga. Bagi lainnya, pulang bisa dipahami sebagai memahami atau kembali pada diri sendiri, pada tempat yang nyaman, pada orang yang bisa menerima ia apa adanya. Dan tidak sedikit orang mengertikan bahwa pulang adalah jalan menuju Tuhan. Yaa, itu adalah definisi pulang dari banyak orang. Dan kamu berhak punya definisi lain dari apa yang sudah saya sebutkan dalam tulisan ini.

Pulang pada diri sendiri, sering dianggap sebagai kesadaran bahwa kita sudah terlalu lama tidak memahami diri, sudah terlalu jauh pergi karena keegoisan, karena orang lain, dan banyak macam alasannya, hingga saat ia lelah atau saat terjadi sesuatu, dalam sebuah introspeksi diri, dia akan memilih pulang pada dirinya yang lama ia tingal pergi. Hal ini adalah persoalan jiwa dan raga. Tubuh atau raga bisa jadi masih berdiri tegak, belum tentu dengan jiwa, arti pulang pada diri sendiri adalah saat jiwa raga menjadi satu haluan dan bisa memeluk dan menyadari “inilah diri aku, yang kurindukan” atau “Inilah sebenarnya aku” setelah sekian lama kita hanya hidup dengan kepalsuan.

Pulang pada Tuhan, sebuah perjalanan panjang manusia membuat kita menyadari bahwa pada akhirnya semua akan mati, tak ada yang abadi; kita akan kembali pada yang Maha Abadi, Allah. Menurut saya ini adalah kesadaran tertinggi yang harusnya kita semua memilikinya. Artinya, kita bisa mengingat bahwa dunia ini sementara, dan pada akhirnya mau tidak mau, siap tidak siap, kita akan pulang. Pulang pada rumah Tuhan. Dan tentu saat mengingat ini, kita akan berupaya menjadi manusia yang baik saat di dunia dan menjadi hamba yang baik untuk nanti bekal di akhirat. Betapa kesadaran ini akan menyelamatkan kita dari kelalaian dan kesembronoan dalam hidup.

Pulang ke rumah atau keluarga, kita tak hidup sendirian. Bagaimana pun kondisi rumah atau keluarga; itulah bagian hidup kita. Meski dalam perjalanan, rumah dan keluarga didefinisikan berbeda. Tetapi tak sedikit mengartikan sama, artinya rumah ya keluarga atau keluarga ya rumah, tetapi itu tidak terjadi pada semua orang. Namun bagaimana pun, tentu kita perlu pulang, dengan cara berdamai atau cara yang kita bisa mengatasinya. Apalagi masih ada ayah dan ibu di sebuah bangunan sederhana atau megah itu, ada orang yang perlu kita sapa dan jawab kerinduannya.

Pulang pada apapun, siapapun, dan di manapun. Ini adalah pulang yang kalian bisa isi sendiri sesuai dengan pendapat kalian tentang pulang. Apapun itu, yang terpenting setelah jauh kita berjalan, setelah lama kita pergi; kita memang butuh “pulang”. Pulang sesuai dengan yang kamu pahami tentangnya.

Pulanglah.
Barangkali dengan pulang, kita tahu sejauh apa kita telah melangkah. Selama apa kita pergi. Dan sependek apa kita punya kesempatan.

*Penulis adalah pegiat Pesantren Perempuan, saat ini belajar di Amikom Yogyakarta.