Oleh: Silmi Adawiyah*
Rumi adalah seorang sufi sepanjang sejarah spritual Islam. Ia mengungkapkan gagasan kesufiannya lebih bersifat mistik-filosofis. Rumi bermain atas logika bahasa dengan berbagai metafora di seputar fungsi, kekuatan, keperkasaan, dan begaimana cinta dapat mengantarkan manusia mencapai tingkat penyatuan manusia dengan Tuhannya.
Rumi memandang cinta sebagai jalan satu-satunya untuk dapat menghilangkan berbagai penyakit jiwa, seperti bangga dan sombong. Cinta juga dapat mengobati segala kekurangan diri. Cinta seperti bara api yang siap menyala dan membakar segalanya, selain yang dicinta. Tauhid adalah pedang yang jika diayunkan oleh pemiliknya akan dapat membabat semuanya, selain dari Allah swt. Ungkapan indah dalam QS Az Zumar ayat 22 menyebutkan:
أَفَمَنْ شَرَحَ اللَّهُ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ فَهُوَ عَلَىٰ نُورٍ مِنْ رَبِّهِ
“Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)?”
Mencintai Allah bukanlah sekadar pengakuan formal dari seorang hamba. Ia membutuhkan kerja keras, kesungguhan, dan keikhlasan. Pernyataan cinta kepada Allah harus dimaknai sebagai sebuah proses pendakian. Rumi memandang bahwa puncak Tauhid adalah ma’rifat. Tentang ma’rifat, Rumi bersenandung dalam karyanya:
Ahli ma’rifat adalah jiwa agama dalam kehidupan
Ma’rifat adalah hasil dari berlakunya asketisme
Asketisme adalah pekerjaan menabur benih
Ma’rifat adalah pertumbuhan dan hasil penanam benih
Ahli ma’rifat adalah perintah untuk berbuat benar, dan kebenaran itu sendiri.
Dialah sang raja kita hari ini dan esok seakan adalah hamba untuk benihnya yang baik.
Ma’rifat adalah puncak tauhid. Ma’rifat berarti ketersingkapan tirai atau dinding pemisah yang mengantarai seorang hamba dengan khalik-nya. Dalam ketersingkapan tersebut segala rahasia dan pengetahuan Tuhan dapat disaksikan. Ma’rifat lah memungkinkan terjadinya persekutuan dan perpaduan mistik.
Ketika mengomentari syair-syair cinta Rumi yang berkaitan dengan ma’rifat, Kertanegara dalam karyanya “Renungan Sufistik Jalaluddin Rumi” mengungkapkan, bahwa ketika terjadi puncak ekstase cinta terjadilah suatu perpaduan jiwa yang mengambarkan persatuan mistik, di mana sintesa pecinta dan yang dicintai teratasi oleh perubahan bentuk mereka ke dalam esensi “cinta universal”. Cinta universal sepertinya sebutan lain dari ma’rifat itu sendiri.
*Penulis adalah alumnus Unhasy Tebuireng dan Pondok Pesantren Putri Walisongo Cukir Jombang. Saat ini sedang melanjutkan pendidikan tinggi di UIN Jakarta.