Ilustrasi muda kaya raya. (sumber: finance-detikcom)

Barangkali semakin ke sini kita sering mendengar “bukan pewaris, tapi perintis”, dan istilah-istilah lain yang digaungkan anak-anak muda terkait kehidupan ekonominya. Dengan hidup di era digital yang serba cepat dan terbuka, impian menjadi “muda dan kaya” bukan lagi sekadar fantasi atau mimpi masa depan. Ia telah menjadi obsesi yang nyata dan merata di kalangan generasi muda, khususnya Generasi Z dan milenial awal.

Seperti yang kita simak bersama bagaimana video motivasi, konten YouTube, unggahan Instagram, hingga perbincangan TikTok, banyak anak muda mendambakan kebebasan finansial sejak usia belia. Namun, di balik mimpi yang tampak gemerlap ini, terdapat kenyataan yang jauh lebih kompleks: himpitan ekonomi, terbatasnya lapangan kerja, krisis mental, dan jebakan budaya instan.

Fenomena “muda kaya” makin menonjol seiring menjamurnya kisah sukses anak muda yang viral karena kekayaannya. Selebriti internet, content creator, pebisnis digital, hingga trader muda menjadi ikon baru kesuksesan. Kisah seperti Jerome Polin yang sukses melalui kanal edukasi YouTube dan bisnis, atau pengusaha muda seperti Dea Valencia dengan Batik Kultur, memberi inspirasi besar.

Namun, kisah-kisah itu hanya mewakili segelintir kecil realitas. Mayoritas anak muda Indonesia justru menghadapi tekanan ekonomi yang berat. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat pengangguran terbuka per Februari 2024 berada pada angka 5,32%, dan sebagian besar di antaranya adalah lulusan SMA dan universitas. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan formal tidak lagi menjamin pekerjaan, apalagi kekayaan.

Kebangkitan Content Creator dan Ilusi Kekayaan Cepat

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Salah satu contoh nyata adalah ledakan jumlah content creator sejak pandemi COVID-19. Banyak anak muda mencoba peruntungan di dunia digital, membuat konten di YouTube, TikTok, dan Instagram dengan harapan cepat terkenal dan mendapat penghasilan besar. Di satu sisi, ini menunjukkan kreativitas dan adaptasi yang luar biasa. Namun di sisi lain, muncul fenomena illusion of success, yakni kepercayaan bahwa siapa pun bisa cepat kaya hanya dengan menjadi viral.

Contoh kasus bisa dilihat dari fenomena para seleb TikTok yang mendadak populer karena konten yang sensasional, namun tidak semua berhasil mengelola popularitas itu menjadi aset finansial jangka panjang. Banyak yang akhirnya kembali menghadapi kesulitan ekonomi ketika tren bergeser. Ini menunjukkan bahwa kekayaan instan yang diperoleh tanpa pondasi yang kuat tidak selalu berkelanjutan.

Namun perlu diingat bahwa salah satu tantangan terbesar dalam mengejar impian muda kaya adalah jebakan mentalitas instan. Banyak anak muda kini terpapar pada gaya hidup mewah selebritas internet, membuat mereka ingin cepat sukses tanpa kerja keras yang sepadan. Ketika realitas tidak sesuai harapan, rasa putus asa, stres, dan kecemasan menjadi efek sampingnya.

Baca Juga: Rizki dan Amalan Menjadi Kaya

Menurut survei Kementerian Kesehatan tahun 2023, gangguan kesehatan mental meningkat di kalangan usia 15–24 tahun, dengan penyebab dominan berupa tekanan sosial, ekspektasi berlebih, dan ketidakstabilan ekonomi. Fenomena ini menunjukkan bahwa keinginan untuk “cepat kaya” tanpa proses yang realistis justru bisa menjadi bumerang.

Selain itu, muncul pula kemalasan yang terselubung dalam bentuk “toxic productivity”. Banyak anak muda yang tampak produktif dengan berbagai proyek, namun sebenarnya tidak memiliki arah yang jelas. Mereka mengikuti tren tanpa memahami potensi diri dan lingkungan. Akibatnya, ketika satu jalan gagal, mereka mudah kehilangan motivasi dan arah hidup.

Lapangan Kerja yang Menyusut dan Disrupsi Teknologi

Kemajuan teknologi memang membuka peluang baru, tetapi juga membawa ancaman nyata. Otomatisasi dan kecerdasan buatan telah menggantikan banyak pekerjaan manusia, terutama pekerjaan rutin dan administratif. Di Indonesia, sektor-sektor seperti perbankan, ritel, dan manufaktur mulai mengurangi kebutuhan tenaga kerja manusia.

Kondisi ini diperparah dengan rendahnya keterampilan digital sebagian besar lulusan baru. Menurut laporan World Bank 2023, indeks keterampilan digital di Indonesia masih tertinggal dibanding negara-negara ASEAN lainnya. Ini menciptakan jurang antara impian anak muda dan tuntutan pasar kerja.

Meski tantangan besar membayangi, era ini juga membuka peluang luar biasa, terutama di sektor kewirausahaan dan ekonomi kreatif. Generasi muda yang mampu memadukan kreativitas, teknologi, dan strategi bisnis memiliki potensi besar untuk mandiri secara finansial.

Contoh inspiratif datang dari startup-startup lokal yang dibangun oleh anak muda. Salah satunya adalah Ruangguru, yang didirikan oleh Belva Devara dan Iman Usman. Mereka memanfaatkan teknologi untuk menjawab kebutuhan pendidikan. Kisah mereka menunjukkan bahwa menjadi muda dan kaya bisa dicapai jika diawali dengan visi yang kuat, kerja keras, dan solusi bagi permasalahan nyata masyarakat.

Selain itu, pemerintah juga mulai membuka ruang melalui program seperti Kartu Prakerja, pelatihan digital UMKM, dan program inkubasi startup. Ini menjadi kesempatan bagi anak muda untuk membangun masa depan di luar jalur kerja konvensional.

Tidak Semua Orang Muda Bisa Kaya

Di balik segala peluang, penting untuk disadari bahwa tidak semua orang akan menjadi kaya di usia muda, dan itu bukan kegagalan. Kekayaan adalah hasil dari banyak faktor: latar belakang keluarga, pendidikan, jaringan sosial, keberuntungan, dan tentu saja usaha.

Baca Juga: Hidup Minimalis Ala Rasulullah

Kita perlu merevisi definisi “sukses” agar tidak hanya berpusat pada materi. Membangun keahlian, menjadi bermanfaat bagi orang lain, hidup dengan integritas, dan mampu memenuhi kebutuhan dasar dengan layak, adalah pencapaian yang sah dan bernilai tinggi.

Impian untuk menjadi muda dan kaya adalah hal yang wajar dan sehat, selama disertai dengan kesadaran akan proses dan kenyataan. Generasi saat ini memiliki akses ke informasi dan teknologi yang tidak dimiliki generasi sebelumnya. Namun, kemudahan itu juga datang dengan tantangan baru: distraksi, tekanan sosial, dan disorientasi nilai.

Daripada terpaku pada narasi kekayaan instan, generasi muda perlu membekali diri dengan keterampilan, mental tangguh, dan pemahaman mendalam tentang dunia yang terus berubah. Menjadi muda dan kaya memang mungkin, tetapi menjadi muda dan bijak adalah kebutuhan yang lebih mendesak.



Penulis: Albii