Sumber: googel.co.id

Judul buku      : Islamku Islam Anda Islam Kita, Agama Masyaratkat Negara  Demokrasi

Penulis             : Abdurrahman Wahid

Penerbit           : The Wahid Institute

Cetakan           : I, Agustus 2006

Jumlah hal       : 451

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Peresensi         : Fitrianti Mariam Hakim

Abdurrahman Wahid atau akrab disapa Gus Dur ini seperti punya ‘wangsit’ untuk menerawang kondisi Indonesia jauh ke depan. Pemikirannya yang nyaris “melompat” jauh dari satu dekade terutama tentang pandangannya menghubungankan antara agama Islam dengan lembaga negara meliputi kondisi sosial, politik, ekonomi, budaya, keamanan, kesejahteraan, serta penguatan nilai-nilai kebangsaan.

Sebagai mantan ketua umum PBNU, Gus Dur selalu mengedepankan terhadap nilai-nilai toleransi. Tentu kita ingat ketika masih menjadi presiden, Gus Dur memberikan kesempatan bagi warga Tionghoa untuk dapat merayakan hari besar mereka setelah bertahun-tahun terkekang olah larangan rezim terdahulunya.

Buku karangan Gus Dur ini mengangkat tema pokok pluralisme. Mengutip pernyataan penulis “Tuhan tidak perlu dibela tapi umatNya atau manusia pada umumnya yang perlu dibela” ketika mereka menerima ancaman atau ketertindasan dalam berbagai bidang kehidupan. Aspek penting dalam pemikiran ini adalah membela orang-orang yang tertindas karena Tuhan tidak mungkin ditindas.

Penulis tidak hanya melihat agama Islam secara subjektif tetapi juga obyektif. Pengalaman pribadi seseorang tidaklah sama dengan orang lain sehingga pasti akan muncul sebagai pemikiran yang berlainan satu sama lain. Dari kenyataan itulah bahwa yang dimaksud “Islamku” adalah Islam yang dipikirkan atau dialami penulis sendiri.

Namun dalam kenyataannya, orang sering memaksakan kehendak dan menganggap pendapat miliknyalah yang paling benar. Sehingga ingin dipaksakan kepada orang lain bahwa “Islamku” yang paling benar. Monopoli tafsir kebenaran Islam seperti inilah yang menurut Gus Dur bertentangan dengan konsep demokrasi.

Sementara yang dimaksud “Islam anda” merupakan apresiasi Gus Dur terhadap ritual atau adat keagamaan yang telah hidup dalam masyarakat. Dalam hal ini Gus Dur memberikan bentuk penghargaan terhadap kepercayaan dan tradisi keagamaan sebagai kebenaran yang dianut komunitas masyarakat tertentu yang juga harus dihargai. Sedangkan “Islam kita” lebih merupakan kepedulian atau rasa empati seseorang terhadap masa depan Islam yang didasarkan pada kepentingan bersama umat muslim.

Gus Dur tidak sepakat dengan adanya konsep Negara Islam. Karena ia beranggapan, Islam sebagai jalan hidup tidak memiliki konsep yang jelas terhadap negara. Sepanjang hidupnya Gus Dur telah mencari konsep yang dinamakan Negara Islam itu sampai kini pun belum menemukannya. Jadi saya rasa tidak salah jika beliau menyimpulkan bahwa Islam tidak memiliki konsep bagaimana negara harus dibuat dan dipertahankan.

Bagi Gus Dur, tidak penting untuk mendirikan sistem negara Islam. Yang lebih penting adalah membenahi pribadi muslimnya, bukan membenahi sistemnya. Jika umat muslimnya ‘baik’, maka sistemnya akan mengikuti menjadi baik. Karena hakikatnya, sistem apapun akan menjadi baik, jika orang-orang yang menjalankannnya (muslim) itu baik. Mudahnya kira-kira begitu.

Selain itu penulis juga mengutuk tindak kekerasan dan terorisme yang mengatasnamakan agama Islam. Karena Islam tidak membenarkan tindak kekerasan dan diskriminatif. Satu-satunya pembenaran terhadap hal ini adalah ketika umat muslim diusir dari rumahnya. Menurutnya hal tersebut terjadi akibat para pelakunya masih mengalami pendangkalan makna Islam.

Mereka menganggap Islam itu unggul dan tidak dapat diungguli dengan pemahaman mereka sendiri, mereka lalu menolak peradaban-peradaban lain dengan meyerukan pemahaman Islam versi mereka secara doktriner. Akibatnya segala macam cara dilakukan yang melahirkan konsep bahwa tindak kekerasan merupakan jalan satu-satunya dalam “mempertahankan Islam” kemudian terjadilah terorisme dan sikap radikal demi kepentingan “mempertahankan Islam” itu.

Buku ini juga membahas tentang pembelaan Gus Dur dalam berbagai kasus di Indonesia. Gus Dur tidak pandang bulu, tidak membedakan agama, keyakinan, etnis, posisi sosial atau apapun dalam melakukan pembelaannya. Bahkan Gus Dur tidak ragu untuk mengorbankan imagenya sendiri untuk membela korban yang perlu dibela. Maka orang sering terkecoh seolah Gus Dur sedang mencari muka ketika harus mengorbankan dirinya sendiri. Dalam negara demokrasi seperti Indonesia ini kita perlu memberi porsi yang sama rata dan sama rasa terhadap masyarakat, agama dan menjunjung tinggi pada demokrasi itu sendiri.

Buku ini juga bisa memberikan referensi baru yang lebih luas dalam memperjuangkan nilai-nilai keislaman yang membumi seperti halnya jargon yang sering didengungkan oleh kaum Nahdliyin, Islam nusantara. Dengan bahasa yang ringan, pembaca akan mudah mengerti bagaimana jalan pikiran penulis. Buku ini dipersembahkan oleh The Wahid Institute berupa esai-esai yang ditulis oleh Gus Dur pasca lengser dari kursi kepresidenan.

Tulisan pendek ini mungkin tidak cukup mewakili dari keseluruhan isi buku. Tetapi mudah-mudahan bisa memberikan sedikit gambaran tentang apa yang berusaha gus dur sampaikan pada setiap tulisan-tulisannya. Selamat membaca!


*Peresensi, Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang.