Ilustrasi imam nawawi menulis karya
Ilustrasi imam nawawi menulis karya

Salah satu sarjana Islam yang karya-karyanya masih sangat relevan dipelajari hingga hari ini adalah Abu Zakaria Muhyiddin an-Nawawi. Julukan “Muhyidin” yang berarti penghidup nilai-nilai agama Islam, begitu cocok, melihat semangat beliau dalam menyebarkan ilmu-ilmu agama sangat besar.

Dilansir dari kitab Mukadimah Majmu Syarah Muhazzab, Imam an-Nawawi lahir di daerah Nawa, sekitar tahun 631 H. Sejak kecil, tanda-tanda bahwa beliau akan menjadi ulama sudah mulai tampak. Dimulai ketika beliau hapal al-Quran. Setelah itu, beberapa kitab bermazhab Syafi’i, semisal kitab At-Tanbih, selama kurang lebih empat bulan, kitab matan Muhazzab kisaran tujuh bulan selesai beliau hafalkan. Masa muda, beliau lalui dengan mengukir cerita begitu mengesankan.

Kesungguhan dalam menimba ilmu, bisa dibuktikan ketika beliau mampu menelaah dua belas kitab dalam satu hari. Tentunya dengan bimbingan guru dan usaha beliau untuk mentirakati ilmu sangat luar biasa. Misalnya, ada satu keterangan bahwa selama kurang lebih dua puluh tahun, beliau tidak pernah tidur dalam keadaan terlentang. Beliau biasa tidur dalam keadaan duduk. Dari usaha yang sudah dituturkan di atas, muncullah kemudian karya-karya yang keluar dari tangan canggih Imam an-Nawawi. Karya-karya tersebut, hingga kini masih sering dikaji oleh umat muslim. Misalnya, sebagaimana di bawah ini:

  • Majmu Syarah Muhazzab, kitab ini kisaran berjumlah 20 jilid. Di dalamnya membahas seluk beluk kajian fikih mazhab Imam Syafi’
  • Riyadu al-shalihin, kitab kumpulan hadis kisaran 1 jilid. Berisi sekian hadis riwayat dari Nabi Muhammad.
  • Minhaju al-thalibin, kitab dalam kajian fikih, hasil ringkasan kitab al-Wajiz karangan Imam al-Ghazali.
  • Arbain al-nawawiyah, kitab kumpulan hadis kisaran 40 hadis. Hadis-hadis yang ditawarkan adalah pondasi-pondasi yang ada di nilai-nilai agama Islam.
  • Al-Minhaj syarah Shahih Muslim, penjelas dari kitab hadis fenomenal, Shahih Muslim.

Tentunya masih banyak lagi karya beliau yang tidak disuguhkan dalam catatan kali ini. Namun, apa yang disuguhkan di atas, sekedar karya yang populer di telinga kita.

Ada beberapa keterangan ekstrim lainnya yang menyinggung perihal ketekunan Imam an-Nawawi dalam menimba ilmu. Misalnya, saking semangat dan fokusnya dalam mencari ilmu, hingga beliau lupa untuk menikah. Sehingga, status beliau, hingga akhir hayat adalah lajang. Akhirnya, beliau terkenal dengan ulama yang melajang sebab mencari ilmu.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Apa yang beliau lakukan di atas bukan sekedar ke-suwung-an belaka. Ada satu keterangan yang mendukung hal tersebut. Misalnya, di dalam salah satu karangan beliau, Majmu Syarah Muhazzab dijelaskan;

وَقَالَ الْخَطِيبُ الْبَغْدَادِيُّ فِي كِتَابِهِ الْجَامِعُ لِآدَابِ الرَّاوِي وَالسَّامِعِ ‌يُسْتَحَبُّ ‌لِلطَّالِبِ أَنْ يَكُونَ عَزَبًا مَا أَمْكَنَهُ لِئَلَّا يَقْطَعَهُ الِاشْتِغَالُ بِحُقُوقِ الزَّوْجَةِ وَالِاهْتِمَامِ بِالْمَعِيشَةِ عَنْ إكْمَالِ طَلَبِ الْعِلْمِ

Bagi santri, sebisa mungkin, dianjurkan untuk melajang. Tujuannya apa? Supaya ia bisa fokus untuk mengkaji ilmu. Supaya ia tidak disibukkan dengan urusan dunia, mengurusi istri misalnya.”

Bahkan, pernyataan di atas tidak hanya sekedar omong kosong. Pernyataan Imam Khatib hasil cuplikan Imam an-Nawawi tersebut didukung oleh dalil yang mendasari. Misalnya hadis di bawah ini;

وَاحْتَجَّ بِحَدِيثِ: خَيْرُكُمْ بعد المائتين خفيف الْحَاذِ وَهُوَ الَّذِي لَا أَهْلَ لَهُ وَلَا وَلَدَ

Sebaik-baik di antara kalian setelah kurun dua hijriah adalah ia yang melajang.” (HR. Abu Ya’la di dalam kitab Musnad).

Hasil cuplikan di atas, kemudian ditanggapi sendiri oleh Imam an-Nawawi. Beliau mempertegas, bahwa melajang bagi santri sangat dianjurkan.

(قُلْتُ) هَذَا كُلُّهُ مُوَافِقٌ لِمَذْهَبِنَا فَإِنَّ مَذْهَبَنَا أَنَّ مَنْ لَمْ يَحْتَجْ إلَى النِّكَاحِ اُسْتُحِبَّ لَهُ تَرْكُهُ وَكَذَا إنْ احْتَاجَ وعجز عَنْ مُؤْنَتِهِ

Aku berkata, semua penjelasan di atas (perihal anjuran melajang) sesuai dengan ketentuan mazhab Imam Syafii. Jelas, bahwa orang yang tidak ingin nikah, dianjurkan melajang. Begitu juga, ketika ingin nikah, namun tidak mampu, juga dianjurkan melajang.”

Begitulah Imam an-Nawawi. Berani melajang, hanya demi melestarikan nilai-nilai ajaran Islam melaui belajar dan mengajar. Beliau wafat kisaran bulan Rajab, tahun 676 H. Jumlah karya beliau, melebihi jumlah umur beliau yang begitu singkat. Inilah mungkin contoh yang relevan atas apa yang biasa dikatakan oleh bijak bestari, “Umur pendek namun banyak keberkahan, lebih baik daripada umur panjang namun minim keberkahan.”

Jadi, kalau kita bisa andaikan suatu guyonan, semisal sekarang Imam an-Nawawi masih hidup, bolehlah kita bertanya kepada beliau, “Wahai Imam an-nawawi, antara ilmu dan status lajang, apa yang akan Anda pilih?” Maka jelas beliau akan menjawab, “Jelas saya akan memilih fokus mencari ilmu.” Sekian! Terimakasih!

 


*Ditulis oleh: Moch Vicky Shahrul Hermawan, Mahasantri Mahad Aly An-Nur II Al-Murtadlo Malang