ilustrasi koruptor. foto: liputan6

Korupsi merupakan salah satu dari tiga kejahatan luar biasa (extraordinary crime) selain terorisme dan narkotika. Oleh karena itu, para pelakunya sepatutnya dijatuhi hukuman mati. Penerapan hukuman ini sangat beralasan, mengingat pelaku utama kejahatan terorisme dan narkotika sering kali mendapat putusan serupa dari majelis hakim. Maka, sudah seharusnya koruptor pun menerima hukuman yang setimpal.

Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebenarnya telah mengatur kemungkinan penerapan hukuman mati, khususnya bagi pelaku korupsi yang beraksi di tengah krisis, bencana alam, atau situasi tertentu. Namun, tantangan terbesar hingga kini adalah kurangnya keberanian majelis hakim dalam menjatuhkan hukuman tersebut. Demi memberantas korupsi dan praktik suap secara efektif, pemerintah perlu menegakkan aturan yang tegas agar memberikan efek jera bagi para pelakunya[1].

Pada tulisan ini, penulis berupaya menyajikan kajian ilmiah mengenai penerapan hukuman mati bagi pelaku korupsi melalui perspektif fiqh yang telah dirumuskan secara baku oleh para ulama salaf. Pembahasan ini bertujuan untuk memberikan landasan hukum yang kuat sekaligus menelaah sejauh mana penerapan hukuman tersebut sejalan dengan prinsip-prinsip syariat Islam dan keadilan dalam konteks pemberantasan korupsi.

Dalam perspektif Islam, korupsi tergolong dalam kajian fiqh jinayah dan termasuk kategori tindak pidana. Fiqh jinayah sendiri merupakan cabang ilmu yang membahas hukum syariat secara praktis, hasil dari ijtihad atau analisis mendalam seorang mujtahid terhadap dalil-dalil rinci yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadits. Dalam sejarah perkembangan hukum Islam, istilah “korupsi” memang tidak disebutkan secara eksplisit dalam teks-teks sumber utama seperti Al-Qur’an maupun hadits. Namun, esensi dan tindakan yang terkandung dalam praktik korupsi dapat dikategorikan ke dalam beberapa jenis kejahatan yang telah diatur hukumnya dalam Islam, salah satunya adalah pencurian (sariqah) atau pengambilan hak orang lain secara tidak sah. Korupsi pada hakikatnya merupakan perbuatan mengambil sesuatu yang bukan haknya, merugikan pihak lain, serta merusak tatanan sosial dan keadilan, yang mana semua ini dilarang keras dalam Islam.

Kerusakan Besar di Muka Bumi dalam Perspektif Tafsir

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Allah SWT telah menegaskan dalam al-Quran tentang beratnya hukuman bagi siapa pun yang melakukan kerusakan besar di muka bumi. Bahkan tidak main-main, Allah memberikan hukuman berat bagi mereka yang melakukan beberapa kerusakan ini dengan hukuman mati. Perbuatan merusak tersebut mencakup berbagai tindakan yang tidak hanya merugikan diri sendiri, tetapi juga membahayakan masyarakat luas dan merusak tatanan kehidupan yang telah diatur dengan sebaik-baiknya. Korupsi, sebagai salah satu bentuk kezaliman dan pengkhianatan terhadap amanah, termasuk dalam kategori perbuatan yang menimbulkan kerusakan besar. Dalam surah Al-Ma’idah ayat 33, Allah berfirman:

إِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الْأَرْضِ فَسَادًا أَنْ يُقَتَّلُوا أَوْ يُصَلَّبُوا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلَافٍ أَوْ يُنْفَوْا مِنَ الْأَرْضِ ذَلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِي الدُّنْيَا وَلَهُمْ فِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ (المائدة: 33)

“Sesungguhnya pembalasan bagi orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi adalah mereka dibunuh, atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka secara bersilang, atau diasingkan dari negeri. Itu adalah suatu penghinaan bagi mereka di dunia, dan di akhirat mereka mendapat azab yang besar.”

Imam Ibn Jarir At-Thabari menjelaskan bahwa makna “Yas’auna Fil-Ardhi Fasada” adalah perbuatan maksiat yang merusak tatanan kehidupan. Bentuknya beragam meliputi tindakan menakut-nakuti kaum beriman, mengganggu orang-orang yang dilindungi, memutus jalan-jalan mereka (curanmor), merampas harta secara zalim, serta menyerang kehormatan dengan perbuatan keji dan fasik[2], Koruptor termasuk dalam golongan yang dimaksud dalam ayat ini, karena tindakannya membawa kerusakan besar di muka bumi. Korupsi merusak tatanan negara, menghilangkan hak rakyat, dan menghambat pembangunan. Data empiris menunjukkan bahwa korupsi dapat menurunkan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kemiskinan, dan merusak kepercayaan publik terhadap pemerintah. Ketika anggaran publik diselewengkan, akses masyarakat terhadap pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur pun terabaikan, sehingga dampak negatifnya meluas dan berkepanjangan.

Bahkan lebih dari itu, Imam Ibn Katsir, seorang mufasir ternama, mengategorikan tindakan korupsi sebagai bentuk muhārabah (penentangan terhadap Allah dan Rasul-Nya). Hal ini karena korupsi termasuk perbuatan merusak di bumi yang dampaknya meluas, merusak tatanan kehidupan, serta menghilangkan hak-hak masyarakat. Pernyataan Ibn Katsir ini bisa kita lihat pada teks berikut

المحاربة: هي المضادة والمخالفة، وهي صادقة على الكفر، وعلى قطع الطريق وإخافة السبيل، وكذا الإفساد في الأرض يطلق على أنواع من الشر، حتى قال كثير من السلف، منهم سعيد بن المسيب: إن قرض الدراهم والدنانير من الإفساد في الأرض، وقد قال الله تعالى: {وإذا تولى سعى في الأرض ليفسد فيها ويهلك الحرث والنسل والله لا يحب الفساد} [البقرة: 205] .

Permusuhan (muhārabah) adalah perlawanan dan pertentangan, yang mencakup kekufuran, perampokan, penakutan di jalan, serta segala bentuk kerusakan di bumi. Kerusakan ini mencakup berbagai macam kejahatan, hingga banyak ulama salaf, di antaranya Sa’id bin Al-Musayyib, menyatakan bahwa memalsukan dirham dan dinar termasuk perbuatan merusak di bumi. Allah Ta’ala berfirman: “Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berusaha membuat kerusakan di muka bumi, merusak tanaman-tanaman dan keturunan. Dan Allah tidak menyukai kerusakan.” (QS. Al-Baqarah: 205).[3]

Dari pemaparan di atas bisa kita ketahui sebenarnya hukuman mati terhadap para koruptor bukan hanya hasil istinbath para ulama semata, hal itu bahkan sudah diperintahkan Allah secara langsung dalam al-Quran. Untuk lebih memperjelas argumentasi yang dibangun penulis di atas maka dalam hal ini penulis akan menyertakan pandangan beberapa ulama mengenai pemberlakuan hukuman mati bagi pelaku pidana yang menimbulkan kerusakan parah di muka bumi seperti para koruptor.

Hukuman Mati dalam Pendapat Para Ulama Fikih

Syekh Muhammad Najib Al-Muti’i, seorang ulama terkemuka, dengan cermat menguraikan pandangan empat mazhab mengenai kebolehan memberikan hukuman takzir melalui eksekusi mati. Beliau menegaskan bahwa meskipun takzir umumnya bertujuan memberikan efek jera melalui hukuman yang lebih ringan dari hudud, namun dalam kasus tertentu, para ulama sepakat bahwa jika kejahatan yang dilakukan sangat merusak tatanan masyarakat dan tidak dapat dihentikan kecuali dengan hukuman mati, maka hal itu diperbolehkan.

Menurut mazhab Hanafi, takzir dengan hukuman mati dibolehkan terhadap pelaku kejahatan berat yang membahayakan masyarakat secara luas, seperti pembunuh berantai atau perusuh yang berulang kali mengancam keamanan umum. Pandangan ini didasarkan pada prinsip menjaga stabilitas sosial dan mencegah kerusakan yang meluas. Mazhab Maliki juga memperbolehkan hukuman mati dalam konteks takzir terhadap individu yang kejahatannya terus berulang tanpa tanda-tanda penyesalan. Contoh yang kerap disebutkan adalah pelaku hasutan yang merusak hubungan antara rakyat dan penguasa atau mata-mata yang mengancam keamanan negara. Sementara itu, Hanabilah sejalan dengan mazhab Maliki dalam hal ini. Mereka memandang bahwa ketika kemaslahatan umum terganggu oleh perbuatan seorang individu yang tak kunjung berhenti dari kejahatannya, hukuman mati sebagai takzir dapat menjadi pilihan yang sah demi menjaga ketertiban dan keselamatan umat. Di sisi lain, Syafi’iyah cenderung lebih hati-hati. Mayoritas ulama dalam mazhab ini, seperti yang ditegaskan oleh Imam Al-Ghazali, menolak penerapan hukuman mati dalam takzir, kecuali dalam keadaan yang benar-benar darurat. Namun, sebagian ulama Syafi’i lainnya, yang diwakili oleh pendapat yang dikutip Ibnu Qayyim, membolehkan hukuman mati terhadap penyebar bid’ah yang membahayakan akidah umat atau pelaku kejahatan berat lainnya apabila maslahat umum menuntutnya.[4]

Syekh Muhammad Najib Al-Muti’i merangkum bahwa perbedaan pendapat ini pada dasarnya berangkat dari semangat yang sama: menjaga kemaslahatan umum, menegakkan keadilan, dan mencegah kerusakan. Hukuman mati dalam konteks takzir bukanlah tindakan yang diambil secara sembarangan, melainkan solusi terakhir ketika segala upaya perbaikan telah gagal, dan bahaya yang ditimbulkan oleh pelaku kejahatan tak lagi bisa ditoleransi.

Sayyid Abdurrahman Al-Masyhur seorang ulama terkemuka mengutip pandangan sejumlah ulama terkemuka mengenai hukum menghadapi penguasa yang zalim. Al-Muhibb ath-Thabari, dalam kitabnya At-Tafqih, menegaskan bahwa membasmi kezaliman bukan hanya sebatas anjuran, tetapi pada kondisi tertentu bisa menjadi kewajiban. Ia menyatakan bahwa membunuh pejabat negara yang menindas rakyat diperbolehkan, karena kezaliman mereka tergolong dalam kategori perusak yang membahayakan tatanan kehidupan masyarakat. Bahkan, bahaya yang ditimbulkan oleh mereka lebih besar dibandingkan lima golongan perusak (fawasiq Al-Khamsi) yang secara syariat boleh diperangi. Pandangan ini muncul dari kesadaran bahwa kezaliman yang dibiarkan akan merusak sendi-sendi keadilan dan menambah penderitaan rakyat.

Senada dengan itu, Al-Asnawi meriwayatkan pandangan Imam Izzuddin Ibnu Abdis Salam, seorang ulama besar yang dijuluki sultanul ulama, yang berpendapat bahwa orang yang mampu mengakhiri kezaliman seorang penguasa diperbolehkan untuk melakukannya, bahkan dengan cara yang ekstrem sekalipun, seperti meracuninya. Pendapat ini bukanlah lahir dari dorongan kebencian atau permusuhan pribadi, melainkan demi kemaslahatan umat dan keselamatan masyarakat dari kezaliman yang berkepanjangan. Imam Izzuddin berdalil bahwa jika syariat membolehkan seseorang mempertahankan haknya hingga membunuh orang yang menyerang hanya demi satu dirham, maka lebih utama lagi membela masyarakat dari kezalimannya seorang pemimpin yang merampas hak-hak banyak orang.[5]

Untuk memperkuat argumentasi ulama generasi salaf di atas Syekh Wahbah Az-Zuhaili menegaskan bahwa siapa pun yang kerusakannya di muka bumi tidak dapat dihentikan kecuali dengan hukuman mati, maka diperbolehkan untuk dibunuh demi menjaga kemaslahatan umum. Hal ini mencakup pelaku perpecahan di tengah kaum Muslimin, penyebar bid’ah, penjahat berulang, pecandu minuman keras yang tidak jera, hingga pelaku kejahatan yang mengancam stabilitas negara. Landasan ini berangkat dari upaya menjaga keamanan, persatuan, dan mencegah kerusakan yang lebih besar dalam masyarakat.[6]

Sebagai kesimpulan, penerapan hukuman mati terhadap pelaku korupsi diperbolehkan dalam kondisi tertentu. Hukuman ini menjadi opsi yang sah apabila seorang koruptor telah berulang kali melakukan tindak pidana korupsi tanpa menunjukkan penyesalan meski telah dijatuhi berbagai hukuman, atau jika korupsi yang dilakukan mencapai skala besar yang mengancam kesejahteraan dan keselamatan rakyat secara luas. Dalam situasi seperti ini, hukuman mati dipandang sebagai upaya tegas untuk melindungi kepentingan umum dan mencegah kerusakan yang lebih besar.

Sebelum mengakhiri tulisan ini, penulis ingin menyampaikan pesan dan saran kepada para pembaca yang terhormat. Alangkah bijaknya jika kita, sebagai bagian dari masyarakat, turut berperan aktif dalam memperbaiki kondisi negara yang sedang tidak stabil. Perlu disadari bahwa kerusakan sebuah bangsa tidak semata-mata disebabkan oleh pemimpin yang zalim dan korup. Sebaliknya, keberadaan pemimpin semacam itu sering kali merupakan cerminan dari masyarakatnya yang turut lalai dan banyak melakukan pelanggaran terhadap ajaran Tuhannya. Hal ini juga disampaikan oleh Imam Ar-Razi ketika menafsiri ayat Al-Qur’an Syrat Al-An’am: Ayat 129

وَكَذَلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ (الأنعام 129)

“Dan demikianlah Kami jadikan sebagian orang-orang zalim menjadi pemimpin bagi sebagian yang lain disebabkan apa yang telah mereka usahakan.” (QS. Al-An’am: 129)

Menurut Imam Ar-Razi Ayat ini mengajarkan kepada kita bahwa perilaku rakyat sangat berpengaruh terhadap pemimpin yang memimpin mereka. Ketika masyarakat dipenuhi dengan kezaliman, Allah Ta’ala akan memberikan pemimpin yang zalim sebagai cerminan dari perbuatan mereka. Oleh karena itu, jika suatu kaum ingin terbebas dari kepemimpinan yang tidak adil, langkah pertama yang harus mereka ambil adalah meninggalkan segala bentuk kezaliman dalam kehidupan mereka.[7]

Baca Juga: Korupsi Perspektif Sufistik


[1] Khaeron  Sirin,  2013,  Penerapan  Hukuman  Mati  Bagi  Pelaku  Kejahatan  Korupsi di Indonesia : Analisis Pendekatan Teori Maqashid Al-Syari’ah, Jurnal Hukum  Islam,  Vol. 12, No. 1, Juni 2013.

[2] al-Ṭabarī, Muḥammad ibn Jarīr ibn Yazīd ibn Kathīr ibn Ghālib al-Āmilī, Abū Ja‘far. Jāmi‘ al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān. (Beirut: Mu’assasat ar-Risālah, 1420 H/2000 M). Juz 10, Hlm 257.

[3] Ibn Kathīr, Abū al-Fidāʾ Ismāʿīl ibn ʿUmar ibn Kathīr al-Qurashī al-Baṣrī kemudian ad-Dimashqī. Tafsīr al-Qur’ān al-ʿAẓīm. (Riyadh: Dār Ṭayyibah li an-Nashr wa at-Tawzīʿ, 1420 H/1999 M). Juz 3, Hlm 94.

[4] Al-Muti’i, Muhammad Najib. Takmilat Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab. (Madinah: Al-Maktabah As-Salafiyyah, tanpa tahun). Juz 26, Hlm 341-342.

[5] Abdurrahman Bin Muhammad Al-Masyhur, Bughyatul Mustarsyidin, (Beirut: Dar al-Fikr 1994), Hlm 533.

[6] Az-Zuhaili, Wahbah bin Mustafa. Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, (Damaskus: Dar Al-Fikr, tanpa tahun). Juz 7, Hlm 5595.

[7] Abū ʿAbd Allāh Muḥammad ibn ʿUmar ibn al-Ḥasan ibn al-Ḥusayn al-Taymī al-Rāzī. Mafātīḥ al-Ghayb (Tafsīr al-Kabīr). (Beirut: Dār Iḥyāʾ al-Turāth al-ʿArabī, cet. 3, 1420 H). Juz 13, Hlm 150.


Penulis: Ma’sum Ahlul Choir, Mahasantri Marhalah Tsaniyah (M2) Ma’had Aly Hasyim Asy’ari