Tradisi megengan. (sumber gambar: nudelta)

Umat Islam di Indonesia memiliki tradisi khas ketika memasuki bulan Ramadan. Salah satu tradisi Islam ketika bulan Ramadan tiba ialah megengan, yaitu suatu tradisi masyarakat Jawa untuk menyambut datangnya bulan Ramadhan. Tradisi ini biasanya dilakukan pada malam terakhir bulan Ruwah (Sya’ban) dan memiliki makna yang mendalam bagi kehidupan spiritual masyarakat Jawa.

Perlu diketahui bahwa tradisi megengan selain di Jawa, juga berkembang di masyarakat Melayu dan Aceh. Intinya, menyambut bulan suci Ramadhan dengan berkumpul bersama keluarga, tetangga atau masyarakat sekitar, yang biasanya diisi kegiatan seperti, makan bersama, membaca dzikir dan tahlil yang ditujukan kepada arwah ahli kubur yang telah wafat.

Ada juga sebagian masyarakat yang sebagian melakukan ziarah kubur baik ke makam pendahulunya ataupun ziarah ke makam wali, ada juga yang mengadakan sedekah masal di masjid, atau Musholla.dan  Melakukan kunjungan silaturahmi. Semua ini dilakukan dalam rangka menyambut gembira bulan suci Ramadan.

Lantas bagaimana hukum megengan dalam prespektif Islam? Megengan berasal dari kata “megeng” yang berarti menahan, dan “an” yang berarti proses yang terus menerus dilakukan secara terus menerus. Hal ini menunjukan makna bahwa kita harus siap menghadapi segala cobaan untuk menahan hal hal yang membatalkan puasa, dan menahan perbuatan perbuatan kita yang mengugurkan pahala puasa, serta berjuang untuk mendapatkan keutamaan bulan suci Ramadhan lewat proses yang panjang dan juga berat.

Baca Juga: Di Balik Kue Apem dan Tradisi Megengan

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Kemudian Islam memandang hal seperti ini berdasarkan hadist Riwayat Imam Ahmad dan An-Nasa’i mengabarkan bahwa Rasulullah juga mengekspresikan kegembiraannya kepada para sahabat perihal kedatangan bulan suci Ramadan sebagaimana dikutip berikut ini:

 وَقَدْ كَانَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُبَشِّرُ أَصْحَابَهُ بِقُدُوْمِ رَمَضَانَ كَمَا أَخْرَجَهُ الإِمَامُ أَحْمَدُ وَالنَّسَائِيُّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَلَفْظُهُ لَهُ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُبَشِّرُ أَصْحَابَهُ بِقُدُوْمِ رَمَضَانَ بِقَوْلِ قَدْ جَاءَكُمْ شَهْرُ رَمَضَانَ شَهْرٌ مُبَارَكٌ كُتِبَ عَلَيْكُمْ صِيَامُهُ تُفْتَحُ فِيهِ أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَتُغْلَقُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَحِيمِ وَتُغَلُّ فِيهِ الشَّيَاطِينُ فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ مَنْ حَرُمَ خَيْرَهَا فَقَدْ حَرُمَ الخَيْرَ الكَثِيْرَ

Artinya: Rasulullah SAW memberikan kabar gembira kepada para sahabat atas kedatangan bulan Ramadhan sebagaimana riwayat Imam Ahmad dan An-Nasai dari Abu Hurairah RA. Ia menceritakan bahwa Rasulullah memberikan kabar gembira atas kedatangan bulan Ramadhan dengan sabdanya: Bulan Ramadhan telah mendatangi kalian, sebuah bulan penuh berkah di mana kalian diwajibkan berpuasa di dalamnya, sebuah bulan di mana pintu langit dibuka, pintu neraka jahim ditutup, setan-setan diikat, dan sebuah bulan di mana di dalamnya terdapat malam yang nilainya lebih baik dari seribu bulan. Siapa saja yang luput dari kebaikannya, maka ia telah luput dari kebaikan yang banyak. (Lihat Az-Zarqani, Syarah Az-Zarqani alal Mawahibil Ladunniyah bil Minahil Muhammadiyyah, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah: 1996 M/1417 H], juz XI, halaman: 222).

Bagi sebagian ulama’ hadist ini menjadi dasar hukum bagi masyarakat yang ingin mewujudkan kegembiraan datangnya bulan Suci Ramadhan. Memang megengan ini adalah Bid’ah namun tidak bisa dikategorikan Bid’ah Sayyiah, (jelek) ataupun (Dholalah) menyesatkan. Sebagaimana yang ada pada hadist nabi yang berbunyi :

عَنْ أُمِّ المُؤْمِنِيْنَ أُمِّ عَبْدِ اللهِ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا، قَالَتْ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ﷺ: «مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ» رَوَاهُ البُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ
وَفِي رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ: «مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ


Dari Ummul Mukminin Ummu Abdillah Aisyah Radhiyallahu Anha, ia berkata: Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa yang mengada-ngada dalam urusan kami ini yang bukan bagian darinya, maka ia tertolak.” (HR Al-Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718)

Para ulama telah menjelaskan bahwa,pengertian hadits di atas adalah dikembalikan pada masalah hukum meyakini sesuatu (amalan) yang tidak bisa mendekatkan diri kepada Allah, sebagai bisa mendekatkan diri kepada Allah bukan mutlak semua pembaharuan (dalam agama).

Baca Juga: Tradisi Slametan dan Dampak Positifnya

Karena adat ataupun kegiatan megengan ini tidak bertentangan dengan hukum Syar’I, dan juga tidak menimbulkan kemudhorotan, maupun kemafsadatan. Justru malah menimbulkan kemashlahatan bagi umat. Dengan adanya megengan Masyarakat semakin guyub rukun,saling menghargai dan menyayangi sesama, sekaligus menjadi spirit untuk menjalankan ibadah puasa di bulan suci Ramadan. Dengan demikian, maka hukum megengan ini diperbolehkan dan perlu dilestarikan. Wallahu’alam.



Referensi : Kitab Risalah Ahlus sunnah Waljama’ah, Kamus Bahasa Indonesia, Az-Zarqani, Syarah Az-Zarqani alal Mawahibil Ladunniyah bil Minahil Muhammadiyyah, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah: 1996 M/1417 H], juz XI, halaman: 222



Penulis: Fatih