Sumber foto: https://www.kanalaceh.com

Oleh: Fitrianti Mariam Hakim*

Salah satu tuntutan pokok dalam reformasi yang terjadi di Indonesia adalah terciptanya pemerintahan yang bersih (the clear goverment). Pengertian bersih di sini mengacu pada kebersihan dari penyakit kronis yang selama ini menjangkiti bangsa Indonesia, yaitu korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Berbagai upaya telah banyak dilakukan di era reformasi untuk memenuhi tuntutan tersebut. Salah satu wujud upaya itu adalah dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada masa pemerintahan Megawati Soekarno Putri. Ada satu hal yang menarik bahwa dari setoran formulir tentang laporan jumlah harta kekayaan yang dikirim oleh seorang pejabat tercantum sejumlah besar harta hibah yang diterima oleh pejabat sewaktu menjadi penjabat.

Berangkat dari sini, mulailah timbul sebuah pertanyaan. Apakah hibah kepada pejabat ketika aktif menjabat dibenarkan oleh syariat Islam? Bukankah hibah semacam itu sangat patut diduga memiliki tujuan tertentu terkait dengan pemanfaatan jabatan seorang pejabat untuk kepentingan pemberi hibah? Jika jawabannya dibenarkan oleh Islam, maka usai sudah permasalahannya. Namun, apabila jawabannya adalah Islam tidak memperbolehkan, maka bagaimana hukum hibah dan kedudukan dari hibah tersebut, akankah dikembalikan kepada pemberi hibah, ataukah diserahkan atau disita negara? Berikut akan kami coba paparkan penjelasan terkait hibah.

Secara etimologis (lughawi) kata hibah merupakan bentuk mashdar dari kata kerja wahaba-yahabu. Arti kata hibah adalah pemberian. Adapun secara terminologis (isthilah) kata hibah, menurut Ibnu Hajar al ‘Asqalani –dalam kitab Fath al Bari- memiliki dua pengertian, yaitu pengertian umum dan pengertian khusus. Dalam pengertian umum, hibah memiliki 3 cakupan makna, yaitu ibra’ (pembebasan hutang), shodaqah, dan hadiah. Sedangkan dalam pengertiannya yang khusus, hibah berarti pemberian yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh ganti.

Pada dasarnya, perbuatan hibah merupakan perbuatan yang disyari’atkan oleh Islam dan sangat dianjutkan baik dalam Al Quran maupun Hadis. Syaikh Wahbah az Zuhaili mengatakan di dalam kitabnya Fiqh al Islami wa Adillatuhu hal. 3982. Bahwasanya telah terjadi ijma (kesepakatan para ulama mujtahidin) mengenai hal tersebut. Tentulah yang berlaku adalah hibah yang dilakukan dengan cara-cara yang halal atau dibenarkan oleh Islam. Bukan hibah yang mengandung hal-hal yang meragukan dari sudut pandang agama dan hal-hal uang diharamkan oleh syariat Islam. Salah satu hibah yang bermasalah ini adalah hibah kepada pada pejabat atau aparat pemerintah dalam literatur Islam dengan istilah hadaya al ummal (hadiah bagi pejabat atau aparat)

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Ada beberapa hadis yang melarang para pejabat atau aparat menerima hadiah yang berhubungan dengan jabatannya. Salah satunya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim no. 94


وَحَدَّثَنِي هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ , عَنْ أَبِيهِ , عَنْ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ  قَالَ : ” اسْتَعْمَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلا , يُقَالُ لَهُ : ابْنُ اللَّتْبِيَّةِ عَلَى صَدَقَاتِ بَنِي سُلَيْمٍ ، فَلَمَّا قَدِمَ , قَالَ : هَذَا لَكُمْ وَهَذَا أُهْدِيَ إِلَيَّ ، قَالَ : فَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمِنْبَرِ فَحَمَدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ، ثُمَّ قَالَمَا بَالُ عَامِلٍ أَبْعَثُهُ , فَيَقُولُ : هَذَا لَكُمْ وَهَذَا أُهْدِيَ إِلَيَّ . أَفَلا قَعَدَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ وَبَيْتِ أُمِّهِ حَتَّى يَنْظُرَ أَيُهْدَ إِلَيْهِ أَمْ لا ؟ ! وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لا يَأْخُذُ مِنْهَا شَيْئًا إِلا جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى رَقَبَتِهِ ، إِمَّا بَعِيرٌ لَهُ رُغَاءٌ , أَوْ بَقَرَةٍ لَهَا خُوَارٌ , أَوْ شَاةٌ تَيْعَرُ ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى رُئِيَ بَيَاضُ إِبِطَيْهِ , فَقَالَ : اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ ؟

“Dari Abi Humaid as Sa’idi ra berkta Nabi SAW mengangkat seseorang dari suku Azdy bernama Ibnu Al-Utbiyyah untuk mengurusi zakat, tatkala ia datang kepada Rosulullah, ia berkata, Ini untuk anda dan ini dihadiahkan untuk saya. Rosulullah bersabda, ”Kenapa ia tidak duduk saja di rumah ayahnya atau ibunya, lantas melihat apakah ia akan diberi hadiah atau tidak. Demi Zat yang jiwaku berada ditangan-Nya tidaklah seseorang mengambilnya darinya sesuatupun kecuali ia datang pada hari kiamat dengan memikulnya di lehernya, kalau unta atau sapi atau kambing semua akan bersuara dengan suaranya, kemudian Rosulullah mengangkat tangannya sampai kelihatan ketiaknya lantas bersabda, Ya Allah tidaklah kecuali telah aku sampaikan, sungguh telah aku sampaikan, sungguh telah aku sampaikan.”

Berdasarkan hadis di atas, dijelaskan dalam Shahih Muslim Syarh an Nawawi bahsawanya para ulama bersepakat tentang haramnya hadiah yang diberikan kepada para pejabat dan aparat. Sebagai contoh bahwa Imam Muslim memberikan judul pada hadis di atas dengan “Bab Tahrim al Hadaya al Ummal” (bab diharamkannya hadiah bagi para pejabat). Imam Nawawi mengomentari hadis di atas dengan menyatakan antara lain,

Ghulul, pada asalnya adalah pengkhianatan secara umum. Tetapi kemudian, ghulul menjadi sangat populer digunakan khusus mengenai pengkhianatan terhadap harta rampasan perang (ghanimah).

Apabila kita memahami keberadaan ghanimah  sebagai sumber kekayaan negara di masa Nabi Muhammad SAW, dan pengkhianatan terhadap ghanimah disebut ghulul¸maka setiap pengkhianatan pada kekayaan negara di masa kini bisa disamanakan dengan perbuatan ghulul. Nah, karena sadar inilah kata ghulul dapat diterima penerjemahannya kata korupsi. Kemudian, dalam hal ini, Imam Tabhrani mengatakan bahwa:

هدايا العمال غلول

Hadiah yang diterima pejabat merupakan ghulul (korupsi).”

Di samping itu, hadiah bagi para pejabat juga disebut dengan riswah (suap). Hal ini sebagaimana yang disebutkan oleh ‘Umar bin Abdul ‘Aziz bahwasanya.

كنت الهداية في زمن رسول الله صلى الله عليه وسلم هدية، واليوم رشوة

Hadiah pada masa Rasulullah SAW adalah benar-benar hadiah. Sedangkan pada masa sekarang adalah suap.”

Lalu bagaimanakah hukum risywah  (suap)  dalam Islam? Beberapa nash di dalam Al Quran dan Sabda Rasulullah mengisyaratkan bahkan menegaskan bahwa Risywah merupakan suatu yang diharamkan di dalam syariat. Allah SWT berfirman:

وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Dan janganlah kamu memakan harta sebagian dari kamu dengan jalan yang batil, dan janganlah kamu membawa urusan harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui. (QS. Al-Baqoroh: 188)

Imam Al Ghazali mengomentari bahwa

أي كان يتقرب لنبوته لا لولا يته و نحن إنما نعطي للولاية

Maksudnya ialah bahwa orang mendekatkan diri kepada Nabi Muhammad SAW adalah karena kenabian beliau, sedangkan ketika kita diberi hanyalah karena jabatan kita.

Dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin juz XV halaman 156 dijelaskan bahwa, Imam al Ghazali mengatakan bahwa hadiah kepada pejabat yang dianggap suap ialah hadiah yang diberikan lantaran jabatannya, sehingga haram untuk menerimanya. Ini sangat perlu di garis bawahi. Karena bisa saja pemberian hadiah itu benar-benar tidak terkait dengan jabatannya, atau karena pemberian orang yang telah biasa memberi sebelum menjadi ia menjabat. Adapun hadiah yang diberikan masih bersifat musykil atau menyimpan keraguan maka ia dikategorikan sebagai barang yang subhat (tidak jelas halal dan haramnya), oleh karena itu ia lebih baik dijauhi.

Lalu bagaimana dengan kedudukan hartanya?

Apabila suatu hibah yang diberikan kepada pejabat sudah memenuhi kriteria sebagai hibah karena jabatan, maka hibah itu hukumnya haram. Dan menurut Ibnu Hajar al-Asqalani, maka harta itu harus dikembalikan pada Baitul Mall. Dalam konteks terkini maka harta atau barang tersebut disita Negara.

*Mahasantri putri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng


Sumber :

  1. Kitab Ihya’ Ulumuddin
  2. Syarh Imam Muslim
  3. Fathul Bari
  4. Berbagai sumber lainnya.