
Manusia merupakan makhluk ruhani, semuanya yang menggerakan seperti tubuh, kaki dan lainnya, serta apa saja yang terlihat sebenarnya digerakkan oleh hati. Maka yang utama dari diri manusia sesungguhnya adalah bagaimana mengelola hati, yang ini akan mengarahkan manusia menjadi baik atau sebaliknya. Seperti fenomena yang kini sering kita hadapi seperti “kegalauan sosial, keresahan sosial bahkan kalau dilihat belakang ada caci maki, ucapan kotor, hoaks, dan fitnah”, adalah salah satu contoh dari sesuatu yang “bersumber” dari hati.
Fenomena-fenomena yang disebutkan tadi hampir setiap hari terjadi, bahkan sesama muslim tak jarang saling bermusuhan, saling caci maki yang mana hal tersebut sesungguhnya dilarang oleh agama, karena semua itu tidak ada manfaatnya sama sekali, tetapi malah akan merugikan diri sendiri dan mengacaukan sistem sosial. Oleh sebenarnya yang perlu diutamakan adalah bagaimana mengatur hati, bagaimana mengelola hati agar perjalanan hidup menjadi damai, dan saling memberikan kebahagiaan kepada yang lain.
Menurut Imam Al Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin, “Harta bisa membuat seseorang lupa diri yang akhirnya tanpa disadari jauh dari Allah, solusinya kata Imam Al-Ghazali banyak sedekah, jangan kemaruk, sisakan yang kita butuhkan saja, baik zakat, infak dan sedekah.”
Hasrat manusia yang paling sering terlihat adalah harta, maksiat, dan lain sebagainya, yang dipengaruhi oleh sifat manusia yaitu “nafsu” (An-nafs al-ammarah bissu), jiwa yang senantiasa mendorong untuk melakukan keburukan, kebohongan, karena semua itu bukan hanya soal keberadaan itu tetapi bagaimana nafsu itu ditempatkan pada tempatnya.
Lalu bagaimana langkah-langkah yang akan diambil agar terhindar dari sifat tersebut?
Bagaimanapun jiwa manusia mempunyai pengaruh terhadap motivasi berperilaku seseorang. Jiwa tersebut mempunyai godaan-godaan yang senantiasa bergerak, serta gangguan-gangguan yang mengarah kepada kebimbangan, yang mengakibatkan seseorang melakukan penyimpangan, kejahatan, kekejian, dan kemungkaran. Oleh karena itu jiwa ini perlu disucikan. Sehingga bersuci dalam agama Islam tidak hanya meliputi jasmani tetapi juga rohani. Mensucikan jiwa dari segala macam penyakit jiwa ini disebut tazkiyah al-nafs.
Strategi Imam Al Ghazali dalam Ihya Ulumuddin, untuk melakukan Tazkiyatun Al-Nafs, jalannya ada tiga:
- Pertama, Ilmu dan Keyakinan
Tentu saja setiap orang harus tahu ilmunya bagaimana Taskiyatun Al-Nafs yang cocok dan sesuai, kalau sudah mendapat ilmunya setelah itu “Yakinlah” pada dirimu
- Kedua, Riyadah (Latihan)
Imam Al Ghazali mengutip gagasannya dari Syekh Yahya ibn Mubz Ar-razi: tiga musuh manusia diantaranya ada dunianya, setannya, nafsunya
Penyembuhannya: menjaga makanan (Puasa), menahan mata (dari tidur), mengendalikan mulut atau perkataan (pemaaf)
- Ketiga, Mujahadah (Tindakan)
Amal baik diperbanyak begitupun dengan niatnya yang kuat diisi dengan amal baik, sabar dan istiqamah
Imam Al Ghazali mengutip gagasannya dari Syekh Sahl al-Tustari
Penyembuhannya: mengempiskan perut, menyedikitkan tidur malam, tidak banyak bicara, menjauh dari manusia
Namun hati-hati dengan empat hal ini, bukan berarti seseorang tidak boleh memiliki, tapi hal tersebut bisa menghalangimu dari Allah menurut Imam Al-Ghazali, diantaranya:
- Harta
Pemanfaatan penggunaan harta dalam Islam dipandang sebagai kebaikan. Kegiatan ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan baik jasmani maupun ruhani sehingga mampu memaksimalkan fungsi kemanusiaannya, dalam menggapai kebahagiaan dunia dan akhirat, Allah Swt berfirman:
وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَلِأَنْفُسِكُمْ ۚ وَمَا تُنْفِقُونَ إِلَّا ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللَّهِ ۚ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تُظْلَمُونَ
Artinya: “Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allâh), maka pahalanya itu untuk kamu sendiri. Dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridhaan Allâh. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya.” (Qs.Al-Baqarah/2:272).
Mengatasinya: memperbanyak sedekah dan menyisakan yang perlu dan kebutuhan saja
- Pangkat dan Kedudukan
Diperbolehkan apabila mempunyai pangkat dan kedudukan tinggi, tapi jangan sampai berambisi berlebihan terhadap kehormatan, apa lagi sampai merendahkan diri seseorang dsb.
Dalam Kitab Shahih Bukhari no. 7148 dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda:
إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُونَ عَلَى الْإِمَارَةِ وَسَتَكُونُ نَدَامَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ …
Artinya: “Kalian akan berambisi atas kekuasaan dan akan menjadi penyesalan pada hari kiamat…”
Mengatasinya: Menjauhkan diri dari kemewahan, menjauhi dari pujian-pujian manusia, dsb.
- Taqlid
Kepada siapakah bertaqlid? kepada salah satu dari madzhab empat yang telah dimaklumi oleh seluruh Ahli Ilmu, tentang keahlian dan kemampuan mereka dalam Ilmu Fiqih, akhlaq dan taqwa mereka yang tidak akan menyesatkan umat, sebab tidak semua orang mempunyai kemampuan dan kesempatan untuk mempelajari agama secara mendalam, Allah berfirman:
وَمَآ اَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ اِلَّا رِجَالًا نُّوْحِيْٓ اِلَيْهِمْ فَسْـَٔلُوْٓا اَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَۙ
Artinya: “Kami tidak mengutus sebelum engkau (Nabi Muhammad), melainkan laki-laki yang Kami beri wahyu kepadanya. Maka, bertanyalah kepada orang-orang yang mempunyai pengetahuan (yakni orang yang mempunyai pengetahuan tentang nabi dan kitab-kitab) jika kamu tidak mengetahui.” (Qs An-Nahl:43)
Mengatasinya: Meninggalkan fanatik kepada kelompok atau aliran.
- Maksiat
Pahala meninggalkan maksiat itu begitu hebat. Saking hebatnya sampa-sampai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
مَن دَعا إلى هُدًى، كانَ له مِنَ الأجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَن تَبِعَهُ، لا يَنْقُصُ ذلكَ مِن أُجُورِهِمْ شيئًا، ومَن دَعا إلى ضَلالَةٍ، كانَ عليه مِنَ الإثْمِ مِثْلُ آثامِ مَن تَبِعَهُ، لا يَنْقُصُ ذلكَ مِن آثامِهِمْ شيئًا
Artinya: “Siapa pun yang mengajak kepada kebaikan, maka ia akan mendapat pahala sebanyak pahala yang diperoleh orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Sebaliknya, siapa pun yang mengajak kepada kesesatan, maka ia akan mendapat dosa sebanyak yang diperoleh orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun.” (HR Imam Muslim)
Mengatasinya: Tobat, ber-azam tidak mengulangi lagi
Berikut petunjuk praktis dari Imam Al Ghazali untuk membersihkan kotoran jiwa melalui jalan Takziyat Al-Nafs;
- Syahwat perut dan kemaluan -> Jalannya: Puasa dan Menikah
- Bencana Lisan -> Jalannya: Tafakur, Zikrullah, Muhasabah-muraqabah-mujahadah, Ingat mati
- Marah, dengki dan iri -> Jalannya: Sabar dan Syukur, memaafkan dan kasih sayang, Membaca Al-Qur’an
- Cinta Dunia -> Jalannya: Ingat mati, Taubat, dan Zuhud
- Cinta harta dan Kikir -> Jalannya: Zakat, Infaq dan sedekah, Zuhud
- Cinta Kedudukan dan Riya’-> Jalannya: Uzlah
- Takabur dan Ujub -> Jalannya: Tauhid, Tafakur, dan Shalat
Demikian sebagian penerapan membersihkan diri melalui jalan Takziat Al-Nafs, semoga tulisan ini menjadi kebermanfaatan bagi kita, dan semoga Allah meridai. Aamiin. Wallahu a’lam bissawab.
Penulis: Diba
*Disarikan dari berbagai sumber