Haji Darto Syaifuddin, Pendiri Pesantren Madrasatul Quran al Qolam di Manokwari Selatan Papua Barat menceritakan perjuangannya mendirikan pesantren kepada wartawan Tebuireng Online pada Kamis (21/09/2017) di Hotel Hidayah Tebuireng.

Tebuireng.online— Masih ingat dengan kisah yang viral tentang pesantren yang sempat dikepung dan hendak diusir oleh warga di Papua, tetapi tidak jadi karena ketua adatnya melihat ada foto Gus Dur, Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari, dan Nahdlatul Ulama (NU) yang terpampang di dinding ruang utama pondok? Pada Kamis (21/09/2017) tim Tebuireng Online berhasil mendapatkan kisah mengharukan yang akan terus dikenang tentang perjuangan untuk mendirikan dan meneruskan pondok pesantren di daerah dengan minoritas muslim di Papua itu.

Pesantren itu kini berdiri dengan nama Pesantren Madrasatul Qur’an al Qalam yang berada di Manokwari Selatan Papua Barat. Cerita ini diungkap langsung oleh Sang Pendiri dan Pengasuh pesantren tersebut di Hotel Hidayah Tebuireng pukul 20.48 WIB. Ia adalah alumni Madrasatul Quran Tebuireng tahun 2000an dan lulusan Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang. Berikut adalah wawancara wartawan kami M. Tajuddin dan Zaenal Karomi dengan H. Darto Syaifuddin, pendiri pesantren tersebut.

Bagaimana cerita anda kok bisa sampai di Manokwari?

Saya berangkat ke Manokwari Selatan dengan tidak memilki niat apa-apa selain untuk hijrah dan dakwah. Pada akhir 2011, saya berangkat menuju ke Papua Barat. Semula saya berjualan ayam keliling. Disana itu, banyak sekali yang menyuruh saya menyembelih ayam secara syari’at. Karena disana banyak sekali yang belum memahami agama Islam sepenuhnya.

Bagaimana keadaan muslim di sana?

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Muslim di Papua juga merupakan warga Nahdliyin, tetapi masih belum memiliki wadah yang terbentuk secara struktural seperti, PWNU, PCNU, MWCNU, dan lain-lain.

Lalu bagaimana dengan hubungan muslim dengan pemeluk agama lain?

Hubungan dengan warga asli sana yang beragama nasrani itu masih baik. Cuma ada beberapa orang baik dari muslim maupun non muslim yang mengira bahwa orang islam itu sangat keras dan juga pernah kami mendapatkan penolakan dari berbagai gereja disana. Berbagai penolakan yang kami hadapi seakan menjadi ujian dari Allah SWT untuk bisa mengahadapi berbagai penolakan. Dengan sabar, mungkin menjadi bekal bagi kami untuk bisa meneruskan perjuangannya mendirikan pondok pesantren yang sebelumnya adalah sebuah bangunan kecil.

Dengar-dengar, sempat ada insiden pengepungan. Bagaimana itu ceritanya, Pak?

Yang paling saya ingat, adalah ketika kepala suku besar Manokwari Selatan, dan berbagai pihak setempat berkumpul di depan pondok dengan membawa berbagai senjata, seperti tombak, parang, panah. Jika di berita yang viral sekarang ini, mengatakan akan dibakar itu hanya tambahan dari meda itu sendiri untuk melebihkan rating.

Pada kondisi saat genting itu, saya hanya pasrah dan menerima apa yang terjadi pada pondok kami ini. Ketika mereka masuk ke ruang utama pondok, mereka melihat berbagai gambar ulama’. Dan yang sangat mereka hafal hanya 3 gambar saja, yakni Mbah Hasyim Asy’ari, Gus Dur, dan Nahdlatul Ulama’ (NU). Mereka bertanya kepada saya dan saya hanya menjawab bahwa saya adalah santrinya Mbah Hasyim. Ketika itu, mereka berbicara dengan bahasa mereka dan langsung menurunkan senjata dengan mengatakan, “Gus Dur itu bapak kami dan NU itu baik dengan kami”. Di saat itu pula, saya menyadari bahwa yang mengenalkan Papua pada seluruh warga Indonesia adalah Gus Dur. Dan akan dibuatkan semacam monumen Gus Dur yang tidak hanya untuk dikenang, tetapi juga ikut mendoakan.

Kok bisa setelah itu, Pendeta di sana mau meletakkan batu pertama asrama PPMQ al Qolam?

Ketika saat peletakan batu pertama pendirian Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an Al-Qalam, saya meminta kepada pendeta. Dan dengan senangnya, dia meletakan batu pertama dan beranggapan bahwa Islam itu harus lembut.

Di tulisan anda yang viral itu, anda mengatakan bahwa masih banyak cerita yang belum anda ceritakan. Bisa diceritakan pada kami, Pak?

Tulisan saya yang viral sekarang ini, aslinya itu hanya sekedar curhatan dengan salah seorang teman saya yang juga merupakan alumni Tebuireng. Saya jadi teringat tentang berbagai sumbangan dari berbagai pihak yang turut membantu pendidikan pondok kami. Seperti, ada seorang dokter dari Surabaya bernama Dr. Zaskia yang meminta saya untuk mendirikan perpustakaan di kawasan pondok dan semua buku itu ditanggung langsung oleh beliau.

Di sana juga banyak sekali cerita yang belum saya sampaikan, seperti menerima beberapa sumbangan dari banyak pihak, perjuangan kami mendirikan lembaga pondok pesantren, dan krisisnya pendidikan di sana.

Cerita apa yang benar-benar anda tak bisa melupakannya selama perjuangan?

Dan yang membuat saya terharu adalah pada saat saya membawa bendera NU yang sekiranya hanya sablonan tetapi bagi mereka adalah sebuah kebanggaan menjadi Nahdliyin, bahkan saling berebutan untuk mendapatkan bendera NU yang hanya berjumlah 5 buah.

Saya mengingat juga, pada saat adanya santri pertama yang ingin mondok, saya mengajak mereka untuk beribadah yang dinamakan rihlah karena kekhawatiran saya kepada warga di sana dan memilih beribadah di tengah hutan yang sekarang sudah menjadi pondok pesantren saya ini.

Saya mempunyai santri putri yang dulunya ingin mondok di pondok, tetapi tidak ada tempat. Langsung saya kirim ke Pondok Pesantren Walisongo Cukir saat liburan hari raya Idul Fitri lalu. Namanya itu Hasmilasari, dia ikut Silat Nurul Huda (NH) Perkasya, OSIS, dan lain-lain yang bisa menjadi bekal untuk bisa ditampung nantinya di pondok saya nanti. Jadi dia pernah mengikuti lomba Karya Ilmiah dan semua guru dan temannya menangis karena dia membahas pendirian pondok saya ini.

Ada pesan untuk para santri di seluruh penjuru dunia?

Santri harus paham bahwa pandai adalah nomer dua, sedangkan mental yang harus diutamakan dalam bermasyarakat.

Begitulah kisah H. Darto sang perantau yang memilih ladang dakwah di daerah terpencil di Manokwari Selatan Papua Barat. Hafidz al Quran itu paham betul bahwa untuk meraih tujuan, tak ada cara lain selain berjuang dan melawan segala rintangan. Sekarang pesantrennya telah memiliki santri. Berdakwah tidak harus bersikap keras. Tak bisa dipungkiri, bahwa Gus Dur, NU, dan Tebuireng, telah menjadi wasilah keselematan yang Allah berikan pada H. Darto, rekan-rekan seperjuangannya, dan para santrinya dari amukan massa yang menganggap Islam adalah agama kekerasan. H. Darto membuktikan bahwa Islam bukan agama kekerasan. Lalu, kapan kita juga begitu?  Semoga menginspirasi.


Pewarta:            M. Tajuddin dan Zaenal Karomi

Editor/Publisher: M. Abror Rosyidin