KH. Musta’in Syafi’ie memimping malam refleksi Kemerdekaan Republik Indonesia ke-79 di Pesantren Tebuireng. (foto: kopiireng)

Tebuireng.online– Sebagai bentuk upaya komitmen kebangsaan, santri Tebuireng turut memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) Republik Indonesia ke-79. Terdapat beberapa kegiatan yang diselenggarakan mulai dari doa bersama, nonton bareng, refleksi kemerdekaan, dan lomba antar pengurus. Agenda tersebut digelar mulai dari 15-17 Agustus 2024.

Pada Jumat malam bakda Isya’ (16/08/24) santri Tebuireng berkumpul di masjid untuk mendengar refleksi kemerdekaan. Refleksi tersebut dibawakan oleh Dr. KH. Musta’in Syafi’ie. Dalam kesempatan itu beliau mengajak para hadirin untuk mentadaburi lukisan kaligrafi di dinding masjid Tebuireng.

“Ketahuilah bahwa kaligrafi di sekitar serambi masjid ini adalah ayat-ayat Al-Qur’an yang sering dipakai dalil oleh Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari,” ungkap KH. Musta’in Syafi’ie.

Hadratussyaikh dalam pidato-pidatonya mengutip ayat sikap seorang pemuda ideal,

 نَّحۡنُ نَقُصُّ عَلَیۡكَ نَبَأَهُم بِٱلۡحَقِّۚ إِنَّهُمۡ فِتۡیَةٌ ءَامَنُوا۟ بِرَبِّهِمۡ وَزِدۡنَـٰهُمۡ هُدࣰى

Kami ceritakan kepadamu (Muhammad) kisah mereka dengan sebenarnya. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambahkan petunjuk kepada mereka. (Surat Al-Kahfi: 13)

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Kemudian mengenai sikap seharusnya saat seseorang menjadi tokoh.

فَأَمَّا ٱلزَّبَدُ فَیَذۡهَبُ جُفَاۤءࣰۖ وَأَمَّا مَا یَنفَعُ ٱلنَّاسَ فَیَمۡكُثُ فِی ٱلۡأَرۡضِۚ كَذَ ٰ⁠لِكَ یَضۡرِبُ ٱللَّهُ ٱلۡأَمۡثَالَ

Adapun buih, akan hilang sebagai sesuatu yang tidak ada gunanya; tetapi yang bermanfaat bagi manusia, akan tetap ada di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan. (Surat Ar-Ra’d: 17)

“Kalian kalau menjadi tokoh di masyarakat, bukan dilarang viral, tapi jangan sok memproklamirkan diri. Bukan saya melarang kalian untuk viral-viral. Tapi sikap yang tenang itu lebih bermanfaat, seperti halnya air.”

Lalu bagaimana sikap dalam berjuang?

یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَٱبۡتَغُوۤا۟ إِلَیۡهِ ٱلۡوَسِیلَةَ وَجَـٰهِدُوا۟ فِی سَبِیلِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ

Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan) untuk mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah (berjuanglah) di jalan-Nya, agar kamu beruntung. (Surat Al-Ma’idah: 35)

Kemudian bagaimana ketika sudah tua? Hadratussyaikh punya prinsip yang tegas, tetapi tetap ada kasih sayang.

مُّحَمَّدࣱ رَّسُولُ ٱللَّهِۚ وَٱلَّذِینَ مَعَهُۥۤ أَشِدَّاۤءُ عَلَى ٱلۡكُفَّارِ رُحَمَاۤءُ بَیۡنَهُمۡۖ تَرَىٰهُمۡ رُكَّعࣰا سُجَّدࣰا یَبۡتَغُونَ فَضۡلࣰا مِّنَ ٱللَّهِ وَرِضۡوَ ٰ⁠نࣰاۖ

Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu melihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya. (Surat Al-Fath: 29)

Pada tanggal 15 Agustus Soekarno sudah diculik oleh pemuda-pemuda. Soekarno meminta petunjuk kepada Hadratussyaikh untuk menentukan hari proklamasi. Ternyata Hadratussyaikh menentukan tanggal 17 Agustus sebagai hari proklamasi. Rumah Pegangsaan Timur adalah rumah yang diwakafkan oleh seorang Habib untuk tempat proklamasi. Setelah itu terciptalah lagu Syukur, penciptanya Habib Husein Al-Muthohhar. Lalu ada juga kitab Sullam Taufiq yang terkenal itu juga dikarang oleh kalangan Habib.

“Jangan ikut pada konflik perseteruan adu domba Habib-Kiai.” Begitu pesan beliau dengan tegas di hadapan para hadirin.

Santri Tebuireng saat mengikuti malam refleksi Kemerdekaan RI. (foto: kopiireng)

Kiai Musta’in juga menceritakan peejuangan KH. M. Hasyim Asy’ari. Perjuangan kemerdekaan Hadratussyaikh ini ada perjuangan lahir juga batin. Beliau belajar menembak dengan anaknya Yusuf Hasyim. Beliau pun tak luput dari wasilah kedekatannya dengan Allah. Ada seorang santri tidak puas hanya dengan doa keselamatan pertempuran Surabaya. Ia meminta agar Kiai Hasyim mendoakan agar kebal tembak. Karena meminta kebal santri itu benar-benar kebal tembak. Namun, nahasnya santri tetap merasakan pegal-pegal, meski kebal tembak.

Hadratussyaikh juga di tengah pertempuran tetap mengaji. Hal itu mengikuti pendahulunya Pangeran Diponegoro yang memang dalam perjuangan pun masih membaca Al-Qur’an, kitab Fathul Qarib, dan tasbih sebagai orang Naqsyabandi.



Pewarta: Yuniar Indra Yahya