tebuireng.online— Pengasuh Pesantren Tebuireng, Dr. Ir. KH. Salahuddin Wahid menyampaikan sambutan dalam acara Wisuda Purna Siswa Yayasan KH. M. Hasyim Asy’ari di halaman SMA A. Wahid Hasyim Tebuireng Ahad (29/05/2016). Pada kesempatan ini, Gus Sholah menyinggung isu kekerasan yang dilakukan oleh anak-anak di bawah umur dan remaja yang santer diberitakan di media-media dalam negeri.
Gus Sholah menyampaikan keprihatihan terhadap keadaan generasi bangsa saat ini. “Tentunya Kita semua mendengar, membaca dan mengamati perkembangan akhir-akhir ini mengenai banyak peristiwa yang membuat kita prihatin. Berbagai kasus kekerasaan yang dilakukan oleh anak-anak yang masih berusia sangat muda seperti menganiaya, memerkosa bahkan membunuh orang tua sendiri,” jelas beliau.
Gus sholah juga memaparkan, kekerasaan selain anak juga banyak terjadi kepada banyak perempuan. Pada tahun 2010 kekerasan terhadap perempuan mencapai 120 ribu kasus, kemudian tahun 2015 naik menjadi 370 ribukasus. “Kita bisa melihat bahwa kekerasaan menjadi sebuah fenomena yang menjadi tanggung jawab kita semua,” ungkap adik Gus Dur tersebut.
Bagi beliau peristiwa-peristiwa yang muncul di permukaan hanyalah punggung Es, artinya yang terlihat hanya puncuknya sebetulnya di bawahnya banyak peristiwa-peristiwa semacam ini. “Melihat kejadian-kejadian seperti itu, maka pemerintah mengeluarkan PERPU untuk memberat hukuman terhadap pelaku, yang tadinya hanya maksimal 15 tahun sekarang bisa seumur hidup bahkan hukuman mati atau hukuman kebiri, yang masih digodok pemerintah dan harus mendapat persetujuan oleh DPR,” ungkap beliau.
PERPU itu, menurut beliau, adalah penyelesaian masalah di ujungnya (hulu), padahal sebetulnya masalahnya tidak hanya itu, masalahnya ada di pendidikan, baik oleh orang tua maupun guru. “Di Pendidikan Pesantren, tugas orang tua mendidik anak dialihkan kepada pengasuh, para ustadz, dan Pembina kamar, mereka itu adalah orang yang bertugas untuk membimbing anak-anak kita supaya terjauh dengan hal-hal yang melanggar hukum,” terang beliau.
Dalam hal itu Gus Sholah juga menuturkan bahwa pembina kamar adalah ustadz yang menemani para santri-santri di setiap kamarnya, yang melakukan monitoring kegiatan santri dan melayani apa yang dibutuhkan santri.
Beliau memaparkan sebuah hasil penelitian, ternyata orang yang melakukan kekerasaan sebagian besar pernah merasakan kekerasaan ketika mereka masih kecil. Beliau mengambil hasil sebuah penelitian yang dilakukan oleh lembaga pendidikan SMA di Jakarta. Belum tentu ini berlaku kota kecil seperti Jombang dan lain-lain. Akan tetapi penelitian ini diambil untuk sebuah acuan/informasi.
Peneliti tersebut membagi tiga kelompok; pengaruh modal sosial seperti pendidikan orang tua, agama, guru, dan umat, pengaruh dari jejaring media sosial seperti Facebook, twitter dan lain-lain, dan yang ketiga empati.
Menurut Penelitian itu, lanjut beliua, yang paling rendah adalah modal sosial (0,36), yang selanjutnya adalah Jejaring sosial (0,47), dan pengaruh Empati (0,50). Jadi, pengaruh guru atau kawan itu hanya 0,36, maka empatilah yang harus ditumbuhkan dalam diri anak.
Di akhir sambutan, Gus Sholah menceritakan program Diklat Kader Pesantren Tebuireng untuk menanamkan sikap disiplin dan memimpin dengan melayani. Beliau mengucapkan terima kasih kepada para wali santri yang mempercayakan kami dalam mendidik anak dan memohon maaf apabila selama mendidik banyak kesalahan. (Karomi/Abror)