Oleh: H. Fawaid Abdullah HR*
Awalnya saya belum berpikiran untuk menulis tentang sosok Gus Ishom, tentunya yang saya tahu tentang Gus Ishom adalah selama saya nyantri di Tebuireng masuk tahun 1989 (masuk Tsanawiyah) sampai Aliyah dan melanjutkan di Universitas Darul Ulum -tetapi masih tetap ada di lingkungan Tebuireng-. Saya masuk tahun 89, dan seingat saya saat itu Gus Ishom baru datang di Tebuireng sekitar tahun 1990-an. Karena saya masih kecil, maklum masih kelas 1 Tsanawiyah, ketika selama setahun berjalan nyantri itu, saya sudah dengar desas-desus dari santri-santri senior khususnya di komplek B Al Firdaus kalau sebentar lagi Tebuireng akan kedatangan “orang hebat” -ya beliau ini, Gus ishom-. Kata senior-senior saya kala itu walau Gus Ishom belum “rawuh” di Tebuireng, nama beliau sudah dikenal terlebih dahulu oleh para santri Tebuireng.
Ibarat gadis cantik, pasti banyak orang yang mengenal, bahkan (bisa berhasrat memiliki) si gadis ini, begitu juga halnya dengan Gus Ishom, beliau ini sudah banyak dikenal luas seantero Tebuireng walau beliau belum datang di Tebuireng, karena kabarnya ketika itu Gus Ishom masih ada di Pesantren Lirboyo.
Satu tahunan saya yang kala itu masih unyu-unyu menjadi santri Tebuireng sudah mendengar obrolan entah itu di kamar, di komplek, di kantin dikala senior-senior itu cangkru’an bahkan ketika mau mandi di jeding belakang SP. Catatan kecil saya ini, ingin saya hadirkan tentunya sesuai apa yang saya tau dan yang saya alami, bahkan yang hanya saya lihat maupun juga yang saya dengar.
Jadi andai nantinya, catatan saya ini dianggap subyektif. Sebelumnya, saya mohon maaf. Saya hanya berpikir sederhana, sudah waktunya sosok Gus Ishom “wajib” diketahui khususnya oleh para santri-santri Tebuireng yang ada saat ini, atau bahkan di masa mendatang.
Supaya tidak ada keterputusan mata rantai kesejarahan yang berkaitan dengan keilmuan di Tebuireng sebagai pesantren besar dan bersejarah yang banyak mencetak ulama, pemimpin ummat. Yang saya tahu, selama ini masih menelorkan buku-buku tentang sosok para Masyayikh di Tebuireng, mulai Hadratussyaikh sendiri, Kiai Wahid Hasyim, Kiai Idris Kamali, khususnya yang belakangan banyak dipublis melalui bentuk tulisan entah itu artikel, bahkan sudah berbentuk buku. Tetapi paruh masa berikutnya yaitu masa Gus Ishom ketika sudah ada di Tebuireng, belum ada yang banyak menulis bahkan mengungkap dari hal yang sepele tentang keseharian beliau sampai beliau ini melacak dengan telaten dan sabarnya manuskrip-manuskrip langka dan kuno berupa karya-karya sang kakek, Hadratussyaikh Kiai Hasyim Asy’ari sampai akhirnya saat ini banyak hadir dan dibaca oleh ribuan bahkan jutaan santri di nusantara ini.
Bicara tentang Tebuireng, sangat lah luas, selama ini hanya yang diangkat kepermukaan era lampau, tahun 60-an, 70-an, 80-an khususnya, padahal santri-santri Tebuireng yang mondok di Tebuireng di era 90-an bahkan 2000-an juga (sudah) banyak yang sukses menempati pos penting di wilayahnya masing-masing, entah itu pemerintahan dan negara, lembaga sosial kemasyarakatan, partai politik, di struktural NU maupun di posisi-posisi penting lainnya.
Catatan kecil saya ini akan saya hadirkan lebih pada fokus ketika saya ada di Tebuireng dari 1989-1999 dan nyantri “ngaji” kepada Gus Ishom dari tahun 1990-an sampai tahun 1999 (dan bahkan) sampai wafatnya beliau.
Mulang Kitab Al Muwattho’
Bagai gayung bersambut, mungkin ini kalimat yang tepat ketika Gus Ishom benar-benar datang di Tebuireng pada tahun kisaran 1990-an, kala itu saya yang masih kanak karena masih kelas 2 Tsanawiyah hanya mendengar bahwa macan Tebuireng telah pulang kampung, wajah dan tampilannya seperti apa saya belum melihatnya.
Selang beberapa waktu, baru sekelebat tampak wajah asli Gus ishom seperti apa. Itu pun setalah saya selesai berjamaah salat Maghrib di masjid, karena sesekali saja beliau lewat dan langsung masuk ke dalam ruang ta’mir masjid Tebuireng, di mana ruangan itu khusus untuk para pengurus pondok, para asatidz Tebuireng, dan sesekali santri senior “bisa” masuk, dan salat di ruangan itu. mana bisa seperti saya (masih kelas 2 Tsanawiyah) bisa bergabung di ruangan itu.
Yang saya ingat pertama kali, wajah Gus Ishom hitam manis, agak gemuk “ideal”, postur semampai. Walau sudah hadir di Tebuireng di tahun 90-an, Gus Ishom belum atau tidak langsung ngajar “mulang”, padahal desas-desus tentang sosok beliau sebelum datang pun di Tebuireng hampir semua santri-santri Tebuireng kala itu sudah tau terlebih dahulu bahwa beliau itu sosok yang ‘aalim dan bersahaja.
Beberapa saat setelah datang di Tebuireng konon mengajar di Aliyah, sedang saya kala itu masih duduk di bangku Tsanawiyah. Baru pada bulan Ramadan 1412 Hijriyah atau bertepatan 1992 Masehi, Gus Ishom mulang ngaji “pasaran atau kilatan” Ramadan, kitab yang beliau baca Kitab Tanwirul Hawalik Syarah Al Muwattho’ Ibn Malik yang di tulis oleh Al Syaikh Al Alim Al ‘Allamah Al Imam Jalaluddin Abdurrohman Al Suyuthi Al Syafi’i, kitab Al Muwattho’ ini adalah kitab karya monomentalnya Imam Ibn Malik, pendiri Madzhab Maliki yang ahli Hadits.
Pengajian pasaran yang dipangku Gus Ishom sontak luar biasa banyak peminatnya, hampir sebagian besar santri-santri Tebuireng ikut pengajian beliau, di mulai tanggal 22 Sya’ban bertepatan tanggal 1 maret 1992 dan selesai khatam tanggal 20 Ramadan 1412 Hijriyah bertepatan tanggal 24 maret 1992 Masehi jam 17.00 WIB (5 sore).
Kepiawaian Gus Ishom membaca kitab ini sungguh luar biasa, saya yang masih duduk di bangku Tsanawiyah kelas 3, sesungguhnya bukan karena pingin memaknai kitab ini, tapi lebih pada popok bawang sekedar ikut saja, minimal lebih dekat tahu wajah dan sosok beliau, pengajian beliau lebih banyak diikuti santri-santri yang sudah Aliyah dan mahasiswa, serambi masjid Tebuireng hampir penuh.
Suara beliau yang renyah, jelas, penuh humor, membacanya penuh dengan keluwesan, susunan kalimat per kalimat begitu tertata menunjukkan bahwa sosok beliau adalah memang benar-benar seorang yang ‘alim.
Aura ke ‘alimannya tampak dari wajah beliau yang teduh dan bersahaja. Saya tidak sempat mendokumentasikan pengajian kitab ini, karena masa itu bawa kamera pun sesuatu yang sangat mahal dan langka. Di sela-sela beliau baca kitab ini, beliau ndawuh, “ini kitab, sudah lama tidak pernah di baca di sini, di Tebuireng; kitab Al Muwattho’ ini penulisnya Imam Ibn Malik pendiri Madzhab Maliki, tetapi Tanwirul Hawalik ini ditulis (disyarahi) oleh Imam Jalaluddin Abdurrohman Al Suyuthi yang justeru beraliran Madzhab Syafi’i,”
Rawuhnya Gus Ishom “balik kampung” ini seakan membawa hawa baru para santri-santri kala itu, setelah sekian lama Tebuireng “kehilangan” sosok dzurriyyah yang langsung bersentuhan “ngaji” dengan santri, semenjak sepeninggal Kiai Idris Kamali dan Kiai Abdurrahman Wahid (Gus Dur) lebih banyak di Jakarta, Tebuireng seperti kehilangan induk semangnya, hadirnya Gus Ishom seakan menjadi “charger” baru bagi santri-santri Tebuireng, saya mendengar sendiri desas-desus santri-santri senior di tahun-tahun 90-an ini, karena tahun 89 saya masuk pondok.
Walau para Masyayikh dan guru-guru sepuh masih mulang, sebut saja ada Kiai Ishaq Latif “yai ka’-, Kiai Mahsun Keras, Kiai Syairozi dan guru-guru sepuh lainnya, tetapi kerawuhan Gus Ishom ini, tetap yang paling banyak menyedot magnet para santri karena beliau titisan langsung dari Hadratussyaikh Kia Hasyim Asy’ari dari putrinya, Ibu Nyai Khadijah binti Hasyim Asy’ari.
Pengajian beliau, membaca kitab ini sungguh membuat aura baru di Tebuireng, suasana pondok menjadi seperti kejatuhan “rembulan purnama” baru yang menyinari bumi Pesantren Tebuireng.
Wallaahu A’lam bis Shawab.
*Al Dho’ief wal Faqier iLaa Rabbihi Ta’alaa, Bumi Roudlotut Tholibin Kombangan, Bangkalan.
Santri Tebuireng 1989-1999
—-
Bersama Putra Gus Ishom Muhammad Hasyim Anta Maulana.