
“Ngene, San. Tak ajari; Awakmu kudu iso ngene, gak ngunu carane,” itu yang biasa beliau katakan dengan tujuan mendidik dan mengembangkan kemampuan penulis. Gus Bambang Harimurti, pertemuan awal penulis dengan beliau terjadi sekitar awal tahun 2022 saat di kantor Bank Sampah Tebuireng (BST).
Saat itu, penulis berniat mampir ke BST dengan tujuan ngopi dengan Mas Ahmad Faozan. Selain itu kebetulan juga penasaran dengan sosok dzurriyah yang masih asing di telinga penulis. Pertemuan awal kami agak lucu, karena kurangnya informasi yang penulis dapatkan. Setelah ngobrol dengan beliau, penulis bertanya, “panjenengan putrane Pak Ud (KH. M. Yusuf Hasyim) ingkang nomor pinten?” Lalu, beliau menjawab, “loh, aku mantune. Bojoku anak sing nomor 3.” Sontak penulis langsung malu, merasa lancang karena kurangnya informasi yang didapatkan. Namun, beliau menjawabnya dengan santai saja. Tidak menjadi masalah.
Penulis saat itu sering menemui beliau di kantor BST dengan tujuan untuk meminta tulisan rubrik Telaah Lingkungan yang akan diterbitkan di Majalah Tebuireng. Gus Bambang dipilih menjadi penulis rubrik ini karena dirasa sesuai dengan bidangnya, yakni sosok yang tekun dalam memelihara lingkungan Pesantren Tebuireng. Terutama beliau adalah Kepala Bagian Pemeliharaan Lingkungan Pesantren Tebuireng sekaligus Pembina BST.
Bonus pertemuan penulis dengan beliau adalah ngobrol santai ngalor-ngidul dan ngopi. Selama kami ngobrol, nampaknya beliau sangat menguasai berbagai pembasahan. Seputar lingkungan, isu terkini, politik, sastra, hingga saat penulis akan berpamitan geser lokasi beliau pasti akan membahas seputar hal spiritual dan tasawuf. Di sisi lain dari pembahasan, ternyata kami menemukan sebuah irisan: sama-sama putra dari anggota ABRI. Sehingga terkadang kami menceritakan bagaimana dididik oleh orang tua masing-masing.
Baca Juga: Gus Bambang: Urip Mung Mampir Ngombe Kopi
Selain di kantor BST, penulis sempat hendak menemui beliau di ndalem-nya, tetapi beliau saat itu sedang berada di warung kopi sebelah timur ndalem-nya. Saat itu tahun 2023, tepatnya bulan Ramadan, penulis hendak memberikan sebuah bingkisan dari Majalah Tebuireng atas dasar terima kasih karena sudah menulis di rubrik Telaah Lingkungan Majalah Tebuireng, sekaligus hendak memohon untuk menulis kembali di edisi selanjutnya. Ketika penulis baru datang, setelah usai bersalaman dengan beliau dan para pelanggan di warung kopi, Gus Bambang bertanya, “wis tadarus?” Penulis hanya terdiam. Ternyata, beliau sedang membuka aplikasi Al-Qur’an di ponselnya sambil bercerita tentang merenungi ayat-ayatNya.
Pertemuan selanjutnya adalah saat penulis baru saja menyelesaikan sidang skripsi di Universitas Hasyim Asy’ari (Unhasy) Tebuireng pada pertengahan tahun 2023. Memang, Lokasi BST tepat berada di belakang kampus penulis. Sehingga kurang enak jika tidak mampir terlebih dahulu. Saat itu penulis bertemu dengan Gus Bambang, Mas Faozan, dan Syarifudin yang kemudian kami ngopi dan makan bareng lebihan konsumsi dari acara sidang skripsi. Penulis juga mengucapkan terima kasih atas restu dari beliau karena juga turut mendoakan kelancaran studi sarjana penulis.
Tempat pertemuan yang selanjutnya merupakan hal yang krusial bagi penulis. Tahun 2024, tepatnya setelah momen lebaran, Gus Bambang dan Mas Faozan menawari penulis untuk ikut bergabung dalam tim BST. Tawaran ini penulis pertimbangkan terlebih dahulu dan pada akhirnya penulis mengiyakan. Penulis diamanahi untuk membantu dalam mengerjakan hal-hal administratif.
Kalimat yang Gus Bambang ucapkan kepada penulis saat awal bergabung di BST adalah, “awakmu pengen tak setel kenceng utowo setel kendo?” Penulis langsung menjawab, “setel kenceng mawon, Gus. Manut.” Dari sini penulis diajari langsung oleh beliau mengenai banyak hal. Ilmu administrasi hingga lapangan. Wajar, beliau sudah menggeluti dunia kontraktor sejak lama sebelum akhirnya uzlah dan terjun langsung mengatasi lingkungan di Pesantren Tebuireng. Sebagai insinyur praktik, alumni ITS ini sudah lama menggeluti dunia kontraktor. Berbagai proyek besar sudah dirampungkannya di beberapa kota. Sedangkan Jombang, khususnya Pesantren Tebuireng menjadi tempat terakhirnya.
Pada masa awal di BST, penulis terkadang diajak Gus Bambang beserta Mas Faozan untuk kunjungan ke unit-unit di bawah naungan Pesantren Tebuireng, seperti SDIT Ir. Soedigno Kesamben dan Pondok Tebuireng Kesamben. Saat itu tujuan dari kunjungan ini adalah membahas program pengelolaan sampah di Kesamben agar terhubung ke induk. Dalam upaya menangani lingkungan di Pesantren Tebuireng, khususnya pengelolaan sampah beliau berani mengerahkan seluruh sumber dayanya.
Penulis teringat saat persiapan menerima kunjungan pertama edukasi pengelolaan sampah, yakni dari MTs Salafiyah Syafi’iyah Tebuireng, beliau ikut lembur untuk turut membantu konsep hingga mengkondisikan lokasi supaya layak dan nyaman untuk para santri. Di momen lain, saat sebelum seminar lingkungan yang diadakan oleh OSAS Tebuireng, beliau menyusun dengan serius materi seminar yang juga sudah digodok bersama Mas Faozan dan penulis turut membantu dalam penyuntingan teksnya.
Beliau menyajikan materi dengan berbagai referensi yang aplikatif dengan tujuan agar para santri dapat dengan mudah mengimplementasikan mulai dari kamar masing-masing. Ketika acara seminar ini terselenggara, meskipun waktu menunjukkan sekitar pukul 22.30 beliau masih bersemangat untuk berdiskusi dengan para santri dalam hal pengelolaan sampah yang aplikatif.
Baca Juga: Gus Bambang dan Tiga Batu Akik
Dalam hal ilmu lapangan, beliau mengajarkan kepada penulis untuk sering menilik TPS 3R Pesantren Tebuireng dan gudang BST agar paham bagaimana semua proses pengelolaan sampah berlangsung. Selain itu, beliau sempat meminta penulis untuk sekadar “mengawasi” proses perbaikan halaman Wahana Edukasi Sampahku Tanggungjawabku (WEST) BST dan membantu menyediakan keperluan apa saja yang dibutuhkan oleh para pekerja.
Pada masa awal-awal penulis bergabung di BST, beliau sering di kantor BST hingga malam sambil menemani dan mengajari penulis dalam mengerjakan hal-hal administratif. Terkadang penulis menawarkan beliau untuk pulang terlebih dahulu karena sudah malam, tetapi beliau menolaknya hingga pada akhirnya kami pulang dari kantor bersamaan.
Beberapa hal yang penulis teladani dari Gus Bambang adalah bagaimana cara beliau dapat merangkul semua kalangan. Beliau tidak membeda-bedakan, entah dari kalangan terdidik, bahkan kalangan yang belum memiliki privilese untuk terdidik. Tukang becak, kuli, hingga mahasiswa beliau menerima untuk duduk sambil ngopi bareng. Begitupun dalam soal mendidik, kami sebagai pasukan di BST pastinya sudah digembleng oleh Gus Bambang untuk dapat meningkatkan kemampuan masing-masing dengan cara yang berbeda.
Berkat beliau dan mode “setelan kenceng”-nya, penulis merasakan perkembangan kemampuan daripada sebelumnya. Hal itu juga didukung karena Gus Bambang lebih suka memberikan contoh secara langsung daripada sekadar memerintah. Sehingga kami, khususnya penulis dapat cepat berkembang. Beliau tergolong orang yang perfeksionis. Sehingga tidak hanya mengajarkan kepada kami bahwa pekerjaan harus tuntas saja, tetapi juga harus sempurna hasilnya.
Dalam hal spiritual, beliau juga turut menguatkan spiritual kami para muridnya. Misalnya, si A beliau utus untuk tetap menjaga sholat lima waktu. Si B untuk jangan lupa ziarah ke makam masyayikh Pesantren Tebuireng. Si C untuk mengusahakan mendirikan sholat malam, hingga mengamalkan beberapa doa untuk tujuan kebaikan muridnya sendiri. Sebenarnya Gus Bambang merupakan sosok yang saleh spiritual dan ritual, tetapi beliau saja yang segan untuk harus menampakkannya.
Upaya terakhir yang ingin beliau ajarkan kepada penulis adalah perihal konsep bisnis. Waktu itu Gus Bambang meminta penulis untuk mempelajari tentang konsep-konsep bisnis, terutama dalam model bank sampah. Namun, saat penulis sudah mengumpulkan informasi dan hendak ingin berdiskusi, beliau sedang tidak ingin membahas obrolan yang berat karena merasa sangat letih. Sehingga diarahkan ke obrolan santai saja.
Obrolan santai ngalor-ngidul sering kami lakukan. Beliau juga sering menceritakan buku-buku kesukaannya. Mulai dari sastra, primbon, hingga The Art of War-nya Sun Tzu. Berkat bertemu Gus Bambang, penulis sangat berterimakasih karena menemukan kesimpulan dari Seni Perangnya Sun Tzu meskipun harus mengkhatamkannya hingga 3 kali. Beliau menyimpulkan sendiri, “yen wani ojo wedi-wedi, yen wedi ojo wani-wani.”
Akhirnya, di masa-masa akhir bersama beliau, penulis hanya ngobrol santai dan guyonan saja. Hingga pada akhirnya, Sabtu sore, 3 Mei 2025 tak terasa menjadi momen “guyonan” terakhir bersama Gus Bambang. Sore itu, beliau betah di kantor BST. Kemudian penulis sadar karena Gus Bambang sedang letih, akhirnya kami berdua hanya ngobrol ringan sambil bercanda. Saat itu waktu menunjukkan pukul 17:44, penulis yang hendak pulang ke rumah sempat berkata kepada beliau, “Gus, njenengan mboten kundur?”
Pertanyaan itu penulis tujukan karena tidak tega apabila beliau kondisi letih, tetapi tidak segera pulang untuk istirahat. Kemudian, beliau menjawab, “iyo, aku arep mulih.” Nada jawaban ini terasa aneh di benak penulis. Agak lain. Setelah itu beliau beranjak dari tempat duduk dan menuju ke motornya yang turut penulis ikuti di belakangnya. Nampaknya beliau masih ingin ngobrol dengan penulis. Di atas motor yang sudah menyala, Gus Bambang masih saja mengajak penulis untuk ngobrol, meskipun obrolan ringan. Hingga akhirnya beliau beranjak dari kantor dengan motornya dan diikuti oleh penulis yang juga turut pulang ke rumah.
Besoknya, saat itu penulis sedang berada di basecamp para kader muda di Kayangan. Waktu itu acara syukuran karena salah satu teman penulis baru saja merampungkan studi pascasarjananya. Setelah selesai makan, penulis belum sempat minum dan mendapat kabar bahwa Gus Bambang kapundhut. Sontak, penulis terkejut tidak terima. “Awakmu jare sopo?” Untuk mengecek validitas informasi ini. Dan ternyata teman-teman menjawab bahwa info ini didapat dari grup pimpinan pondok.
Baca Juga: Gus Bambang Beri Edukasi Peduli Lingkungan kepada Santri
Tak lama, penulis langsung menelepon Mas Faozan, tetapi ditolak karena sedang mengajar di kampus. Mendengar kabar ini, emosi penulis semakin naik karena tidak terima mengenai informasi yang belum penulis dapat cek keasliannya. Hingga saat penulis menelepon Mas Abizar, putra pertama Gus Bambang. Mas Abizar mengiyakan informasi ini, bahwa Gus Bambang sudah kapundhut. Emosi campur aduk menyerbu penulis. Penulis segera mengabarkan kepada teman-teman BST lainnya. Disusul untuk takziyah ke ndalem beliau.
Di ndalem-nya, penulis masih tidak merasa bahwa yang dimandikan bak orang wafat itu adalah Gus Bambang. Hingga penulis ikut menyolatkan dan menandu kerandanya masih saja tidak percaya bahwa beliau sudah berpulang. Beliau sehari sebelumnya pamit pulang juga, tetapi pulang yang ini terasa sangat berbeda. Tidak terasa, beliau sudah meninggalkan kami para murid-muridnya. Padahal kami masih haus akan belajar dari ilmunya yang seluas samudra.
Penulis turut bersaksi, bahwa Gus Bambang adalah seorang pengamal dawuh dari Imam Syafi’i dalam Hikam-nya: Aku ingin seluruh ilmu yang kuajarkan dapat dipelajari oleh orang-orang. Aku diberi pahala karenanya, tetapi mereka tidak usah memujiku.
Penulis: Ikhsan Nur Ramadhan, barisan murid mbelingnya Gus Bambang.