Syaikh KH. Muhammad Zaini bin Abdul Ghani atau Guru Ijai atau Guru Sekumpul. (Sumber foto: https://lifepharmglobalnetwork.blogspot.co.id)

Oleh: Ikmaluddin Fikri*

Kehidupan di Masa Kecil

Suatu hari di pagi yang sejuk, kota Martapura, sebuah kota di Kalimantan Selatan mendadak hening dengan kabar yang tersiar dari masjid-masjid di kota tersebut. Bahkan pasar yang biasanya ramai oleh pengunjung tidak lagi ramai seperti biasanya. Pada pagi itulah tersiar kabar meninggalnya seorang ulama besar, seorang ulama kharismatik dan menginspirasi banyak muslim di Kalimantan bahkan di Jawa dan beberapa daerah di negeri ini. Beliau KH. Muhammad Zaini bin Abdul Ghani atau masyarakat luas mengenalnya Guru Ijai (Izai) atau lebih tepatnya dan lebih masyhurnya sering disapa Guru Sekumpul. Mushalla Ar-Raudhah, tempat beliau dimakamkan mendadak ramai oleh masyarakat yang merasa kehilangan sosok panutan.

Guru Sekumpul merupakan ulama terpandang di Kalimantan. Beliau merupakan keturunan ke-8 dari ulama besar Kalimantan pada masanya, Syaikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari. Beliau lahir pada tanggal 11 Februari 1942 di Martapura, Kalimantan Selatan dari pasangan Haji Abdul Ghani dan Hajah Masliah binti Haji Mulya. Terlahir dengan nama masa kecil Qusyairi, beliau hidup dalam keadaan keluarga yang sederhana tetapi tetap berpegang teguh pada agama. Sejak kecil, Qusyairi kecil sudah digembleng dengan begitu intensif oleh ayahnya. Sejak kecil Qusyairi sudah memiliki sifat sabar, pemurah, ridha, dan kasih sayang pada siapa saja.

Tak pelak siapa saja akan takjub apabila bertemu dengannya. Mungkin keadaan keluarga yang sangat sederhana menjadi salah satu faktor yang mencetaknya menjadi seorang dengan karakter islami. Sebungkus nasi dengan lauk sebiji telur sudah biasa  dikonsumsi. Bukan untuknya saja, sebungkus nasi tersebut dibagi empat untuknya, ayah, ibu, dan adiknya. Tapi, keadaan inilah yang nyatanya mencetak Guru Sekumpul menjadi seorang yang tak gampang mengeluh. Bahkan pernah suatu ketika Qusyairi kecil membuat mainan dari gadang pisang dan memainkannya layaknya anak kecil lainnya. Namun ayahnya berkata kepadanya. “Nak, sayangnya mainanmu itu, alangkah baiknya jika dijadikan sayur.” Tanpa protes dan banyak kata Qusyairi menyerahkan mainannya kepada ayahnya.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Ayah beliau, Abdul Ghani bin Abdul Manaf merupakan karakter ayah yang penyayang terhadap anaknya. Suatu ketika, keadaan rumahnya yang sudah sangat tua dan reot tidak bisa menampung hujan deras sehingga memaksa air hujan masuk ke atap-atap rumah tersebut. Pada waktu itulah, ayahnya menelungkupinya guna melindunginya dari air hujan dan rela membiarkan tubuhnya sendiri basah kuyup oleh air hujan.

Bukan hanya penyayang terhadap anak, beliau juga merupakan karakter yang penyabar, tidak gampang mengeluh, tidak mubazir, dan hanya mencari nafkah dari jalan yang halal. Untuk menghidupi keluarganya, beliau membuka kedai minuman. Setiap ada teh yang tersisa dari pelanggan, beliau selalu meminta izin kepada mereka untuk diberikan kepada Qusyairi. Minuman itu pun dikumpulkan dan diberikan untuk keluarga. Setiap keuntungan dagang yang diperoleh dibagi tiga, sepertiga untuk keluarga, sepertiga untuk tambahan modal, dan sepertiga lagi untuk disumbangkan. Mungkin cara hidup inilah yang membuat kehidupan keluarga ini berkah.

Pendidikan Guru Sekumpul

Keadaan keluarga yang kekurangan tidak membuat ayah Qusyairi membiarkannya dalam kebodohan. Untuk itu, pada tahun 1949 saat berusia 7 tahun, Qusyairi belajar di Madrasah Ibtidaiyah Darussalam, Martapura. Kemudian ketika berusia 13 tahun, ia melanjutkan pendidikannya di jenjang menengah pertama di lembaga yang sama. Qusyairi merupakan anak yang cerdas, anugerah otak yang encer dan ingatan yang kuat merupakan pemberian Sang Khaliq yang membantunya bisa menghafal al Qur’an dalam usia yang sangat muda, 7 tahun, dan menghafal tafsir Jalalain pada usia 9 tahun.

Banyak guru mulia yang membimbingnya menjadi sosok yang kaya akan ilmu pengetahuan. Sebut saja Syaikh al Fadhil Sya’rani Arif, al Fadhil Salim Ma’ruf, dan Syaikh Salman Jalil, pakar ilmu falak yang unggul pada masanya. Syaikh Yasin bin Isa al Fadani, ulama Nusantara yang menetap di Mekah juga merupakan salah satu gurunya. Di bidang tasawuf, beliau belajar dari Syaikh Syarwani Abdan Bangil dan Sayid Muhammad Amin Kutbi.

Dari banyak guru yang pernah mengajarnya, terdapat satu nama yang sangat berperan penting dalam mencetak karakternya, yaitu Syaikh Seman Mulya, pamannya sendiri. Syaikh Seman tidak langsung mengajarnya, beliau mengantarkan dan mengarahkan keponakannya kepada pakar suatu bidang ilmu langsung. Seperti ketika mengantarkan keponakan beliau itu kepada Syaikh Anang Sya’rani, ulama yang mumpuni di bidang tafsir dan hadis.

Proses pembelajaran yang kontinyu dan tak kenal lelah membimbingnya menjadi ‘alim ‘allamah. Bukan hanya itu, beliau juga dikenal sebagai seorang  wali, hal tersebut bisa dilihat ketika beliau berumur 10 tahun, di mana beliau memiliki keutamaan berupa penglihatan tanpa batas atua kasyaf hissi. Dalam usia itu pula beliau pernah didatangi seorang mantan pemberontak yang dikenal kejahatannya. Tentunya kedatangan lelaki tersebut mengejutkan keluarga Guru Sekumpul, tapi yang terjadi sungguh diluar perkiraan. Lelaki tersebut langsung sungkem dan meminta ampun kepada beliau. Dia pun meminta diperiksa ilmu yang dimilikinya, apakah benar atau salah dan meminta kepada beliau untuk dibantu bertobat.

Karya dan Nasihat Guru Sekumpul

Tidak hanya puas dengan ilmu yang dimiliki, beliau juga menelurkan beberapa karya yang sampai sekarang tersimpan dengan baik. Di antaranya, Risalah Mubarakah, Manaqib asy-Syaikh Sayyid Muhammad bin Abdul Karim al Qadiri al Hasani as Samman al Madani, Risalatun Nuraniyah fi Syarhit Tawassulatis Sammaniyah, dan Nubdzatun fi Manaqib al Imam al Masyhur bi al Ustadz al A’zham  Muhammad bin Ali Ba’alawy.

Selain karya-karya itu, beliau juga berjaza mempolerkan Simthut Durar dan Maulid Habsyi di Kalimantan Selatan. Beliau mendapat ijazah Maulid Simthud Durar dari sahabat karibnya, Habib Anis ibn Alwi ibn Ali al-Habsyi dari Solo, Jawa Tengah.

Beliau sempat menjadi pengajar di Pesantren Darussalam Martapura selama lima tahun, kemudian membuka pengajian di rumahnya sendiri pada 1970-an, di dampingi oleh Guru Salman Bujang (Guru Salman Mulya). Pengajian dimulai setiap hari Kamis petang hingga malam Jumat. Pada 1988 beliau pindah ke Kampung Sekumpul, membuka kompleks perumahan ar Raudhah atau Dalam Regol.

Sejak itu kewibawaan dan kharismanya memancar luas , murid-muridnya dan tamu-tamunya berdatangan dari berbagai daerah, bahkan dari Negeri Jiran seperti Malaysia, Singapura, dan Brunei. Sebagian datang untuk berguru, sebagian mencari barakahnya, dan sebagian ingin berbaiat Tarekat Samaniyyah. Beberapa tokoh juga pernah mengunjungi beliau seperti Politikus Amien Rais, Presiden ke-4 RI Gus Dur, Presiden ke-5 RI Megawati, AA Gym dan lain sebagainya.

Beliau meninggal pada hari rabu tanggal 10 Agustus 2005 pada usia 63 tahun di kediamannya sekaligus komplek pengajiannya di daerah Sekumpul Martapura. Sebelum meninggal, beliau sempat dirawat di Rumah Sakit Mount Eizabeth, Singapura selama 10 hari akibat gagal ginjal yang beliau derita.

Terdapat beberapa nasehat yang beliau tuturkan selama hidup. Salah satunya, pesan beliau tentang karamah, agar tidak tertipu dengan segala keanehan dan keunikan. Karamah adalah anugerah langsung dari Allah, bukan sebuah keahlian. Sehingga tidak dibenarkan berniat mencari karamah dengan cara melakukan ibadah dan membaca beberapa wirid. Karamah tertinggi menurut beliau adalah istiqamah di jalan Allah.

Selain itu ada beberapa nasehat yang beliau tuturkan untuk umat Islam, yakni, menghormati ulama dan orang tua, baik sangka kepada muslim, murah harta, manis muka, jangan menyakiti orang lain, memaafkan kesalahan orang lain, jangan bermusuhan, Jangan tamak dan serakah, berpegang teguh kepada Allah dan yakin keselamatan atas kebenaran.

Ulama seperti Guru Sekumpul inilah yang bisa mensejukkan bangsa dengan keteduhan nasihatnya dan menghindari permusuhan, termasuk juga ajaran tentang kesederhanaan dan kedermawanan. Bahkan satu pesan beliau, “Pintu surga diharamkan bagi orang bakhil”. Semoga nasehat beliau selalu menginspirasi kita sebagai muslim dan terpatri dalam amal sehari-hari kita sehingga terciptalah cita-cita insan kamil, muslim kaffah, dan baldatun tayyibatun wa rabbun ghafur. Amin.


*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng