sumber ilustrasi: perempuan

Oleh: Albii*

Hidup memang tak semudah yang dibayangkan beberapa orang, juga tak sesulit yang dikutuk sebagian lainnya. Seperti yang terjadi pada gadis manis yang cukup sederhana, Rinda. Perempuan yang tumbuh dengan luka-luka itu sudah terbiasa dengan kondisi yang tak baik, sakit, atau bahkan menghadapi beberapa banyak masalah dalam hidupnya. Yang ia tahu, bagaimana pun kondisi hidup, ia harus tampil tersenyum di hadapan keluarganya.

Rinda tumbuh menjadi gadis yang riang, tidak peduli bagaimana hidup memposisikannya, tidak peduli bagaimana hidup memperlakukannya, ia tetap harus hidup untuk ayah dan ibu tercintanya. Bahkan saat dirinya keluar dari RS Sentosa. Usai beberapa hari opname dengan biaya yang cukup mahal, ia memutuskan untuk istirahat di rumah saja, tentu dengan memaksimalkan obat yang ia miliki.

Jika obat yang ia peroleh dari resep dokter di RS, ia memilih untuk membeli obat di toko yang baginya cukup mampu meredam ketika sakitnya kambuh, sebab ia berpikir obat-obat resep dari dokter tak mampu dijangkau dengan keuangan keluarga, apalagi keluarganya tak ada yang menggunakan BPJS. Tentu biaya RS dan obat akan menjadi pertimbangan yang cukup serius, daripada tak bisa makan nasi dan lauk pauk yang cukup untuk kesehariannya.

Hidupnya yang malang itu, membuat perempuan 20 tahun ini tumbuh dewasa. Siapa nyana dengan penyakit yang cukup serius seperti kanker hanya bisa diobati dengan obat-obatan di toko saja, apalagi tidak dengan resep dokter. Hal bahaya yang ia lakukan tentu punya maksud baik yang tak semua orang tahu, termasuk orang tuanya. Pekerjaan orang tuanya yang juga tak cukup untuk kebutuhan primer membuatnya menepis kebutuhan berobatnya. 

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

“Rin, kamu istirahat saja. Biar ibu yang beres-beres ruang tamu,” ucap ibunya saat melihat anaknya sangat sibuk membersihkan ruang tamu usai menyajikan beberapa minum dan cemilan untuk tetangga yang menengoknya yang baru saja pulang dari RS.

“Tidak apa-apa bu. Rinda kuat,” ia tersenyum, tampak menahan sakitnya yang memang harusnya ia gunakan waktu itu untuk istirahat total. 

Mereka hanya hidup bertiga dalam sebuah rumah sederhana dan keluarga yang cukup bahagia. Bapaknya yang bekerja serabutan dan ibunya yang memilih menjadi ibu rumah tangga, tentu tak menjamin keuangan mereka stabil. Apalagi untuk urusan rumah sakit yang cukup sering itu.

“Aku harus tetap kuat, aku pasti bisa!” Rinda memeluk dirinya sendiri di pojok kasurnya. Kepalanya yang menunduk membuat ia mencoba meredam tangis kesakitan agar tak terdengar oleh seisi rumah. 

***

Sejak umur 18 tahun, perempuan yang selalu tampak riang itu mulai bekerja di pos pengolahan limbah plastik, dan di sana ia menjadi bagian admin. Orang tuanya sudah melarang dia tapi apa boleh buat, tekad itu tak bisa dihalangi siapa pun. Setiap pagi ia harus pergi bekerja, dan harus sangat berhati-hati saat bekerja, walaupun dia berada di bagian admin, tetapi jam kerja dan suasana kerjanya itu cukup membuatnya cepat lelah. Kelelahan itulah yang menjadi salah satu penyakitnya triger dan membuat sakitnya kambuh kapan pun. Namun itu bukan alasan yang ia indahkan, sebab yang lebih realistis baginya, dia mendapatkan uang tiap minggu dari pabrik ia bekerja. 

Saat itu sore hari, dia bersiap untuk pulang, tak sengaja ada salah satu karyawan menyenggol gelas dan akhirnya jatuh hingga melukai kaki Rinda. Ia shock, lalu berusaha menghentikan darah yang keluar dari kakinya, karena memang kecelakaan kecil itu terjadi di tempat kerja, jadi kabar baiknya adalah biaya rumah sakit saat ini ditanggung kantor Rinda. 

“Tapi terus ini gimana Vi?” tanya Rinda kepada Sovi, teman yang sudah mengajak Rinda bekerja di kantor itu.

“Udah nggak apa-apa Rin, tenang aja obatmu kali ini ditanggung kantor kok, kan kejadiannya pas kamu kerja,” Sovi menenangkan Rinda yang masih sangat gelisah soal pembayaran klinik itu.

Ternyata luka di kakinya membuat Rinda kehilangan banyak darah dan lemas. Hari itu ia benar-benar harus istirahat total, hingga akhirnya kantor memberinya beberapa waktu untuk cuti hingga sembuh total, walau pihak kantor tidak tahu penyakit apa yang membuat luka kakinya yang tak begitu besar itu membuat dirinya selemah itu. 

***

Di saat Rinda memilih untuk istirahat total di rumahnya, teman lelaki di masa kecilnya, Ashif hadir kembali setelah lama tidak pernah tahu tentang kabarnya. Lelaki itu memang sudah lama tinggal di luar negeri karena melanjutkan studi. Ia adalah teman yang sangat baik, walau kondisi ekonomi keluarga mereka berbeda tetapi itu tidak jadi halangan atau membuat mereka terlalu peduli pada kondisi stratifikasi sosial mereka. Mereka tetaplah menjadi kawan baik, hingga jarak memisahkan mereka, sangat jauh.

“Nanti, setelah aku sampai di rumah aku akan segera menjenguk Rinda, semoga kondisinya semakin membaik dari sebelumnya,” gumam Ashif saat memposisikan diri duduk di kursi belakang, di dalam taxi yang baru saja menjemputnya di lobi bandara. Lelaki itu masih ingat betul tentang sahabat kecilnya, bahkan dialah orang yang tak pernah absen mendapatkan kabar dari Rinda, walau jarak mereka sangat jauh. 

Bagi Rinda, Ashif adalah teman yang benar-benar tulus membantu dan melindungi Rinda terlebih saat Rinda harus mengalami kesulitan di sekolah dulu. Kali ini Ashif tak sendirian datang ke rumah Rinda, dia membawa temannya kebetulan adalah seorang dokter. 

Selama perjalanan Ashif sudah menceritakan banyak tentang Rinda kepada Rony. Rony adalah laki-laki blasteran Indonesia-Belanda, yang menjadi sahabat Ashif sejak ia di luar negeri. Kali ini, selain karena menikmati liburan di Indonesia, mereka memang punya niat untuk menjenguk dan menindaklanjuti penyakit yang diderita sahabatnya itu.  

Malam itu akhirnya mereka bisa bertemu, setelah beberapa tahun lalu, sejak hari kelulusan. Ashif yang lama tak berjumpa dengan Rinda pun terkejut karena berat badan Rinda menurun drastis sebab penyakit yang dideritanya selama ini, rasa iba, dan sedih bercampur. Sambil menikmati makanan yang sudah dipesan, Rony mencoba bertanya sembari mengamati keadaan Rinda.

“Perkenalkan Rin, ini Rony temanku,” Ashif memecah hening malam itu di ruang tamu.

“Rinda, salam kenal ya.” Rony melepas senyum ramahnya ke arah Rinda.

“Gimana keadaanmu, yang kudengar dari Ashif sejauh ini kamu hanya mengkonsumsi obat-obatan dari toko dan tidak karena resep dokter? Ini bisa bahaya Rinda, apapun alasan kamu.” Rony mencoba memberi nasihat. Rinda hanya tersenyum tipis. Mereka sama-sama tahu alasan Rinda melakukan itu karena faktor ekonomi. 

Ashif yang selama ini selalu berhasil menjadi teman yang baik, dia mencoba menengahi kondisi itu.

“Kamu bisa memberikan resep untuk ini? biar aku nanti yang menebus ke apotek.” Ashif mencoba meminta Rony untuk memberikan solusi.

“Kita tetap harus tinjau perkembangan penyakit Rinda, baru saya bisa rekomendasikan obat, atau kita ke dokter yang sebelumnya menangani Rinda, itu akan lebih valid, nanti saya bantu juga.” Ashif dan Rony mencoba memberi penjelasan pada Rinda. Bujukan mereka malam itu, akhirnya diindahkan oleh Rinda, dan dia akan mencoba menjalani observasi penyakitnya itu. 

Malam itu, sedikit tawa menjadi irama di ruang tamu yang hening itu, hubungan baik mereka telah tumbuh menjadi sangat berkesan. Tak ada keinginan lain, daripada melihat sahabatnya itu tumbuh sehat dan panjang umur, bagi Ashif seorang Rinda sudah seperti keluarganya sendiri. 

*Mahasiswa KPI Unhasy.