Oleh KH. Fahmi Amrullah Hadzik

Jamaah Jumat yang berbahagia.

Marilah kita bersenandung dalam kenikmatan yang Allah berikan kepada kita dengan senantiasa bersyukur kepada-Nya. Tidak lupa pula, marilah kita mensyukuri sebuah anugerah dari Allah yang tidak terkira manfaatnya, yakni berupa diutusnya Nabi Muhammad Saw sebagai teladan yang menunjukkan jalan cahaya kepada umat manusia sehingga kita sebagai umatnya bisa berjalan di jalan Islam yang bercahaya.

Jamaah Jumat yang dimuliakan Allah.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Ada dua kalam yang pembacaannya dianggap berpahala. Pertama, Kalamullah Al-Qur’an Al-Karim sebagai kalam literer. Al-Muta’abbadu bitilawatih, siapapun yang membaca Al-Quran tanpa mengerti maksudnya, maka pembacaan itu sudah dihitung ibadah. Kedua, pembacaan shalawat kepada Nabi Muhammad Saw. Tanpa kita perlu mengerti detail maknanya, tanpa kita perlu mengerti arti secara harfiah dari bahasa Arab shalawat tersebut, itu sudah berpahala. Cukup kita mengerti  bahwa lafal yang kita lantunkan adalah shalawat, maka kita mendapatkan pahala.

Para pelantun shalawat di sekitar kita, yang mereka itu manggung dengan melantunkan shalawat dan mengajak jamaah untuk bershalawat, bisa jadi mereka tidak tahu artinya. Di berbagai tempat pun sering diadakan pembacaan maulid Diba’, mereka yang membaca pun belum tentu paham arti lafal-lafal Diba’ berbahasa Arab dengan sastra tinggi. Banyak orang pula yang tidak mengetahui arti dari lafal “athfatan yajiiratal ‘alami”, tetapi mereka tahu kalau itu adalah lantunan shawalat. Cukup hanya meniatkan hati untuk bershalawat meskipun tidak tahu maknanya, itu cukup dihitung pahala.

Terkait dengan hal itu, ada catatan yang baik kita renungkan. Pada dasarnya, belum pernah Allah itu memerintahkan syariat apapun yang didahului dengan keteladanan. Belum pernah Allah mensyariatkan suatu peribadatan yang Allah sendiri memberikan contoh bahwa Allah sendiri melakukannya. Shawalat adalah pengecualian. Shalawat adalah perintah Allah yang Allah sendiri juga melakukannya.

Ketika Allah memerintahkan manusia agar membayar zakat, mendirikan shalat, menunaikan haji, dan syariat-syariat lainnya, tidak ada pernyataan bahwa Allah melakukan itu semua. Namun demikian, begitu Allah memerintahkan kepada kita untuk membaca shalawat kepada Nabi Muhammad Saw, maka Allah mencontohkan bahwa Allah sendiri juga bershalawat kepada Nabi Muhammad Saw. Hal itu sebagaimana yang termaktub dalam QS. Al-Ahzab ayat 56 :

إِنَّ اللهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا.

Artinya :

Sesungguhnya Allah dan para malaikat itu bershalawat kepada Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, ucapkanlah shalawat dan salam kepadanya (Nabi Muhammad Saw).

Banyak yang bisa kita ungkap dari ayat tersebut. Di antaranya, bahwa jika kita hendak membaca shalawat kepada Rasulullah Saw itu ada etikanya, tata kramanya, dan norma kesopanannya. Etika bershalawat itu diperankan sendiri oleh Allah beserta para malaikat. Seolah-olah Allah telah membuat contoh, “Beginilah cara bershalawat!”

Jamaah Jumat yang berbahagia.

Siapapun tahu bahwa Allah itu Mahasempurna. Bisa diterka bagaimana etika Allah saat membaca shalawat kepada Rasulullah Saw. Etika Allah dalam bershalawat yakni dengan cara yang sangat sopan dan sangat bagus karena Allah Mahaindah, Maha Berakhlak, lagi Mahasempurna.

Itu artinya bahwa kita pun ketika membaca shalawat hendaknya meneladani akhlak Allah. Ketika Allah itu bershalawat kepada Nabi Muhammad Saw, apa penghormatan Allah kepada Nabi Saw? Tidak pernah Allah itu memanggil Nabi Muhammad Saw dengan menyebut nama aslinya. Di dalam Al-Quran itu tidak ada lafal yang menyatakan Allah memanggil Nabi Muhammad Saw dengan lafal “Ya Muhammad!” Pasti Nabi Muhammad Saw dipanggil dengan lafal “Ya ayyuhannabi!” atau “Ya ayyuharrasul!”.

Dalam hal ini, penghormatan kepada Nabi Muhammad Saw itu mutlak. Barangkali hanya mulut-mulut yang fasik dan jiwa-jiwa yang tidak bersih yang tega menyebut nama Nabi Muhammad Saw tanpa etika, yakni dengan cara mentah-mentah langsung memanggil nama beliau.

Dengan demikian, bagi mereka yang membaca shalawat kepada Rasulullah Saw dengan iringan musik, terbang, atau iringan apapun, hendaklah dilakukan dengan etis. Agama memang tidak melarang musik. Akan tetapi, kalau sudah membaca shalawat beriringan musik maka bagi pembaca itu yang wajib dikedepankan adalah nilai hudurnya, nilai di hadapan Rasulullah Saw. Bukanlah nilai musik yang dikedepankan. Dengan begitu, orang yang merasa membaca shalawat itu seakan-akan berada di hadapan Rasulullah Saw. Hendaklah tidak bergurau sehingga mengurangi nilai-nilai etika dalam bershalawat.

Apapun grup musiknya, kalau mereka tampak membaca shalawat masih lebih dominan musiknya daripada nilai hudurnya, berarti mereka hanya tampil dengan bermusik. Mereka belum bershalawat secara hakiki sebagaimana yang dicontohkan oleh Allah.

Hal itu sebagaimana analogi jika kita bicara di hadapan kiai atau menelfon kiai. Apakah kita akan berbicara di hadapan kiai atau menelfon kiai itu dengan bergurau? Apakah kita berbicara dengan sembarangan? Jawabannya tentu tidak. Pasti kita bicara dengan sopan. Itulah etika kepada kiai. Apalagi kepada Rasulullah Saw, tentunya harus sopan juga.

Jamaah Jumat yang dirahmati Allah.

Para ulama menggubah kata-kata dalam shalawat itu ada dua. Pertama, shalawat yang digubah dengan bahasa nasab. Kedua, shalawat yang digubah dengan bahasa sajak atau kasidah. Shalawat yang tidak dirancang untuk dilagukan, jika dilagukan pasti akan rusak. Begitu pula dengan shalawat yang digubah dengan sajak pelaguan, pasti akan kering. Dengan demikian, memang sudah ada patokannya sendiri-sendiri.

Kita ambil contoh shalawat yang digubah dan dirancang untuk kasidah, maka semua akan pas dan sesuai karena memang dirancang seperti itu. Shalawat atau kasidah Burdah dengan lagunya yang bagus, panjang-pendeknya pasti tepat dan pas karena Burdah itu dirancang untuk dilagukan. Sementara itu, shalawat yang oleh pengarangnya sengaja digubah bukan untuk dilagukan, pasti tidak akan pas jika dilagukan.

Untuk itu, sesungguhnya dalam mimbar ini memang saya harus menyampaikan secara tegas sekaligus memberi peringatan. Belum tentu orang yang membaca shalawat di hadapan Rasulullah Saw itu pasti dijawab dengan syafaat. Barangkali karena Rasulullah Saw tersinggung, disebabkan penyajian shalawat itu tidak etis.

Belum tentu orang yang menyajikan makanan di hadapan orang tua itu pasti dimakan. Terserah bagaimana caranya dan bahasanya. Kalau kita menggunakan bahasa yang sopan ketika mempersilakan orang tua makan, “Mbah, ini mbah, mangga dipun dhahar, Mbah!insyaallah makanan yang tidak enak pun orang tua itu paham dan membalasnya dengan jawaban, “Muga-muga dibales Gusti Allah.” Akan tetapi, jika penyajiannya itu membentak, “Mbah, iki mbah, panganan. Panganen, yo!”, seenak apapun makanan itu, bisa dipastikan seorang tua itu akan tersinggung.

Allah berfirman dalam QS. An-Nuur ayat 63 :

لَا تَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًا قَدْ يَعْلَمُ اللَّهُ الَّذِينَ يَتَسَلَّلُونَ مِنْكُمْ لِوَاذًا فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ.

Artinya :

Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul di antara kalian seperti panggilan sebagian kalian kepada sebagian (yang lain). Sesungguhnya Allah telah mengetahui orang-orang yang berangsur-angsur pergi di antara kalian dengan berlindung (kepada kawannya), maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.

Ayat tersebut menunjukkan bahwa memanggil atau berkonsultasi dengan Rasulullah Saw itu harus bagus, tidak boleh terjadi tahallul yang liwadzah. Itulah etikanya. Orang yang membaca shalawat tetapi tanpa etika, telah peringatkan melalui ayat di atas, falyahdzar, yang berarti “berhati-hatilah”. Bukan syafaat yang diterima jika membaca shalawat tanpa etika, melainkan fitnah. Tafsiran para ulama tentang fitnah salah satunya adalah sebuah kenegatifan, hambatan berbuat baik, atau hambatan ketakwaan pada diri pembaca shalawat itu.

Banyak di antara grup musik itu membaca shalawat. Akan tetapi, mereka itu justru tidak bertambah takwa. Padahal, pembacaan shalawat sudah dikemas begini-begini. Mereka tidak mendapat syafaat, tetapi fitnah yang menghambat prestasi ketakwaan sendiri. Walaupun mereka di atas panggung merem-merem seolah menandakan kekhusyukan, mereka justru khusyuk terhadap musiknya, bukan terhadap shalawatnya.

Jamaah Jumat yang berbahagia.

Khotbah ini memang pahit. Akan tetapi, jika kita berpikir ingin sembuh, maka sesekali kita perlu minum pil atau obat yang pahit rasanya. Sepahit apapun, mudah-mudahan kita besok bisa bersama Rasulullah Saw. Amiin.