Pada saat liburan, Cak Jahlun pulang ke rumahnya di kampung. Pada saat itu masyarakat sedang mengadakan acara ruwat kampung yang diisi dengan pembacaan tahlil dan doa bersama. Seluruh masyarakat termasuk Cak jahlun datang menghadiri acara tersebut.
Singkat cerita, yang bertindak sebagai pemimpin tahlil adalah bapak modin. Ketika giliran doa, bapak modin dan para sesepuh kampung meminta cak jahlun untuk memimpin doa, sebab ia adalah satu-satunya santri yang mondok paling lama. Mendapatkan amanat tersebut cak jahlun kaget bukan kepalang, sebab seumur-umur belum pernah ia memimpin doa dan tidak ada satupun doa yang belum berhasil nyangkut pada memori otaknya. Namun cak jahlun tidak mau malu di hadapan orang kampungnya. Iapun menerima mikrofon yang disodorkan kepadanya sambil berpikir keras tentang doa apa yang akan ia baca.
Kemudian ia memejamkan mata sambil mengernyitkan dahi berpikir keras. Suasana menjadi hening, orang-orang menyangka cak jahlun sedang khusyuk berkomunikasi dengan Tuhan demi kemaslahatan kampung mereka. Beberapa saat kemudian cak jahlun membuka mata sambil tersenyum dan iapun dengan mantap membaca doa yang ia ulang sampai tiga kali: “Allahumma inni a’udzubika minal khubutsi wal khabaits… Allahumma inni a’udzubika minal khubutsi wal khabaits… Allahumma inni a’udzubika minal khubutsi wal khabaits… Amin..”. Yang Cak Jahlun ingat adalah doa yang di pasang pengurus pondok di setiap pintu kamar mandi di pondoknya. Orang-orang kampung-pun pulang dan merasa puas mendapatkan doa pamungkas dari Cak Jahlun (F@R)