Suasana diskusi pemikiran Islam metodologis bersama Prof. Dr. M. Amin Abdullah, Senin (19/8).

Tebuireng.online- Senin (19/08/19), Prof. Dr. M. Amin Abdullah didatangkan ke Pesantren Tebuireng dalam rangka diskusi dengan tema “Pemikiran Islam Metodologis: Model Alternatif dalam Membangun Peradaban Pemikiran”. Diselenggarakan oleh Pusat Kajian Pemikiran Hasyim Asy’ari di aula lantai 1 gedung KH. M. Yusuf Hasyim, peserta dibatasi hanya anggota Pusat Kajian dan jajaran dosen Ma’had Aly Hasyim Asy’ari.

Menurut penuturan Prof. Amin, diskusi ini dilatarbelakangi oleh rasa tidak puas dari Pengasuh Pesantren Tebuireng, Dr. (HC). Ir. KH. Salahuddin Wahid, terhadap kualitas SDM tenaga pengajar pendidikan tinggi di Pesantren Tebuireng, yaitu Ma’had Aly Hasyim Asy’ari dan Universitas Hasyim Asy’ari. Ketidakpuasan itu berawal dari pertimbangan bahwa sudah banyak tenaga pengajar lulusan S2 dan S3 di pendidikan tinggi ini, namun mereka belum nampak membawa dampak signifikan terhadap perkembangan keilmuan di Pesantren Tebuireng. Secara kongkrit, dampak signifikan yang dimaksud adalah munculnya kembali tokoh-tokoh berpengaruh seperti KH. A. Wahid Hasyim dan KH. Abdurrahman Wahid dari Pesantren Tebuireng.

Memunculkan tokoh dianggap penting karena perkembangan keilmuan dewasa ini begitu pesat dan dahsyat, tidak terkecuali studi keislaman. Fenomena hijrah, radikalisme, dan -yang terbaru- NKRI bersyariah adalah bukti dari perkembangan itu. Pesantren Tebuireng sebagai the father of pesantren di Indonesia tentu harus mampu menjawab perkembangan-perkembangan semacam itu melalui tokoh-tokohnya.

Di awal diskusi, Prof. Amin menjelaskan, “Seorang lulusan S2 atau S3 harus mampu menjadi sosok yang berbeda dalam dua hal, yaitu mental dan inovasi. Mental yang dimaksud adalah keberanian untuk menghadapi persoalan di luar mata kuliah yang pernah ditempuh semasa kuliah. Hal ini tentu membutuhkan kekayaan referensi,” tutur mantan rektor UIN Sunan Kalijaga ini.

Lanjutnya, ketika pulang dari Turki, beliau didatangi oleh anak-anak muda LKiS Yogyakarta dan diminta menyampaikan materi tentang pemikiran Arkoun. Padahal sewaktu di Turki, Prof. Dr. Amin Abdullah yang belajar Filsafat Barat tidak mendapat kuliah tentang itu. Di sinilah mental diperlukan agar berani menghadapi tantangan seperti itu.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Tentang inovasi, Prof. Amin mengkhususkan pembahasan pada pengembangan studi keislaman. “Setiap tenaga pengajar lulusan S2 dan S3 di Pesantren Tebuireng harus mampu berinovasi. Inovasi ini menyaratkan penguasaan metode, pendekatan, dan strategi pengembangan keilmuan. Adapun ijazah yang diperoleh dari proses studi yang telah dilalui hanyalah tiket agar sah berinovasi. Lulusan S2 dan S3 tidak boleh puas hanya dengan memiliki ijazah,” imbuh Guru Besar dalam Ilmu Filsafat di UIN Sunan Kalijaga ini.

Prof. Amin menawarkan 5 poin utama yang dapat dijadikan acuan metode, pendekatan, dan strategi pengembangan keilmuan bagi tenaga pengajar Ma’had Aly Hasyim Asy’ari. Secara berurutan 5 poin tersebut adalah: 1) Kegelisahan akademik (philosophy of science); 2) Dialogis-argumentatif, multiple critique (non-doktriner); 3) Multi-perspektif, multi and cross refference (multi-inter-trans disiplin); 4) Silang budaya (intercultural, interfaith, dan cross-cultural; 5) Menarik dan mengubah perilaku (interaktif-smart; improving behaviour).

Pertama, kegelisahan akademik dalam bahasa lain adalah rasa ingin tahu. Hal ini merupakan modal dan mental utama yang harus dimiliki oleh seorang dosen. Kedua, Dialogis-argumentatif merupakan metode mengajar yang tidak menjejalkan doktrin kepada peserta didik. Seorang dosen sudah seharusnya mampu berdialog dengan baik tanpa memaksa peserta didik menerima materi satu arah dan otoriter. Ketiga, Multi-perspektif dan cross-refference. Poin ketiga ini dijelaskan dengan panjang lebar oleh Prof. Amin.

Berangkat dari keyakinan bahwa keilmuan linier tidak akan mampu menghadapi kompleksitas problem, Prof. Amin mengharuskan para dosen untuk memperkaya referensi dan menguasai filsafat ilmu. Referensi yang dimaksud tidak hanya terbatas pada kajian yang digeluti saja, melainkan harus menyentuh kajian lain di luarnya. Misalnya hadis dengan sosoiologi agama. Untuk filsafat ilmu, hal itu dibutuhkan untuk menguji logika penelitian, termasuk logika dalam membaca referensi (buku atau kitab). Pola semacam itu akan memungkinkan dosen Ma’had Aly untuk mengintegrasikan hadis dengan sosiologi agama, misalnya.

Keempat, silang budaya. Pemahaman akan budaya lokal dan kesadaran atas keberagaman budaya lain merupakan salah satu kualitas penting yang harus dimiliki seorang dosen. Berbahaya jika seorang dosen membatasi kebenaran pada kelompok tertentu saja dan menolak secara total kelompok yang lain. Kelima, menarik dan mengubah perilaku. Menarik dapat dimunculkan melalui kekayaan ilustrasi dalam penyampaian materi (seperti contoh dan pengibaratan). Adapun mengubah perilaku merupakan muara akhir dari semua metode yang dijelaskan. Karena bagaimanapun, kajian keislaman tiada lain bertujuan untuk mengubah perilaku menuju akhlak karimah.


Pewarta: Syahrul

Publisher: MSA