tebuireng.online- Selasa, 19 Nopember 2013 Pusat Kajian dan Pengembangan Pesantren Hasyim Asy’ari Pusat Kajian dan Pengembangan Pesantren Hasyim Asy’ari (PKP2) mengadakan diskusi bersama direktur dan peneliti Demos Indonesia (Lembaga Kajian Demokrasi dan Hak Asasi), Inggrid Silitonga.
Diskusi ini merupakan diskusi kedua yang diadakan PKP2 yang dimoderatori oleh Aan Anshori dan Roy Murtadho sebagai pembanding.
Diskusi ini dibalut dalam tema “Memperkuat Transaksi Politik Warga Dalam Pemilu” Inggrid mengungkapkan bagaimana realita politik di masyarakat terjadi siasat-siasat politik mulai dari PILKADES hingga PILPRES terjadi transaksi-transaksi yang erat kaitannya dengan pemenangan maupun pemilihan kandidat maupun partai.
Transaksi politik adalah pertukaran sumber daya ntara warga atau pemilih dengan kandidat dan/atau partai politik peserta pemilu. Biasanya transaksi politik berupa perjanjian kandidat untuk memilih kandidat.
Transaksi politik sendiri memiliki dua peran yakni menguatkan maupun melemahkan posisi maupun kepentingan warga, lanjut Inggrid. Transaksi politik yang melemahkan menurut penelitian beliau dibagi menjadi 3 bentuk, Klientelisme ( Warga dijadikan mesin politik kandidat ), Jual beli suara ( Strategi “Serangan Fajar”), dan Bias partisan ( Program untuk simpati warga).
Inggrid menuturkan sebagai warga Negara yang kritis, wajib bagi semua untuk mengetahui mana transaksi politik yang melemahkan dan menguatkan.
Bagaimana dengan transaksi politik yang melemahkan warga/pemilih ? Inggrid menjelaskan beberapa transaksi politik yang melemahkan dengan ciri-ciri :
1) Pemberian transaksi politik dilakukan secara tertutup sehingga pemilik hak suara tidak tahu tujuan pemberian imbalan dan tidak ada komunikasi lanjutan,
2) Bersifat personal, Hasil transaksi politik hanya dinikmati segelintir kelompok/perorangan,
3) Transaksi politik dibangun dengan ikatan jangka pendek (hanya sampai pemilu),
4) Pendanaan pribadi, yakni sumber dana berasal dari dana pribadi dan pihak-pihak yang berkepentingan dalam pemenangan kandidat,
5) Melanggar hukum, pembelian suara merupakan salah satu transaksi yang melanggar UU Pemilu dan kandidat bisa didiskualifikasi bahkan penjara dan denda bila terbukti melakukan kecurangan.
Sebaliknya, transaksi politik yang menguatkan warga biasanya bersifat
1) Terbuka, proses komunikasi dilakukan secara terbuka dengan dialog tatap muka sehingga dapat dilakukan nota kesepahaman dengan warga,
2) Hasil transaksi dinikmati oleh publik,
3) Berjangka panjang, tidak hanya dimanfaatkan sebatas pemilihan kandidat,
4) Pendanaan Negara, hasil transaksi politik diwujudkan dalam kebijakan-kebijakan yang bertumpu pada kesepakatan kontrak politik yang sudah disetujui sebelumnya. Hal ini dukungan dana Negara dimanfaatkan melalui kebijakan-kebijakan sesuai kontrak politik yang ada.
5) Tidak melanggar hukum, sepanjang dalam proses transaksi politik , kandidat tidak menjanjikan imbalan yang ditukar dengan suara pemilih pada hari pemilihan , maka tidak melanggar hukum.
Lalu bagaimana masyarakat bisa menerima transaksi politik (yang memperkuat) yang menguntungkan baik untuk kandidat dan warga pemilih? Beberapa pra kondisi diperlukan seperti :
1) Pengorganisasian masyarakat, dengan adanya hubungan kolektif di masyarakat mampu menawarkan transaksi politik programatik, artinya dilakukan dengan cara bermusyawarah secara terbuka dengan hasil program-program kebijakan yang bisa ditawarkan dan dilaksanakan ketika kandidat sudah terpilih.
2) Dokumentasi dan publikasi, adanya komunikasi dengan warga yang memiliki hak pilih dengan kandidat diperlukan agar terjadi komunikasi berkelanjutan yang mampu dipublikasikan secara luas.
3) Adanya pengetahuan yang memampukan dan kendali, masyarakat yang sudah terorganisir memiliki pengetahuan terhadap transaksi politik program-program yang ditawarkan, serta kendali dalam merumuskan tahapan serta batas waktu yang terkait dengan kontrak politik yang telah disepakati.
Aan anshori, sebagai moderator dalam diskusi ini memperlihatkan relaita transaksi politik yang dilakukan untuk pemenangan kandidat semisal di PILKADA JATIM dan PILBUP Jombang.
Transaksi politik kultural seperti tawaran-tawaran “ziarah wali se kampung” (dalam hal ini menghaluskan pemberian uang secara langsung) hingga transaksi politik “Sumpah Pocong” (PILBUP Jombang) dilakukan untuk melihat antusias pemilih dan memerlihatkan keseriusan kandidat dalam pemenuhan janji-janji politik (transaksi politik).
Roy Murtadho sebagai pembanding dari PIMRED Majalah Islam Bergerak, mengaku bahwasannya transaksi-transaksi politik seperti suap “serangan fajar” sudah lazim dilakukan bahkan di kalangan agamawan seperti Kyai pun dianggap tidak mengapa.
Kiai dalam hal ini sebagai aktor agamawan yang mampu membawa jamaah/komunitas tertentu untuk mengarahkan pilihan terhadap salah seorang kandidat. Praktik ini sudah sering dilakukan dan bahkan dalil-dalil agama disodorkan guna menghalalkan praktik politik “Uang” ini.
Bahwasannya “serangan fajar” maupun “ Amplopan” adalah hal yang wajib disyukuri bahkan dinikmati mengingat hal tersebut termasuk rezeki. Hal ini sebenarnya tidak sejalan dengan nilai kejujuran dalam pemilihan umum.
Dalil-dalil agama yang dipakai untuk mendukung “serangan fajar” dan “amplopan” digunakan sebagai senjata bila memang transaksi tersebut diendus sebagai tindakan penyuapan pemilih.
Rangkuman Diskusi bersama Demos Indonesia :Tema “Memperkuat Transaksi Politik Warga Dalam Pemilu”. Peserta peneliti PKP2 HA, Mahasiswa UNHASY Tebuireng, STKIP Jombang, STIT UW, Mahad Aly Tebuireng, Pustaka Tebuireng, Tebuireng Media Group, GKJW.(lutfi.tbi.org)