sumber gambar: www.google.com

Assalamualaikum,

nuwun sewu mau tanya Mas Admin. Sering kali kita dihadapkan pada pilihan, contoh: membersihkan rumah yang banyak ditumbuhi rerumputan. Ingin membersihkan untuk menjaga kebersihan lingkungan. Di sisi lain, juga kasihan ndak sampai hati mencabut rumput tersebut.

Contoh lain: sebidang tanah mau digarap untuk pertanian, kita tahu di tanah tersebut terdapat banyak semut, serangga, dan makhluk-makhluk lain. Di hati terbesit rasa kasihan, di sisi lain tanah tersebut harus diari atau dibajak. Sehingga makhluk-makhluk-makhluk yang ada pasti mati. Kita yang punya tugas sebagai khalifah di bumi, apakah perbuatan tersebut termasuk zalim?

Alaikumussalam, terima kasih atas pertanyaannya.

Sebelum kita merambah pada masalah keilmuan tasawuf. Sebaiknya kita melihat pandangan fikih terlebih dahulu. Perihal aturan membunuh semut dapat ditemui di beberapa literatur Islam klasik seperti berikut ini:

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

كَرِهَ قَتْل النَّمْل وَالنَّحْل، لِمَا رَوَى ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَال: نَهَى رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ قَتْل أَرْبَعٍ مِنَ الدَّوَابِّ: النَّمْلَةُ، وَالنَّحْلَةُ، وَالْهُدْهُدُ، وَالصُّرَدُ 

وَاسْتَثْنَى الْفُقَهَاءُ النَّمْل فِي حَالَةِ الأْذِيَّةِ، فَإِنهُ حِينَئِذٍ يَجُوزُ قَتْلُهُ

وَفَصَّل الْمَالِكِيَّةُ، فَأَجَازُوا قَتْل النَّمْل بِشَرْطَيْنِ: أَنْ تُؤْذِيَ، وَأَنْ لاَ يَقْدِرَ عَلَى تَرْكِهَا، وَكَرِهُوهُ عِنْدَ الإِذَايَةِ مَعَ الْقُدْرَةِ عَلَى تَرْكِهَا، وَمَنَعُوهُ عِنْدَ عَدَمِ الإْذَايَةِ، وَلاَ فَرْقَ عِنْدَهُمْ فِي ذَلِكَ بَيْنَ أَنْ تَكُونَ الإْذَايَةِ فِي الْبَدَنِ أَوِ الْمَال[1]

Dari kalangan Malikiyah memperbolehkan membunuh serangga jika memang serangga tersebut menyakiti dan kita tidak bisa menghindari pembunuhan serangga itu.

Jadi, adanya kebolehan membunuh semut itu disebabkan munculnya unsur idziyyah (menyakiti/menyerang) terhadap seseorang, hartanya, atau tanamannya. Kalau misal tidak ada unsur idziyyah seperti semut Sulaimani itu tidak boleh dibunuh. Jadi, boleh dibunuh jika ada penyerangan dari pihak semut.

Kalau dilihat dari keadaan si penanya beliau kan tidak mendapat serangan dari semut. Beliau hanya menyangka pasti ada hewan-hewan yang mati karena perbuatannya. Tapi beliau memang tidak ada kesengajaan dalam pembunuhan hewan-hewan tersebut.

Redaksi pendukung:

وَيَحْرُمُ قَتْلُ النَّمْلِ السُّلَيْمَانِيِّ وَالنَّحْلِ وَالْخُطَّافِ وَالضُّفْدُعُ وَالْهُدْهُدُ وَالْقِرْدُ، أَمَّا غَيْرُ السُّلَيْمَانِيِّ وَهُوَ الصَّغِيرُ الْمُسَمَّى بِالذَّرِّ فَيَجُوزُ قَتْلُهُ بِغَيْرِ الْإِحْرَاقِ كَمَا فِي الْمُهِمَّاتِ عَنْ الْبَغَوِيّ وَالْخَطَّابِيِّ، وَكَذَا بِالْإِحْرَاقِ إنْ تَعَيَّنَ طَرِيقًا لِدَفْعِهِ[2]

(وَنَمْلٌ) وَكُنْيَتُهُ أَبُو مَشْغُولٍ، وَالْوَاحِدُ نَمْلَةٌ، وَكُنْيَتُهَا أُمُّ مَارِنٍ، سُمِّيَتْ نَمْلَةً لِتَنَمُّلِهَا وَهُوَ كَثْرَةُ حَرَكَتِهَا وَقِلَّةُ قَوَائِمِهَا قَالَ الْخَطَّابِيُّ إنَّ النَّهْيَ الْوَارِدَ فِي قَتْلِ النَّمْلِ الْمُرَادُ بِهِ النَّمْلُ السُّلَيْمَانِيُّ وَهُوَ الْكَبِيرُ أَمَّا الصَّغِيرُ فَفِي الِاسْتِقْصَاءِ نَقْلًا عَنْ إيضَاحِ الصَّيْمَرِيِّ أَنَّهُ لَا يَحْرُمُ قَتْلُهُ؛ لِأَنَّهُ مُؤْذٍ، وَذَكَرَهُ الْبَغَوِيّ أَيْضًا وَوَافَقَ عَلَيْهِ فِي الْمَجْمُوعِ[3]

(قَوْلُهُ:، وَنَمْلٍ) فِي الرَّوْضَةِ كَأَصْلِهَا أَنَّهُ يَحْرُمُ قَتْلُ النَّمْلِ لِصِحَّةِ النَّهْيِ عَنْ قَتْلِهِ، وَحُمِلَ عَلَى النَّمْلِ السُّلَيْمَانِيُّ، وَهُوَ الْكَبِيرُ لِانْتِفَاءِ أَذَاهُ بِخِلَافِ الصَّغِيرِ فَيَحِلُّ قَتْلُهُ لِكَوْنِهِ مُؤْذِيًا بَلْ، وَحَرْقُهُ إنْ تَعَيَّنَ طَرِيقًا لِدَفْعِهِ كَالْقُمَّلِ أَيْ: بِأَنْ يَشُقَّ عَدَمُ الصَّبْرِ عَلَى أَذَاهُ قَبْلَ قَتْلِهِ، وَتَعَذَّرَ قَتْلُهُ. اهـ. مِنْ شَرْحِ م ر وَعِ ش عَلَيْهِ[4]

 

Lagi pula ada suatu kaidah fikih mengenai hal tersebut, yakni idza ta’aradha mafsadatani quddima akhfahuma (ketika ada dua mafsadat yang bertentangan, maka yang didahulukan yang lebih ringan).

Kita tahu kalau manusia butuh pangan dan papan. Jika tidak melakukan pembersihan halaman, akan terkena penyakit. Jika tidak menanam pohon, akan tidak tercukupi kebutuhan hidupnya. Nah, ini mafsadah pertama.

Mafsadah kedua, yakni pembunuhan makhluk Allah yang berupa semut atau serangga. Maka kita memilih melakukan mafsadah yang kedua, sebab lebih ringan. Kalau memilih mafsadah yang kedua kelangsungan penyembahan kepada Allah akan terhenti karena kematian kita.

Selaras dengan ayat berikut:

وَلا تُفْسِدُوا في الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلاحِها

Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik.

 وَفِيهِ مَسْأَلَتَانِ:

الْمَسْأَلَةُ الْأُولَى: قَوْلُهُ: وَلا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلاحِها مَعْنَاهُ وَلَا تُفْسِدُوا شَيْئًا فِي الْأَرْضِ، فَيَدْخُلُ فِيهِ الْمَنْعُ مِنْ إِفْسَادِ النُّفُوسِ بِالْقَتْلِ وَبِقَطْعِ الْأَعْضَاءِ، وَإِفْسَادِ الْأَمْوَالِ بِالْغَصْبِ وَالسَّرِقَةِ وَوُجُوهِ الْحِيَلِ، وَإِفْسَادِ الْأَدْيَانِ بِالْكَفْرِ وَالْبِدْعَةِ، وَإِفْسَادِ الْأَنْسَابِ بِسَبَبِ الْإِقْدَامِ عَلَى الزِّنَا وَالْلِّوَاطَةِ وَسَبَبِ الْقَذْفِ، وَإِفْسَادِ الْعُقُولِ بسبب شرب المكسرات، وَذَلِكَ لِأَنَّ الْمَصَالِحَ الْمُعْتَبَرَةَ فِي الدُّنْيَا هِيَ هَذِهِ الْخَمْسَةُ: النُّفُوسُ وَالْأَمْوَالُ وَالْأَنْسَابُ وَالْأَدْيَانُ وَالْعُقُولُ. فَقَوْلُهُ: وَلا تُفْسِدُوا مَنْعٌ عَنْ إِدْخَالِ مَاهِيَّةِ الْإِفْسَادِ فِي الْوُجُودِ، وَالْمَنْعُ مِنْ إِدْخَالِ الْمَاهِيَّةِ فِي الْوُجُودِ يَقْتَضِي الْمَنْعَ مِنْ جَمِيعِ أَنْوَاعِهِ وَأَصْنَافِهِ، فَيَتَنَاوَلُ الْمَنْعَ مِنَ الْإِفْسَادِ فِي هَذِهِ الْأَقْسَامِ الْخَمْسَةِ،[5]

Maksudnya, jangan berbuat kerusakan di bumi setelah penataannya yang baik. Yakni, larangan merusak nyawa dengan membunuh atau memotong anggota tubuh, merusak harta dengan ghasab, mencuri, dan penipuan, merusak agama dengan kufur dan bid’ah, merusak akal dengan minum arak dan narkoba. Karena kemaslahatan dunia ini ada lima: 1. Nyawa, 2. Harta, 3. Nasab, 4. Agama, 5. Akal.

Nah, kalau si penanya lebih memilih untuk tidak bercocok tanam. Artinya ia telah melakukan dua kerusakan sekaligus. Satu, menghilangkan nyawanya. Dua, memberhentikan kelangsungan penyembahan kepada Allah karena ia meninggal.

Itulah pandangan dari segi fikih, kalau memandang dari segi tasawuf paling tidak kita sebagai khalifah di bumi jangan sampai melakukan israf (berlebihan). Maknanya, تَبْدِيدُهُ وَصَرْفُهُ بِلاَ فائِدَة (menghambur-hamburkan dan memanfaatkan barang secara berlebihan). Sebuah ayat mengatakan,

وَكُلُوا۟ وَٱشۡرَبُوا۟ وَلَا تُسۡرِفُوۤا۟ۚ إِنَّهُۥ لَا یُحِبُّ ٱلۡمُسۡرِفِینَ

makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. (Surat Al-A’raf 31).

Memanfaatkan lahan tidak apa-apa, tapi jangan sampai berlebihan. Yang terpenting dapat mencukupi pangan, papan, dan sandang kita. Baik keluarga atau diri sendiri. Jadi, kematian serangga yang ada di halaman dan kebun seperti yang telah dijelaskan di atas hukumnya tidak masalah.

Oleh: Tim Tanya Jawab Tebuireng Online.

Pentashih: KH. Achmad Roziqi, KH. Mukhlis Dimyati.

[1] مجموعة من المؤلفين، الموسوعة الفقهية الكويتية، ٢٨٣/١٧

[2] الرملي، شمس الدين ,نهاية المحتاج إلى شرح المنهاج ,3/344

[3] الخطيب الشربيني، مغني المحتاج إلى معرفة معاني ألفاظ المنهاج، ١٥٣/٦

[4] البجيرمي ,حاشية البجيرمي على شرح المنهج = التجريد لنفع العبيد ,4/306

[5] الرازي، فخر الدين، تفسير الرازي = مفاتيح الغيب أو التفسير الكبير، ٢٨٣/١٤