ilustrasi: amir/to

Oleh: Anisa Faiqotul Jannah*

Aisyah Naziya Almahya. Artinya anak perempuan yang selalu riang dan akan menjadi sebuah inspirasi dengan penuh keberuntungan. Nama sekaligus doa dan harapan yang ayah bunda berikan padaku. Lahir dari rahim ibuku bukan pilihanku, dilahirkan di tempat ini juga bukan pilihanku. Semuanya adalah takdir yang sudah Allah tulis. Lahir di tengah hiruk pikuk kekosongan yang membuatku tertarik dalam permainanNya. Menjadi anak yang terpisah dari orang tua mungkin adalah suatu tantangan besar, agar aku harus lebih berani mencoba, dan berani bangkit untuk menggapai cita, membahagiakan orang tua, dan mengumpulkan gerimis cinta untuk saudara.

“Yaya, makan dulu sebelum berangkat sekolah,” suara nyaring yang selalu kudengar setiap pagi. Ibu adalah sosok perempuan yang sangat hebat bagiku. Meskipun tidak seluruh waktunya untuk menemaniku bergurau maupun bercerita, akan tetapi ibu selalu melakukan tanggung jawabnya di tengah kesibukannya membantu ayah dalam berbisnis.

Ya, aku terlahir di tengah keluarga yang sibuk menekuni bisnis, mau bagaimanapun semua juga adalah usaha untuk menjamin kehidupanku, kebahagiaanku dan kenyamananku. Meskipun pada kenyataannya aku masih sering iri melihat teman-temanku yang bisa begitu dekat dengan kedua orang tuanya sampai bisa saling bertukar cerita dalam kehidupannya.

“Yaya, kamu bisa kan ikut kumpul di rumah Ana?” Tanya Dea teman satu kelasku. Aku sedari kecil sangat menyukai hal-hal yang menyenangkan, seperti halnya menari. Entah karena aku merasa kesepian atau bagaimana. 

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

“Bu, Yaya izin, mau kumpul sama teman-teman di rumah Ana.” Pamitku sepulang sekolah

“Mau ngapain? Tanyanya menatapku.

“Mau latihan menari untuk acara memperingati hari Kartini di sekolah.” Jawabku sambil menunduk menahan ketakutan.

“Nggak boleh! Perempuan itu di rumah aja nggak usah keluyuran, apalagi nari-nari kayak gitu nggak ada faedahnya.” Jawabnya ketus.

Bukan sekali dua kali, tapi setiap kali aku izin tidak pernah diperbolehkan hingga membuatku memberontak dengan mulai banyak berbohong. Setiap kali aku ingin seperti teman-temanku lainnya bisa berkumpul, bebas ke sana-ke mari, dengan siapa saja, di mana saja, kapan saja.

“Kamu kalau nggak bisa diatur, silahkan pergi saja dari rumah! Malu-maluin orang tua aja.” hanya jawaban itu yang kudapatkan dari ibu.

***

Di usiaku yang masih menginjak 14 tahun, ingin rasanya berbaur dan melakukan banyak hal yang menyenangkan bersama teman-teman. Hingga akhirnya aku kebal dengan berbagai ocehan, tamparan, suara keras. Aku tetap bersembunyi-sembunyi melakukan berbagai aktivitas. Hampir semua kegiatan non akademik yang ada di sekolah aku ikuti semua, seperti OSIS, ekstrakurikuler Volly, Drumband, Menari, dan Rohis. 

Menginjak bangku kelas IX mungkin sudah mulai lelah dengan semua drama yang ada. Aku menangis sejadi-jadinya ketika peringkat kelasku turun. Dan aku mulai mengikuti apa yang ibuku inginkan. Aku lebih sering di rumah, jilbab yang aku kenakan hanya diselempangkan di pundak kini sudah mulai aku turunkan menutupi dada dengan jilbab besar.

“Waaaah, sosok Yaya sekarang sudah berhijrah jilbabnya besar-besar. Hahahaha….” ledek Riska di hadapan banyak orang. Saat itu, aku hanya tertunduk dan tidak mengutarakan satu kata pun.

Banyak pasang mata yang memandang dari ujung kepala sampai ujung kaki. Satu sekolahan yang tahu bagaimana aktifnya aku tiba-tiba melihatku banyak diam adalah suatu yang mungkin mengejutkan untuk mereka.

Bukan hanya di sekolahan. Di rumah pun aku menjadi sorotan tetangga-tetangga.

“Yaya ikut-ikutan aliran sesat mungkin ya…” celetuk salah satunya. 

“Iya ih, pakai jilbabnya besar-besar begitu, kaos kakian juga kenapa nggak pakai cadar sekalian biar kayak teroris, hahaha…” sahutan mereka masih terus menyerbu telingaku. 

Mendengar kalimat-kalimat itu, aku bisa apa? Sebuah tanya yang tetiba ada. Jujur, omongan-omongan itu cukup begitu mengusik pikiranku. Aku hanyalah manusia biasa yang terus mencoba mengikuti hembusan angin takdirNya. Siapa yang tahu, bagaimana akan perjuangan yang terlihat hebat dan lurus tanpa jalan terjal dan berliku.  

Aku bertatih berusaha melawan keterbatasan, bersikap tabah mengarungi untung nasib diri. Tiada tempat meminta pertolongan maupun tempat untuk mengadu nasib, kecuali berbisik dengan suara merendah di hadapan Allah. Karena hanya padaNya tempat aku mengadu dan pasrah.  

Tiada tempat berpinta, tiada tempat berkeluh kesah yang akan membuatnya tampak lemah. Hati kecilku selalu berteriak, “saya harus cepat berjaya agar bisa membungkam banyak orang yang menertawakanku dengan keras saat aku lemah tak berdaya.” Yaa, itulah aku. Aku dibentuk agar menjadi seorang yang berdikari atau dilahirkan secara semula jadi seorang yang berdikari. 

Aku pernah membaca, menurut penelitian dari seorang pakar, anak perempuan pertama berpotensi lebih hebat daripada anak lelaki pertama. Ini karena anak perempuan pertama merasakan pahitnya kehidupan ketika masih kecil, naluri keibuannya meresap dalam jiwa untuk tidak membiarkan anak-anaknya menderita sepertinya nanti. 

“Bu, setelah lulus nanti Yaya mau mondok ikut mamas di Jawa.” Ujarku tiba-tiba di tengah heningnya pembicaraan. Ibu tersenyum dan mengelus ujung kepalaku seraya berkata, “pilihanmu kali ini tepat nak.”

“Besok ayah telponkan mas kamu, ponakan yang ada di Jawa.” Sahut ayah dengan mata yang berbinar, baru kali ini aku melihat mata secahaya itu dari mata ayah.

Aku menyadari, bahwa dalam hidup kita akan terus dituntut untuk terus belajar tentang arti kehidupan. Berkali-kali diri ini dibentur dengan berbagai rintangan. Tapi aku harus kuat agar dapat melanjutkan pengajian pada tahap yang tertinggi. Supaya dapat membahagiakan kedua orang tua dan adik-adikku nanti. Hanya dengan terbentur-terbentur, maka aku akan terbentuk. Kata-kata ini yang selalu aku dengungkan dalam hati.  

Berkali kali aku mengalami jatuh bangun dalam keadaan yang seperti ini. Seakan semua akan berakhir sampai di sini. Tapi, lembaran-lembaran bait-Nya membuatku makin yakin. Di mana terdapat sebuah kalimat pada Surah Al-Baqarah ayat 286 yang berbunyi: لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَـــــــا Yang artinya, “Allah tak membebani hamba kecuali menurut kemampuannya.” [QS Al-Baqarah: 286]

*Mahasiswa Unhasy Tebuireng Jombang.