
Namanya kita samarkan, sebut saja Rani. Perempuan muda dari sebuah desa di Jawa Timur. Saat ini usianya sekitar dua puluhan dan sedang bekerja di salah satu pabrik. Dari luar, hidupnya terlihat biasa. Namun, di balik senyumnya yang ramah, Rani menyimpan luka yang tak pernah benar-benar sembuh disebabkan kekerasan seksual yang dialaminya sejak usia sekolah.
Ia pertama kali dilecehkan saat masih di bangku SD, oleh pamanya yang jauh lebih tua. Saat itu, ia terlalu takut untuk bercerita kepada siapa pun. Ketika mencoba bicara pada ibunya, sang ibu hanya bilang, “Alah nggak mungkin,” dan saat itu juga ia beberapa kali dilecehkan oleh kakak kelasnya bahkan salah satunya adalah anak dari gurunya, dan apa yang teman-temannya lakukan saat melihat itu? Hanya terdiam dan membela pelaku.
Baca Juga: Perempuan yang Mencari Ruang Aman dalam Keluarga
Saat SMP, ia dilecehkan lagi kali ini oleh kakak kelasnya, karena trauma yang belum sembuh, ia menarik diri dari pergaulan. Tapi dunia tetap tidak memberinya ruang aman. Bahkan saat sudah bekerja, ia masih harus menghadapi godaan tidak senonoh dari rekan kerja laki-laki. Seringkali, perempuan seperti Rani disalahkan karena dianggap menggoda, dianggap terlalu ramah, dianggap “salah kostum”.
Dari kisah nyata Rani, yang meskipun belum terendus oleh media ternama, pertanyaan paling mendasar muncul sebenarnya, di mana tempat paling aman bagi perempuan?
Sejumlah riset menunjukkan bahwa rumah, sekolah, tempat kerja, bahkan ruang publik semuanya masih menyimpan potensi kekerasan terhadap perempuan. Berdasarkan data dari Komnas Perempuan, sepanjang tahun 2023 saja, terdapat lebih dari 400 ribu kasus kekerasan terhadap perempuan, dan mirisnya, sebagian besar pelaku berasal dari lingkungan terdekat korban. Data ini menguatkan kenyataan pahit bahwa rumah yang seharusnya menjadi tempat perlindungan, justru sering menjadi lokasi terjadinya kekerasan.
Ada anggapan kuno yang masih mengakar kuat di masyarakat kita bahwa perempuan akan lebih aman jika berada di rumah. Namun, data dan kisah Rani menunjukkan bahwa berada di rumah pun tak menjamin keselamatan. Perempuan tidak hanya menjadi korban kekerasan di ruang publik, tetapi juga di ruang-ruang domestik yang sering kali tidak terlihat. Maka, menyuruh perempuan hanya di rumah bukanlah jawaban. Justru pernyataan itu melanggengkan budaya patriarki yang menempatkan perempuan sebagai warga kelas dua.
Ketika perempuan terus-menerus dianggap sebagai pemuas hasrat, tubuhnya selalu jadi objek pengawasan, kebebasannya selalu dipertanyakan, kita tidak hanya sedang membatasi ruang geraknya, tetapi juga menghancurkan rasa aman yang seharusnya ia miliki sebagai manusia.
Baca Juga: Urusan Perempuan, dari Privasi hingga Publik
Dari sisi psikologis, dampak kekerasan seksual pada perempuan tidak sebatas pada kejadian fisik. Luka yang ditinggalkan bisa menghancurkan harga diri, kepercayaan, dan kesehatan mental korban dalam jangka panjang.
Menurut American Psychological Association (APA), korban kekerasan seksual lebih rentan mengalami gangguan kecemasan, Post traumatic stress disorder (PTSD), depresi, bahkan keinginan bunuh diri. Mereka tumbuh dengan rasa takut, curiga terhadap dunia, dan merasa dirinya kotor atau tidak layak dicintai.
Rani, misalnya, mengaku bahwa ia sulit percaya pada laki-laki dan sering merasa hampa dalam hubungan sosial. Ia juga menyalahkan dirinya sendiri sesuatu yang umum terjadi pada korban kekerasan seksual, apalagi jika mereka dibesarkan di lingkungan yang menyalahkan korban dan memuliakan pelaku.
Pandangan masyarakat yang terlalu cepat menghakimi perempuan, memperkeruh luka batin yang sudah dalam. Kita sering bertanya “kenapa tidak melawan?” alih-alih “kenapa pelaku tega melakukan itu?” Atau “kenapa dia tidak cerita?” padahal lingkunganlah yang membuatnya tidak merasa aman untuk bicara. Selama perempuan masih harus membuktikan bahwa mereka korban, sementara pelaku bebas berkeliaran tanpa beban, maka rasa aman hanya menjadi ilusi.
Perempuan butuh ruang yang benar-benar aman. Aman secara fisik, psikologis, dan sosial. Ruang di mana suara mereka didengar, luka mereka dipahami, dan keputusan atas tubuh mereka dihormati. Namun, keamanan seperti itu tidak datang begitu saja. Ia harus diciptakan. Oleh keluarga yang mendidik anak laki-laki untuk menghormati, bukan menguasai. Oleh sekolah yang tidak hanya mengajarkan nilai akademik, tapi juga pendidikan seksualitas yang sehat. Oleh tempat kerja yang punya aturan jelas melindungi pekerja perempuan dari pelecehan. Oleh negara yang punya hukum berpihak pada korban, bukan malah menyudutkan mereka.
Kebebasan perempuan bukan berarti mereka harus menolak kodrat biologisnya. Tetapi mereka berhak memilih, ingin bekerja atau di rumah, ingin berkarier atau menjadi ibu rumah tangga, ingin berpakaian sopan menurut versinya, bukan menurut standar ganda masyarakat. Mereka ingin dihormati karena kemanusiaannya, bukan dinilai dari tubuhnya.
Baca Juga: Pentingnya Kesadaran untuk Mencegah Kasus Pornografi Anak
Lalu, kapan kebebasan itu bisa didapat? Ketika perempuan tidak lagi dinilai berdasarkan penampilannya. Ketika seorang gadis tidak lagi takut pulang malam karena jalanan yang gelap. Ketika seorang ibu tunggal tidak lagi dianggap gagal hanya karena tidak bersuami. Ketika seorang perempuan bisa bicara tanpa takut dikatai “banyak gaya” atau “terlalu vokal”.
Cara untuk sampai ke sana bukanlah jalan instan. Ia memerlukan kesadaran kolektif, perombakan budaya, penegakan hukum yang tegas, dan pendidikan yang menyeluruh sejak usia dini. Dibutuhkan keberanian untuk menantang norma-norma lama yang merugikan, serta solidaritas dari sesama perempuan dan juga laki-laki yang mau berdiri di sisi yang benar.
Rani mungkin hanya satu dari ribuan, bahkan jutaan perempuan yang mengalami luka seperti itu. Namun kisahnya bisa menjadi panggilan bagi kita semua bahwa tempat paling aman bagi perempuan bukanlah lokasi geografis, melainkan lingkungan yang menghargai martabat dan hak asasi mereka sebagai manusia. Maka, tugas kita bersama adalah menjadikan setiap tempat seperti rumah, sekolah, jalanan, tempat kerja, ruang digital sebagai ruang yang benar-benar aman.
Baca Juga: Pentingnya Pendidikan Seksual Dimulai dari Keluarga
Karena perempuan tidak butuh dikasihani, mereka butuh dilindungi. Dan perlindungan sejati bukan dengan menyuruh mereka diam di rumah, tapi dengan menciptakan dunia di mana mereka bisa hidup tanpa rasa takut. Dunia di mana Rani dan jutaan lainnya bisa menyembuhkan lukanya tanpa harus sembunyi. Dunia di mana mereka akhirnya bisa merasa aman, bukan hanya karena tidak terlihat, tapi karena benar-benar dihargai.
Penulis: Albii
Editor: Rara Zarary