
Dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 34 disebutkan kata Qowwamuna yang memiliki makna pengelola urusan wanita, Abu Ala Mauddui menyebutkan bahwa qawwam atau qayyam berarti seseorang yang bertanggung jawab atas perilaku yang benar. Namun, ayat ini sering dijadikan landasan kaum orientalis[1] bahwa Islam bias gender karena telah melebihkan laki-laki dari perempuan.
Para ulama dan mufassir telah memberikan penafsiran yang beragam terhadap kata Qowwamuna ini. Ath-Thabari menafsirkan kata qawwam sebagai pelaksana tugas (nafiz al-amr) dan pelindung, yang mengatur dan mengajari dikarenakan kelebihan yang diberikan kepada laki-laki. seperti kewajiban memberikan nafkah dan mahar. Ibnu Katsir mengatakam bahwa qawwam bermakna laki-laki adalah kewajiban rumah tangga, penasihat sekaligus pendidik wanita jika ia salah. Dalam tafsir Jalalain, Qowwam adalah penguasa. Sedangkan al-Qurthubi menyebutnya bertugas memberikan nafkah.
Pemaknaan tersebut memberikan implikasi kentara bagi kaum perempuan, dimana perempuan dinilai sebagai kaum yang dipimpin, kaum kelas kedua, yang harus tunduk dan patuh pada laki-laki, dinilai tidak bisa menjadi pemimpin dalam keluarga dan masih banyak lagi stereotip masyarakat tentang perempuan yang hanya terbatas dalam lingkup domestik.
Meskipun kemajuan zaman telah mengubah beberapa persepsi terkait dengan peran perempuan dalam lingkup domestik dan publik. Banyaknya perempuan yang berkarir dalam lingkup publik seperti dalam ranah politik dan ekonomi memberikan persepsi baru dimana kaum perempuan mulai diterima dalam ranah publik, meskipun tidak menutup pandangan bahwa laki-laki tetap berada dalam kasta tertinggi dalam ranah kepemimpinan dan berada di atas kaum perempuan.
Sedangkan ulama kontemporer lebih terbuka dengan penafsiran yang berisi relasi gender antara laki-laki dan perempuan. Seperti Muhammad Abdul, penulis tafsir al–Manar menyebutkan bahwa makna kata qawwam ini adalah tugas pemimpin hanya untuk mengarahkan, bukan memaksa sehingga orang yang dipimpin tetap bertindak berdasarkan kehendak dan pilihannya bukan dalam keadaan terpaksa. Pandangannya menunjukkan persamaan (musawah) kedudukan antara laki-laki dan perempuan.
Baca Juga: Khalifah di Bumi itu Laki-laki dan Perempuan
Hal ini didasarkan pada Islam yang merupakan agama rahmatan lil ‘alamin yang artinya bahwa agama Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam terutama bagi manusia yang mengemban tugas sebagai khalifah di muka bumi. Selain itu, ajaran Islam dalam konteks keadilan dan kesetaraan sebagai prinsip yang fundamental. Terdapat lima prinsip dan tujuan dasar atau intisari dalam hukum Islam yang dinamakan maqasid syariah. kosep ini menekankan bahwa setiap aturan dalam Islam memiliki tujuan untuk mewujudkan kemaslahatan (kebaikan) bagi manusia.
Maqasid Syariah Terbagi Menjadi Lima, Hifdzul
Qawwamun dapat diinterpretasikan sebagai bentuk perlindungan (hifdz) terhadap keluarga, hal ini sejalan dengan tujuan melindungi keturunan (hifdzul nasl) dan jiwa (Hifdzul nafs). Interpretasi ini harus mencerminkan keadilan dalam relasi gender antara laki-laki dan perempuan, bukan dominasi satu pihak. selain itu, pemahaman Qawwamun perlu mempertimbangkan perubahan sosio-ekonomi dunia modern. dalam maqasi syariah perlu mengakui adanya fleksibilitas dengan konteks zaman dan tempat.
Berdasarkan hal tersebut. Qawwamun dalam konteks modern dapat dimaknai sebagai berikut:
- Kemitraan setara: bukan lagi tentang kepemimpinan tunggal, tetapi kemitraan dimana posisi laki-laki dan perempuan bisa bekerja sama dan membangun relasi yang baik.
- Masyarakat pluralistik: di mana interaksi antar gender dalam pandangan budaya dan agama menjadi hal yang lumrah.
- Kepemimpinan yang berbasis kompetensi: yaitu Qawwamun dimaknai sebagai tanggung jawab kepemimpinan yang diberikan berdasarkan kompetensi, bukan gender.
- Hak dan kewajiban yang setara: setara bukan harus sama dalam konteks pembagian kerja. Namun lebih kepada pembagian yang adil sesuai dengan komampuannya.
Pengetahuan dan pengalaman dalam ruang publik memberikan implikasi yang positif bagi pandangan yang inklusif dalam relasi gender, yaitu mengakui keberagaman, kesetaraan, dan saling ketergantungan antargender dalam masyarakat modern. Perspektif ini melampaui dokotomi tradisional dan mengadopsi pemahaman yang lebih nuanced tentang identitas dan peran gender.
Hal ini harus di manufestasikan dalam berbagai konteks sosial masyarakat, baik dalam bidang pendidikan, pekerjaan, politik, keluarga, media dan pelayanan kesehatan. sehingga tidak ada diskriminasi gender yang terjadi dalam ruang publik.
Penulis: Emilia Angraini
[1] seseorang atau orang barat yang memiliki stereotip negatif terhadap ajaran Islam.