Para peserta workshop “Pencegahan Paham Radikal Terorisme” oleh BNPT di Pesantren Tebuireng, Rabu (15/6).

Tebuireng.online– Dakwah bukan tentang sarana tapi tentang menyampaikan sesuatu yang nyata. Dalam menyampaikan dakwah, sarananya pasti berbeda-beda, sebab mengalami transformasi dan dinamika. Seperti Walisongo menggunakan wayang sebagai media dalam berdakwah, seperti Roma Irama menggunakan lagu untuk berdakwah dan menyampaikan nasihatnya.

Itulah yang disampaikan oleh Kepala Redaksi Pusat Media Damai (PMD), Abdul Malik dalam Workshop “Pencegahan Paham Radikal Terorisme” yang diadakan di Pesantren Tebuireng, Rabu (15/6/2022). Menurutnya, meskipun sarana berdakwah itu mengalami transformasi tapi caranya jangan sampai berganti.

“Cara dakwah itu mengalami transformasi, tetapi substansinya itu tidak boleh berganti mulai dari wayang, music, buletin kemudian kita beralih ke era digital seperti medsos substansi dakwahnya itu harus tetap maudihoh hasanah, ucapan yang lembut, mujadalah, jadi berdebat dengan cara cara yang baik,” ungkapnya.

Dakwah saat ini, banyak yang disampaikan melalui media sosial. Ada dampak yang ditimbulkan, salah satunya runtuhnya otoritas konvensional ini merupakan otoritas keilmuan yang dulunya dikuasai oleh kiai, pesantren, dan madrasah.

“Karena bagi masyarakat milenial sekarang sumber otoritas keilmuan itu bukan dari mereka tapi dari google dan medsos. Mereka lebih memilih bertanya keilmuan keislaman ke medsos, ke youtube dan google dari pada ke kiai. Itu salah satu contoh runtuhnya otoritas konvesional dan bangkitnya otoritas keilmuan yang digital,” tegasnya.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Sejatinya belajar Islam di dunia digital adalah sebuah proses pendangkalan bukan pendalaman. Karena proses yang mudah dan instan, membuat orang lebih banyak bertanya pada media sosial dan lain-lainnya. Tanpa kita sadari, itu merupakan proses pendangkalan karena ilmu itu bukan sekadar pengetahuan tetapi hubungan antara murid.

“Kalau pengetahuan dari google seperti tidak ada ikatan batin antara guru dan murid yang biasanya di sebut barokah,” imbuhnya.

Dalam media sosial juga memiliki penyakit yang harus kita hindari, karena kita santri kita harus bisa mencegah dan menghindari penyakit ini dengan cara melawan bersama-sama berita bohong atau hoaks dan konten paham radikalisme.

“Ketika buat konten kita harus memiliki mindset dalam menentukan konten yang akan kita up di media sosial milik kita,” katanya.

Menurutnya, ketika kita mengganggap sesuatu yang tidak penting tapi menurut masyarakat itu penting, tapi terkadang menurut kita penting menurut masyarakat itu tidak penting itulah diperlukan perumusan ide, pencarian kata, dan trendingnya itu seperti apa.

“Apa yang mau dijadikan konten itu harus trending, aktual atau sesuai momentum, melihat konten tetangga dan melihat hal-hal yang penting. Karena ide itu diburu bukan ditunggu, dan inspirasi itu digali bukan dinanti,” tandasnya.

Pewarta: Wan Nurlaila