
Di zaman digital ini, kita sebagai anak muda harusnya tidak kaget dengan adanya perkembangan teknologi yang sangat pesat, semuanya serba digital, serba instan, dan serba mudah. Meskipun mungkin dari kalangan orang tua masih sulit menerima perkembangan teknologi ini, dengan menganggap bahwa adanya perkembangan teknologi ini menjadikan manusia menjadi sempit otak, gagap, dan kering dalam jiwanya.
Hal ini dicontohkan seperti pengajian, sekarang kita tidak perlu menunggu pendakwahnya datang ke daerah kita atau bahkan tidak perlu menunggu jadwal tayang pengajian di televisi pada hari ini, dikarenakan sekarang dipermudah dengan adanya teknologi media sosial TikTok yang dapat menayangkan pengajian yang sesuai dengan apa yang kita cari dan dapat kita tayangkan setiap saat.
Baca Juga: 8 Tips Membuat Konten Digital bagi Santri
Fenomena ini sudah menjadi hal yang lumrah di daerah dan kehidupan kita sehari-hari dan menjadi babak baru dalam sejarah keberagaman manusia, yang biasa disebut era cyber religion.
Apasih Cyber Religion itu?
Cyber Religion atau agama digital ini memiliki arti bahwa agama itu tidak hanya ada di dunia nyata saja, melainkan juga aktif dalam dunia maya seperti platform digital. Di Indonesia sendiri, kegiatan serba online atau digital ini mulai dilakukan ketika adanya pandemi COVID-19. Dimulai dari kegiatan pendidikan yang harus online, hingga kegiatan keagamaan pun juga menjadi online. Seperti khutbah jum’at yang disiarkan langsung, pengajian via zoom, hingga kegiatan misa pun online.
Seiring perkembangan waktu, tidak hanya dalam bidang ekonomi dan pendidikan saja kita dipermudah dengan menggunakan media digital, dalam bidang keagamaan pun kita dipermudah dalam menjalankan ibadah, seperti adanya aplikasi Al-Qur’an digital, tasbih digital, dan kiblat digital. Keagamaan sekarang memang telah dilakukan secara aktif di media digital, hingga memengaruhi identitas keagamaan masyarakat.
Pendiri Drone Empirit Ismail Fahmi, dalam Khazanah Republika, pernah mengatakan bahwa ada sekitar 50 persen lebih pengguna internet di Indonesia mencari jawaban seputar keagamaan melalui internet dan mayoritas pengguna internet di Indonesia adalah anak-anak muda. Karena anak-anak muda itu masih bisa menerima perkembangan teknologi sekarang atau otaknya masih bisa berkembang lagi. Lain halnya untuk kalangan orang tua, otak mereka sudah mulai stuck disitu atau bahasa mudahnya yaitu sulit menerima perkembangan zaman.
Kepala Kanwil Kemenag Provinsi DKI Jakarta Saiful Mujab saat menjadi narasumber pada kegiatan Orientasi Dakwah Melaui Media Sosial dan Elektronik pernah berkata, “Kita sebagai aktivis dakwah baik di lingkungan majelis taklim maupun penyuluh ini perlu mempunyai langkah bagaimana kita membina umat melalui media sosial”. Di era cyber religion ini media online atau dunia maya sudah terlihat seperti sesosok guru di dunia daring untuk kita. Kita bisa membaca, menonton, bahkan belajar melalui website, media sosial, dan media online lainnya tanpa perlu adanya guru atau kiyai secara langsung.
Baca Juga: Dakwah Digital, Seni Mendekatkan Diri pada Tuhan atau Sekadar Tren?
Salah satu manfaat dari cyber religion adalah terbukanya akses ke konten keagamaan di media sosial yang beredar. Orang-orang dari berbagai latar belakang, bahkan yang tinggal di daerah terpencil, kini bisa belajar agama dari berbagai sumber. Selain itu, cyber religion juga dapat membuat ruang baru untuk komunitas keagamaan, bahkan dapat memperluas relasi keagmaan menjadi lebih inklusif dan efisien terutama bagi generasi muda yang lebih akrab dengan dunia digital sekarang.
Berbagai konten keagamaan atau dakwah pun bisa menjadi lebih kreatif, komunikatif, dan efektif, berkat banyak para pendakwah dan tokoh agama yang menggunakan pendekatan kekinian, penyampaian yang santai, serta bahasa yang mudah dipahami untuk menyampaikan ajaran-ajaran agama agar bisa lebih diterima oleh khalayak umum.
Namun, dibalik semua manfaat dan kemudahan tadi, terdapat tantangan yang signifikan dari adanya cyber religion yang memengaruhi identitas keagamaan individu. Salah satu masalah utama adalah konten keagamaan menjadi ajang pamer akan kesalehan individu demi popularitas dan keuntungan materi, bukan refleksi spiritual yang tulus dari hati. Siapa pun bisa berbicara atas nama agama tanpa adanya filter, hal ini membuat penyebaran ajaran agama di dunia maya belum tentu akan kevalidan atau kebenarannya.
Kakanwil Kementerian Agama Lampung Kiai Puji pernah mengatakan, “algoritma yang digunakan dalam teknologi internet menjadikan pergaulan kita sempit. Kita tersesat di belantara media sosial yang sangat luas yang menyebabkan klaim kebenaran secara subjektif”. Memang benar adanya bahwa algoritma media sosial cenderung memperkuat opini yang sama dan menyaring pandangan yang berbeda, sehingga khalayak umum bisa terperangkap dalam gelembung informasi yang dapat mempersempit wawasan keberagaman.
Baca Juga: Ngaji Online, Bentuk Baru Dakwah Digital
Dengan demikian, cyber religion bukan hanya soal teknologi, tapi juga soal bagaimana kita menempatkan iman dalam kehidupan sehari-hari yang serba digital. Kita perlu menyaring informasi keagamaan supaya tidak terjebak pada tampilan luar semata. Internet memang memberi kemudahan, tapi pemaknaan spiritual tetap harus ditumbuhkan.
Penulis: Muayyinatul Millatil Haq, Mahasiswa KPI Unhasy.