Ilustrasi kasih sayang ibu kepaada anaknya. (sumber: fimela)

Malam hari itu, udara cukup gigil dengan suara takbir yang saling bersahutan dari corong-corong toa surau dan masjid sekitar toko kelontongnya yang amat kecil. Di sisi dunia yang begitu ramai menyambut dengan petasan, kembang api, dan silaturahmi, di toko sederhananya seorang ibu rumah tangga, duduk di atas tikar buatannya sendiri, ia merapikan beberapa toples snack jualan seraya menghibur balita yang sedang makan biskuit sisa separuh.

Pagi harinya, setelah ia menjaga malam begitu panjang, ia bangun lebih pagi dari biasanya. Ia menyapa matahari yang mulai menembus tirai jendela dengan senyuman kecil, meski hatinya tak secerah pagi itu. Ia berpikir tentang anak lelakinya, Faozan, yang kini tinggal di rumah, jauh di kampung halaman.

“Faozan pasti sudah bangun,” gumam Salamah pelan. “Tapi, dia tidak tahu betapa beratnya perjuangan Ibunya di sini.”

Setelah salat subuh, ia menyiapkan sarapan untuk dua anak perempuannya, Zahra dan Farida, yang sudah siap dengan pakaian cantiknya. Salamah mengangguk-anggukkan kepala saat mereka saling menyuapkan nasi ke mulut masing-maisng. Zahra anak kedua, hanya tersenyum tipis, sementara Farida yang masih berusia enam tahun melambaikan tangan dengan wajah ceria.

Salamah kemudian memandang ke luar jendela, matanya menatap jauh ke arah hamparan ladang yang menguning. Ia mengenang kembali keputusan berat yang harus diambil setahun lalu. Meninggalkan Faozan di rumah dan merantau bersama dua anak perempuannya ke sebuah desa yang tak lumayan jauh. Salamah, yang semula hanya seorang ibu rumah tangga biasa, kini harus menjadi tulang punggung keluarga.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

*****

Mereka datang ke desa ini dengan harapan mendapatkan pekerjaan di pabrik tempe yang sudah berdiri puluhan tahun. Namun, bekerja di sana tidak mudah. Setiap hari, mereka harus terbangun sebelum fajar dan kembali ke rumah hanya setelah matahari tenggelam, dengan tangan yang letih dan wajah yang pucat. Sehingga akhirnya dirinya memilih bekerja menjaga sebuah toko kelontong di pinggir jalan raya.

Ada satu tekad yang tidak pernah pudar dalam hatinya: Ia harus bisa mengumpulkan uang untuk memberikan zakat fitri, sekadar untuk memenuhi kewajiban agama dan menunjukkan rasa syukur kepada Tuhan. Tahun ini, keluarga mereka masih belum mampu memenuhi kewajiban itu. Zakat fitri adalah hal yang penting bagi Salamah, bukan hanya karena kewajiban agama, tetapi juga karena ia ingin anak-anaknya tahu bahwa meskipun hidup serba kekurangan, mereka tetap mampu berbagi dengan orang lain.

Salamah menatap ke arah kantong kecil di saku bajunya, yang berisi uang hasil kerja kerasnya dan Zahra. Setiap hari, mereka menyisihkan sedikit demi sedikit dari gaji yang mereka dapatkan. Namun, jumlahnya masih jauh dari yang ia harapkan untuk membeli zakat fitri bagi keluarganya.

Teringat akan Faozan, hatinya kembali perih. Anak laki-lakinya yang kini berusia 14 tahun harus tinggal di rumah sendirian. Salamah tahu, Faozan sudah cukup besar untuk mandiri, tapi sebagai seorang ibu, rasa khawatir selalu menghantuinya. Apa yang dilakukan anaknya di rumah? Apakah dia cukup makan? Apakah dia merindukan kehadirannya seperti ia merindukan Faozan? Semua pertanyaan itu menyelimuti pikiran Salamah sepanjang waktu.

Pada malam hari, setelah selesai bekerja, Salamah duduk sendirian di sudut kamar kontrakan mereka. Dua anak perempuannya sudah tidur, sementara ia masih terjaga, matanya menerawang jauh. Ia teringat masa lalu, masa ketika hidup mereka cukup bahagia meskipun sederhana. Namun, situasi berubah setelah suaminya sakit parah dan akhirnya meninggal. Setelah itu, hidup mereka menjadi serba susah. Salamah merasa dirinya tidak bisa mengandalkan siapa pun selain dirinya sendiri.

“Apa Faozan tahu betapa sulitnya aku mencari nafkah di sini?” bisiknya pada dirinya sendiri. “Dia pasti merindukan Ibu, tapi Ibu juga merindukannya. Terkadang, rasa bersalah ini begitu berat.”

Pikirannya kembali terbang ke Faozan. Anaknya yang dulu penuh tawa, penuh semangat, kini hanya tinggal di rumah dengan kenangan masa kecil. Salamah tidak tahu apakah anaknya sudah bisa merasakan betapa berat beban yang ia pikul.

Namun, Salamah juga tahu bahwa ia harus tetap kuat. Ia tahu bahwa anak-anaknya, terutama Zahra dan Farida, membutuhkan ia untuk bertahan. Mereka butuh makanan, pendidikan, dan yang lebih penting lagi, cinta dan perhatian dari seorang ibu. Bagaimanapun juga, Salamah bertekad untuk terus bekerja keras, agar keluarganya bisa tetap hidup dan menjalani hari-hari dengan sebaik-baiknya.

*****

Pada suatu sore yang panas, Salamah duduk di luar toko, menunggu jam pulang. Zahra dan Farida sudah ada di dekatnya, duduk di atas batu besar sambil berbincang. Salamah meraih tangan mereka, merasakan betapa lembutnya kulit anak-anaknya.

“Mama, bagaimana kalau tahun ini kita tidak memberikan zakat fitri?” tanya Zahra tiba-tiba.

Salamah terkejut mendengar pertanyaan itu. “Tidak, kita harus tetap memberi,” jawab Salamah tegas, meskipun hatinya terasa teriris. “Bukan hanya karena kewajiban, tetapi karena kita harus tetap bersyukur atas apa yang kita miliki.”

Zahra dan Farida menatapnya dengan mata besar. Salamah bisa melihat kecemasan di wajah mereka, namun ia tak ingin menunjukkan kelemahan di depan anak-anaknya. Ia harus kuat, untuk mereka.

Malam itu, ketika semuanya sudah terlelap, Salamah kembali terjaga. Ia memikirkan Faozan yang jauh di rumah. Tanpa sengaja, air matanya menetes. Ia merindukan suara tawa anak laki-lakinya, merindukan kebersamaan mereka, merindukan masa-masa ketika ia bisa merawatnya dengan penuh kasih.

Pagi-pagi, Salamah bangun lebih awal. Ia menyiapkan sarapan untuk anak-anaknya dan memastikan mereka siap untuk bekerja. Sambil memandangi wajah-wajah mereka yang penuh semangat, ia berdoa dalam hati, berharap agar Allah memberikan kekuatan untuk terus berjuang, agar tahun ini ia bisa membeli zakat fitri dan memberikannya kepada yang berhak.

Satu per satu, ia menghitung kembali uang yang sudah disisihkan. Sisa dari gajinya, yang ia kumpulkan sedikit demi sedikit selama berbulan-bulan, ternyata cukup untuk membeli zakat fitri. Rasa haru menyelimuti hatinya. Meskipun berat, ia merasa bangga bisa memberikan sedikit dari apa yang dimiliki, meskipun ia tahu, ini bukanlah hal yang mudah.

Setelah beberapa minggu, Salamah pulang ke kampung halaman. Ia membawa zakat fitri yang sudah ia kumpulkan untuk diberikan kepada Faozan dan keluarga. Ketika ia sampai di rumah, Faozan menemuinya di depan pintu, dengan mata yang terlihat lelah dan sedikit bingung.

“Ibu… Ibu sudah pulang?” tanya Faozan dengan suara gemetar.

Salamah memeluk anaknya erat. “Iya, Faozan. Ibu pulang dengan membawa zakat fitri, untuk kita.”

Faozan terdiam, lalu berkata, “Ibu, terima kasih. Maafkan Faozan yang hanya bisa menunggu di sini.”

Salamah tersenyum, air mata tak bisa terbendung. “Tidak ada yang perlu dimaafkan, Faozan. Ibu hanya ingin kita semua bahagia, meskipun kita harus berjuang.”

Di tengah pelukan itu, Salamah tahu bahwa cinta seorang ibu tak pernah bisa diukur dengan materi. Namun, perjuangannya untuk memberikan zakat fitri, untuk anak-anaknya, adalah bukti cinta yang tak tergantikan.



Penulis: Ummu Masrurah