(sumber gambar: https://kisah-yang-penuh-hikmah.blogspot.com)

Sejarah akan terukir dengan sendirinya, tanda orde baru akan muncul. Banyak sekali suara yang begitu melengking, menusuk gendang telinga. Di mana orang-orang melepas lebur segala amarahnya pada sebuah peristiwa. Peraduan antara otak dan fisik saling bermain. Tercampur aduk sebagaimana air dan segumpalan gula bening di dalam gelas kaca. Semuanya tercampur aduk. Tak mengenal mana yang tua dan mana yang muda? Hanya mereka-mereka yang menyadari sebuah rasa dari benih-benih menjadi bibit unggul tertanam di dalam benak masing-masing individu, yaitu rasa cinta dan peduli tanah air.

Dimulai dari hari itu, mentari terbit dari timur. Dengah sinar UV-nya yang menelusup ke dalam jendela kamar tidurku, hingga sebuah suara membangunkanku. “Anwar! Sarapan dulu sayang! Kaburu makanannya basi loh!” suara perempuan paruh baya. Membuat pekerjaanku terhenti sejenak. Namun aku terpaksa melanjutkannya. Dengan suara khasnya yang terdengar sangat jelas di rongga-rongga telingaku yang lembab. Orang yang selalu hadir di sampingku, sepanjang waktu berjalan menyusuri rutenya. Orang yang sudah menuntun ke jalan lurus! Begitulah siklus kehidupan. Setelah aku menyadarinya, ternyata semua orang sama.

Ketikanku pada tabel keyboard laptop terhenti dengan sendirinya. Yang sedari tadi duduk di atas kursi belajar dengan meja yang membopong tangna dan juga beberapa peralatan lainnya, kupandang sekejap  gelas kaca bening berisi air yang ada disebelah benda keseharianku. Lalu mengambilnya, dan meneguk sisa-sisa air didalamnya. Hingga tersisa satu atau dua tetes saja. Sekiranya. Dengan singkat, aku menekan dua kombinasi antara tombol bertuliskan “Ctrl” dan “S” pada keyboard untuk menyimpan data. Mereka menyebutku dengan sebutan anak program. Dilanjutkan dengan menekuk layar hingga setengah tertutup sembari menjawab suara Bunda dibawah ”Iya bun, tunggu sebentar.”

Hingga akhirnya Bunda menghampiri kamarku, “Ngapain aja sih dari tadi di atas mulu?” tanya Bunda. “Cuma ngetik aja, Bun,” jawabku dengan pelan. Karena aku merupakan orang yang so simple dan mandiri.

“Bun, kenapa ya di zaman milenal itu orangnya itu kurang menghargai jasa-jasa para pahlawan? Mereka malah menurunkan moral-moral bangsa, yang semakin hari terus merosot dan akhirnya terjatuh ke bawah. Mengapa bisa seperti itu Bunda?”

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Bunda tidak langsung menjawab pertanyaanku, “Makan dulu aja, War”. Aku pun mengiyakan, kemudian meninggalkan mejaku. Turun ke bawah, mengambil porsi makanku. Meski terlihat tidak terlalu banyak, aku kira cukup sedikit saja. Dan kemudian duduk berhadapan dengan bunda di meja makan. Bisa dibilang rumah ini aku dan Ibu saja yang menempati. Aku dikamar atas, dan ibu dikamar bawah.  Rumah ini cukup besar sekali, tak ada pembantu dan sopir seperti di rumah-rumah biasanya. Terkadang aku selalu menyarankan halte tersebut, namun Bunda selalu menolaknya, ia selalu bersikap tegas agar kami selalu mandiri.  

Entah mengapa setiap kali ibu makan, melihat otot-otot yang menarik paksa rasa bangga anak semata wayangnya ini terbaca olehku. Apa mungkin karena efek dari aku yang menjadi siswa unggulan tingkat pararel? Ataukah mungkin karena aku selalu taat kepada Bunda ? ataukah hal yang lain… sudah, mungkin aku yang terlalu banyak memikirkan sesuatu diluar imajinasiku sendiri. Aku kembali fokus ke piringku lagi.

Di sela-sela makanku bunda ternyata mau menjelaskan. “Orang-orang di zaman sekarang, sudah terprioritaskan dengan namanya teknologi. Mengignat teknologi sekarang yang sudah semakin canggih dan tinggi dalam dunia perkembangannnya. Begitu juga dampak yang ditimbulkan pemakainya. Dari dampak yang postif ke negatif. Begitu juga sebaliKnya. Mereka saling berhubungan satu sama lain. Ambil sisi baiknya, jangan pernah mengambil sisi jeleknya. Semua itu tergantung pada orang tersebut. Si pemakai. Berawal dari mereka, dan berakhir dari kita semua. Para generasi bangsa. Kalau anwar melihat apapun itu yang salah, benerin! Jika butuh, datanglah ke bunda. Ataupun ke siapapun asal dia lebih mengerti untuk saat ini.” Setelah mendengarkan penjelasan bunda, aku merasa sedikit terinspirasi tanpa harus meminum kopi. Juga sebuah motifasi darinya dalam pelajaran hidup terbaruku hari ini.

“Bunda sudah sarapan?” tanyaku. “Sudah, ketika Anwar masih berada di lantai atas. Bunda sudah sarapan lebih dulu,” jawab ibu dengan nada pelan. Aku hampir tersedak, selama itu kah aku berada di atas sembil mengerjakan tugas? Hingga aku lupa bahwa hari ini sudah semakin siang.

Semakin menyadari bahwa aku harus mempunyai rasa memiliki. Dan tak ingin kehilangan untuk kedua kalinya. Tak seberapa banyak orang yang hidup didunia ini tanpa ada kehadiran dari seorang ayah, rasanya tidak lengkap. Seperti puzzle yang hilang, tidaklah serasa sempurna. Aku dibesarkan oleh seorang perempuan hebat selama lima tahun terakhir ini tanpanya. “Sekali-kali main di luar rumah, Anwar. Jangan di dalam rumah terus, minimal di depan rumah” cetus Bunda. Aku hanya mengangguk perkataan bunda, mungkin itu ada benarnya juga.

*******************

Berbeda dengan sekarang ini disaat waktu bergilir. Disaat orang-orang sudah mulai tidak bisa mempertahankannya. Martabat bangsa, semakin lama kian luntur. Tak tersisa. Meski mereka hanya tinggal menikmatinya saja, tidak harus berjuang mati-matian. Hanya dengan masalah kepemilikan lahan, mungkin beberapa hektar saja. Itupun harus berkorban menumpahkan tetesan-tetesan darah segar. Toh, sekarang tidak banyak yang harus menumpahkan ataupun berkorban sampai menumpahkan tetesan darah.  Namun sebaliknya, malah malas-malasan dan tidak menghargai pengorbanan itu.

Sejujurnya, apa adanya sebuah virus sehingga membuat teknologi-teknologi menjadi rusak dan error? Dulu, yang membuat tren dan populernya menbuat membabi buta menjdi buta jasa! Semu sudha berlalu, seperti hilang tak berbebas dan tidak bermakna. Tak berarti sama sekali. Bukanya masa lalu dijadikan sebagai bahan pelajaran? Sebagai pengalaman? Di mana sekarang kutipan itu? Masih menjadi tanya tanya besar dan bergaris bawah merah. Tanda tanya bagi orang lain dan garis merah yang membuat diriku heran dalan benakku. Sepanjang waktu.

                *******************

Langit biru cerah, dengan warna putih awan yang menggulung layaknya ombak-ombak kecil dipantai. Banyak sekali kicauan burung menghiasinya. Bangunan-bangunan tinggi ber arsitektur sudah mulai memuncak dan mencakar langit seiring berjalannya waktu. Yang gagah berdiri menggunakan pondasi-pondasinya. Bagaikan diagaram batang dalam ilmu pelajaran matematika.

Dan juga, terlihat beberapa anak kecil yang suka ria bermain dengan sebuah bola karet. Wajar saja hari ini hari minggu, beberapa dari mereka libur atau mempunyai jeda waktu untuk tidak melakukan aktifitas pekerjaannya. Termasuk Anwar. Yang sejak tadi berjalan menyusuri taman, mencari hal baru atau mencari ruang saja. Sudah hampir separuh jalan besar di sekitar kediamannya, telah ia telusuri.  Nampaknya ia hanya menemukan udara sejuk saja. Sesekali ia menyapa orang-orang yang mengenalnya, karena Anwar merupakan orang yang ramah.

Langkahnya mulai melambat hingga menjadi pelan. Entah lah, mungkin Anwar kelihatan memiliki banyak beban pada hari ini. Hingga ia berhenti pada sebuah kawasan yang nan asri dan hijau. Berumput dan dipenuhi pepohonan. Jika dilihat dari sudut pandang belakang menuju arah pandang depan matanya, Anwar sedang berhenti didepan sebuah sekolahan. Terdapat tiang bendera dengan sebuah bendera berwarna merah dan putih sedang berkibar. Matanya terkesibak melihat tiang tersebut.

Beberapa kelas mengelilingi tiang bendera tersebut, pas sekali dengan siuran angin yang membuat bendera terus berkibar layaknya siraman ombak. Bisa diumpamakan seperti raja diatas rakyat-rakyatnya yang terpukau akan kekuasaannya.

Pandangan Anwar meniti dengan seksama. Dahinya mengkerut, pandangannya semakin tajam. Ada sebuah hal yang janggal! Langkahnya mulai mendekati tiang bendera sekolah tersebut dengan cepat. Ia yakin sekali, hal itu ada dan harus ia perbaiki. Ketika ia sudah berada di dalam sekolahan tersebut, ia baru menyadari bahwa tempat itu tidak sepi dan banyak kendaraan terparkir di sana.

Anwar hormat kepada sang sakala merah putih, bola matanya sedikit terpejam karena sinar matahari menyilaukannya. Itu dia! Anwar telah menyadari bahwa kain bendera tersebut mulai memudar, sehingga kusam warnanya. Keteguhan dan rasa tulus telah mengalir dalam pikirannya sejak saat itu, ibunya telah berpesan sebuah hal yang teramat ia ingat. Anwar menarik tali tiang bendera tersebut, dan menurunkannya. Tangannya melepaskan ikatan kain tersebut pada tali tiang bendera. Dan masalah lain juga datang pada warna merah bendera yang pudar.

Setelah melepaskan bendera tersebut, Anwar bergegas mengelilingi sekitar. Sepertinya ia mencari sebuah toko. “ Mungkin Toko itu ada di sekitar sini,” ucapnya dengan pelan sambil berjalan menelusuri sekitar. Beberapa menit kemudian, Anwar berhenti pada sebuah toko. Anwar menemukan sebuah toko yang ia cari, toko peralatan alat tulis. Tangannya seperti hendak mencari sesuatu di bawah kantong celana “Untung saja aku membawa uang” gumamnya. Ia lantas masuk kedalam toko alat tulis tersebut. Seorang pria berkaca mata, dengan usianya yang terlihat sudah menginjak 50 tahun menyapanya dan bertanya, “Selamat datang nak, hendak mencari apa? Boleh bapak bantu?” Anwar menjawab, “Saya mencari sebuah bendera merah putih, apakah ada?” ucapnya. Bapak tersebut hanya mengangguk dan berjalan menuju beberapa rak kaca di belakang.

Tak lama kemudian, sebuah bendera merah putih dengan warna yang belum pudar dibawa bapak tersebut. Anwar pun kembali menuju tiang bendera sekolah tersebut. Layaknya seperti petugas upacara, Anwar memasang kembali bendera dengan serius dan khidmat. Ia pun memberikan sebuah hormat, hormat yang sangat berbeda dengan sebuah hormat lainnya. 

Indonesia, tanah airku, tumpah darahku. Di sanalah, aku berdiri. Jadi pandu ibuku. Indonesia kebangsaanku. Bangsa dan tanah airku. Marilah kita berseru, Indonesia bersatu. Hiduplah tanahku, hiduplah negriku. Bangsaku, rakyatku, semuanya. Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya. Untuk Indonesia raya. Indonesia raya, merdeka-merdeka. Tanahku, negriku yang kucinta. Indonesia raya, merdeka-merdeka. Hiduplah indonesia raya.”

“Hei! kamu yang dibangku dibelakang, bangun!” suara keras Bu Ina terdengar dari telingaku. Aku pun mengangkat kepalaku. Berusaha mengingat apa yang sebenarnya telah terjadi. Tanpa kusadari, aku telah tertidur di bangku.

“Aku tertidur? Sudah berapa lama Tom?” tanyaku kepada rekan sebelahku, Tom.

“Sudah cukup lama, 20 menit,” jawabnya.

Rasa ngantuk ini masih terasa hingga membuat mataku terpejam kembali. Hingga sebuah benda menabrak ke arah kepalaku dengan keras. Benda itu ternyata penghapus papan tulis. Aku baru tersadar penuh. Semua rekan-rekanku tertawa akan kejadian ini.

“Anwar minta maaf Bu,” gumamku dengan pelan.

“Jangan diulangi lagi.”

*******************

Lautan darah pun tercipta dalam sekejap mata. Suara sorakan yang saling bersahut-sahutan, terdengar menggelora ke berbagai arah bagaikan auman singa. Sekejap berubah menjadi tangisan haru menyelimuti karena tak menemukan sekelompok bagian dari mereka. Mereka yang bertahan, hanya bisa tersenyum takjub atas apa yang sudah mereka lakukan dan ukir! Keinginan ini ada semenjak bertahun-tahun lalu. Akhirnya bisa terwujud dan terlaksana dengan jelas oleh sejarah. Mereka sudah mengukirnya di dalam sejarah, di atas bangsa-bangsa. Karena apapun dan seindah itu, semua didapatkan dengan berkerja keras serta akal yang menggebu-gebu kobarannya. Semua itu menjadi bukti bahwa Indonesia bisa bangkit dari keterpurukan. Sudah terbentuk dengan sendirinya, yang hanya dilakukan oleh generasi mendatang. Semata-mata hanya untuk mempertahankannya. Mendapatkannya mudah, namun sulit sekali untuk mempertahankannya. Pastinya semua mengarah untuk mencari jawaban bagaimana cara untuk mempertahankannya? Banyak sekali jawaban atas cara untuk mempertahankan hal tersebut. Dimulai dari bagaimana kita menghargai jasa semua para pahlawan yang telah gugur mendahului mereka, dan dengan menjaga martabat bangsa. Semua itu tumbuh dari para individu masing-masing. Hanya saja, bagaimana cara kita untuk melaksankannya agar tidak salah. Karena terkadang kita pun masih belum benar dalam melaksanakannya.

Oleh: ‘wp.PadhangBulan’ sebuah nama pena, seorang siswa yang sedang duduk di bangku sekolah kelas X SMA A. Wahid Hasyim Tebuireng.