Ilustrasi seseorang yang sedang berbicara di depan publik (sumber: esqnews)

Di era modern yang serba kompetitif, kemampuan berbicara di depan umum atau public speaking seringkali dianggap sebagai kunci sukses di dunia profesional. Mulai dari presentasi di ruang rapat, pidato kelulusan, hingga menjadi kreator konten di platform digital, kemampuan untuk menyampaikan gagasan secara jelas, lugas dan persuasif telah menjadi sebuah aset yang tak ternilai. Namun, jauh sebelum public speaking menjadi tren di dunia korporat dan pengembangan diri. Islam telah meletakkan fondasi yang kokoh mengenai pentingnya seni berbicara.

Bagi seorang muslim, kemampuan ini bukanlah sekadar keahlian duniawi. Melainkan sebuah instrumen vital untuk menjalankan misi paling mulia, yakni dakwah dan syiar Islam. Kemampuan berbicara yang baik adalah senjata utama untuk amar ma’ruf nahi munkar, mentransfer ilmu dan membela kebenaran.

Baca Juga: Memahami Cara Dakwah yang Bijak

Salah satu bukti paling kuat tentang urgensi public speaking dalam risalah kenabian terabadikan dalam doa monumental Nabi Musa AS. Ketika menerima perintah dari Allah SWT untuk menghadapi penguasa, Fir’aun, Nabi Musa tidak langsung meminta mukjizat fisik yang dahsyat. Hal pertama yang beliau mohonkan adalah seperangkat alat komunikasi yang efektif. Doa ini termaktub dalam al Quran Surah Taha ayat 25-28:

 قَالَرَبِّاشْرَحْلِيْصَدْرِيْۙوَيَسِّرْلِيْٓاَمْرِيْۙوَاحْلُلْعُقْدَةًمِّنْلِّسَانِيْۙيَفْقَهُوْاقَوْلِيْۖ

“Dia (Musa) berkata, ‘Ya Tuhanku, lapangkanlah dadaku dan mudahkanlah untukku urusanku,dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, agar mereka mengerti perkataanku’.”

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Doa ini adalah cetak biru atau blueprint spiritual bagi setiap Muslim yang ingin berbicara di depan umum. Jika dibedah permohonan agung ini:

  1. “Lapangkanlah dadaku”, adalah permohonan untuk kesiapan mental dan emosional. Seorang pembicara membutuhkan ketenangan, kepercayaan diri, dan hati yang lapang untuk menghadapi audiens dan segala kemungkinan respon mereka.
  2. “Mudahkanlah urusanku”, merupakan sebuah pengakuan bahwa kelancaran berbicara dan keberhasilan misi adalah murni pertolongan Allah.
  3. “Lepaskanlah kekakuan dari lidahku”, adalah permohonan untuk kemampuan teknis. Yakni kefasihan, artikulasi yang jelas dan hilangnya segala penghambat fisik dalam berbicara.
  4. “Agar mereka mengerti pengakuanku”, inilah tujuan akhir dari public speaking yang efektif. Bukan sekadar didengar tetapi dipahami. Bukan untuk pamer kefasihan, tetapi agar pesan dakwah tersampaikan dan diterima oleh akal serta hati.

Bahkan dalam surat al Qasas ayat 34, Nabi Musa AS mengakui kelebihan saudaranya, Nabi Harun AS, sebagai alasan untuk menjadikan mitra dakwah: “Dan saudaraku Harun, dia lebih fasih lidahnya daripadaku, maka utuslah dia bersamaku sebagai pembantuku untuk membenarkan (perkataan)ku…”

Baca Juga: Mengkaji Ulang Dakwah Para Influencer di Media Sosial: Anugerah atau Petaka?

Al Quran tidak hanya memberikan contoh melalui kisah para nabi, tetapi juga menerapkan metodologi dalam berkomunikasi, perintah paling komprehensif terdapat dalam Surat an Nahl ayat 125:

اُدْعُاِلٰىسَبِيْلِرَبِّكَبِالْحِكْمَةِوَالْمَوْعِظَةِالْحَسَنَةِوَجَادِلْهُمْبِالَّتِيْهِيَاَحْسَنُۗ

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka cara yang terbaik.”

Ayat tersebut memberikan tiga tingkatan komunikasi dakwah:

  1. Bil-Hikmah (Dengan Hikmah): Berbicara dengan bijaksana, menggunakan dalil yang kokoh, memahami kondisi psikologis dan latar belakang audiens. Ini adalah level tertinggi yang menuntut ilmu dan kearifan.
  2. Wal-Mau’izhatil Hasanah (Dengan Pengajaran yang Baik): Menggunakan nasihat yang menyentuh hati, penuh empati, dan membangkitkan kesadaran spiritual.
  3. Wa Jādihum Billatī Hiya Ahsan (Dengan Debat yang Terbaik): Ketika harus berdialog atau berdebat, lakukan dengan cara yang paling baik, penuh adab, fokus pada argumen, bukan menyerang pribadi.

Rasulullah SAW sebagai teladan utama, adalah pribadi yang paling fasih dan memiliki kemampuan meringkas kalimat namun bermakna padat. Beliau sangat memahami bahwa cara menyampaikan sama pentingnya dengan isi pesan. Dalam sebuah hadis riwayat Bukhari, beliau bersabda:

إِنَّمِنَالْبَيَانِلَسِحْرًا

“Sesungguhnya sebagian dari penjelasan (bayan) yang gamblang itu benar-benar laksana sihir” (HR. Bukhari)

Hadis ini menunjukan pengakuan Nabi akan kekuatan dahsyat dari kefasihan berbicara. Kata “sihir” di sini bermakna kemampuan untuk memukau, menawan hati, dan meyakinkan pendengar. Tentu sihir ini harus digunakan untuk kebaikan, untuk mengarahkan hari manusia kepada kebenaran, bukan untuk menipu atau memanipulasi.

Baca Juga: Dakwah adalah Misi Utama Para Nabi dan Rasul

Umat membutuhkan lebih banyak juru bicara yang tidak hanya menguasai ilmu agama, tetapi juga mampu mengemasnya dalam bahasa yang menarik, logis dan mudah dipahami oleh generasi milenial dan Z. Menguasai public speaking bagi seorang santri atau aktivis dakwah hari ini adalah bagian dari mempersiapkan diri untuk menjadi duta Islam yang andal.



Penulis: Anik Wulansari M.Med.Kom