
Sebut saja kang Mijo, santri baru yang berasal dari Jawa Tengah. Dia merupakan santri yang rajin soal shalat jamaah. Sampai sampai ketika datangnya waktu shalat, ia menaruh sejadahnya di shaf depan agar tidak di tempati orang lain. Karena ia tahu betapa besarnya keutamaan shalat berada di shaf depan. Sehingga terkadang, tatkala shalat akan dilaksanakan ia belum menempati tempatnya. Walhasil sampai pertengahan shalat ia belum juga nampak dan meninggalkan kekosongan pada shaf tersebut. Bahkan pernah suatu ketika ia menerobos shaf menuju tempat di mana dia meletakan sajadah dengan cara melangkahi orang yang shalat. Bagaimana hukum mem-booking tempat shalat yang berdampak seperti ini?.
Perkara ini dilatarbelakangi oleh kebiasaan masyarakat dulu yang suka mem-booking tempat shalat di Raudhah Al-Syarifah. Banyak dari masyarakat yang menempatkan sajadah mereka di belakang imam sejak matahari terbit. Namun baru datang ketika khutbah Jumat sudah dilangsungkan. Alhasil, terjadi kekosongan shaf saat jamaah mulai penuh.
Dalam perkara memakai sajadah untuk shalat, kita tahu di zaman nabi belum ada penggunaan alas sajadah seperti itu. Disebutkan dalam hadis dalam shahih al-Bukhari:
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، عَنْ خَالِدٍ، قَالَ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ الشَّيْبَانِيُّ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ شَدَّادٍ، عَنْ مَيْمُونَةَ، قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يُصَلِّي وَأَنَا حِذَاءَهُ وَأَنَا حَائِضٌ وَرُبَّمَا أَصَابَنِي ثَوْبُهُ إِذَا سَجَدَ. قَالَتْ وَكَانَ يُصَلِّي عَلَى الْخُمْرَةِ.
فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَصْحَابَهُ كَانُوا يُصَلُّونَ عَلَى الْأَرْضِ، وَالْخُمْرَةُ الَّتِي كَانَ يُصَلِّي عَلَيْهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَغِيرَةٌ ، لَيْسَتْ بِقَدْرِ السَّجَّادَةِ[1]
Shalat yang dilaksanakan di zaman nabi langsung di atas tanah tanpa sajadah seperti di zaman sekarang. Rasul pun hanya punya sajadah kecil (khumroh), jauh dibanding seukuran sajadah pada sekarang ini.
Memang rata-rata literatur klasik menukil pendapat yang disampaikan Imam Ramli. Mulai dari kitab Hasyiah al-Bujaromi ala al-Minhaj, I’anatu al-Thalibin. Membooking tempat shalat yang tidak disertai faedah seperti contoh kasus di atas adalah haram menurut qoul mu’tamad yang disampaikan beliau.
بَلْ قَدْ يُقَالُ بِتَحْرِيمِهِ لِمَا فِيهِ مِنْ تَحْجِيرِ الْمَسْجِدِ مِنْ غَيْرِ فَائِدَةٍ كَمَا فِي شَرْحِ م ر… وَقَوْلُ م ر بَلْ قَدْ يُقَالُ بِتَحْرِيمِهِ أَيْ تَحْرِيمِ الْفَرْشِ فِي الرَّوْضَةِ قَالَ ع ش عَلَيْهِ هَذَا هُوَ الْمُعْتَمَدُ[2]
Dan hal seperti ini tidak terkhusus di Masjid Raudhoh saja, melainkan untuk semua masjid, lihat keterangan berikut.
قَوْلُهُ بِالرَّوْضَةِ الشَّرِيفَةِ لَيْسَتْ قَيْدًا فِي الْحُكْمِ كَمَا هُوَ ظَاهِرٌ بَلْ سَائِرُ الْمَسَاجِدِ حُكْمُهَا كَذَلِكَ بِدَلِيلِ قَوْلِهِ بَعْدُ لِمَا فِيهِ مِنْ تَحْجِيرِ الْمَسْجِدِ مِنْ غَيْرِ فَائِدَةٍ وَإِنَّمَا خصَّ الرَّوْضَةَ الشَّرِيفَةَ ؛ لِأَنَّهَا هِيَ الْوَاقِعُ فِيهَا ذَلِكَ ا هـ .[3]
Jadi menempati shaf awal di belakang imam hanya masalah afdhaliyah (keutamaan). Maka tidak perlu sampai membooking shaf agar mendapat keutamaan, malah keutamaan tersebut akan gugur jika mengakibatkan kosongnya shaf saat pembooking tertinggal shalat seperti kasus di atas.
Wallahua’lam.
[1] الفتاوى الكبرى – (3 / 146)
[2] حاشية البجيرمي على المنهج – (4 / 150)
[3] حاشية جمل
Musohih: Ust. Ahmad Zaini, Perumus: Ust. Syafiq Alfiyan, Ust. Suprihatin, Ust. Ahmad Siddiq Rozaq, Ust. Furqon Amin, Moderator: Muhammad Faiz As’ad, Notulen: Fatih Haikal, Muhammad Nu’man
Disadur dari Bahstul Masail di Madraah Muallimin Hasyim Asy’ari, Tebuireng.