Sumber: google.com

Oleh: Fathur Rohman*

Ada istilah Islam radikal. Ada juga istilah Islam toleran. Akhir-akhir ini, dua istilah tersebut sering mengiang di telinga kita. Islam radikal berdalih menegakkan amar ma’ruf nahi munkar (dalam jalan dakwah yang keras dalam doktrin maupun tindakan) untuk menciptakan Islam rahmatan lil alamin. Islam berkuasa dalam pemerintahan, maka menjadi rahmat bagi semua umat.

Sedangkan Islam toleran berdalih untuk bisa menciptakan Islam rahmatan lil alamin itu, orang Islam harus mengajak orang lain dengan cara yang santun, tidak boleh memakai kekerasan. Karena jika memakai kekerasan akan menciptakan kegaduhan dan pertikaian satu sama lain, sehingga akan terjadi perselisihan dan permusuham. Islam tidak lagi dianggap membawa rahmat bagi semesta alam, tetapi membawa kehancuran akibat permusuhan tersebut.

Dua sudut pandang di atas sejak dulu sampai hari ini belum bisa disatukan, sehingga keduanya memiliki pengikut yang sama-sama besar. Kedua kelompok ini rawan diadu domba dan saling menyalahkan satu sama lain, dengan saling perang dalil satu sama lain. Padahal kedua kelompok ini sama-sama berusaha mewujudkan cita-cita yang sama yaitu menjadikan Islam sebagai rahmat bagi semesta alam, Islam yang mampu menciptakan kemaslahatan, kebaikan, perdamaian, kemakmuran, keadilan, dan sebagainya. Untuk dunia ini, kepada semua orang, baik orang Islam ataupun non-muslim.

Bila kita sampai saat ini masih saling menyalahkan “cara” mewujudkan cita-cita yang sama tersebut, maka kita semua akan terus berselisih dan saling menghalangi diri kita masing-masing untuk menciptakan Islam rahmatan lil alamin tersebut. Tidakkah lebih baik kita sama-sama menjunjung tinggi cita bersama tersebut “Islam menjadi rahmat bagi semua orang” dan saling toleran terhadap “cara” yang ditempuh oleh masing masing kelompok tersebut.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Bukankah dengan banyaknya orang Islam yang berinovasi menciptakan “cara dakwah”, akan lebih cepat kita mewujudkan “menjadikan Islam sebagai rahmat bagi semua orang”.

Bila kita mampu saling memahami keberagaman dalam berijtihad ini, maka kita tidak akan saling menyalahkan satu sama lain tentang cara yang mereka gagas, apakah bernama Indonesia bersyariah, Islam Nusantara, Islam Berkemajuan, Islam Hadhori, Islam Kafah, Islam Toleran, dan lain sebagainya.

Bila kita memahami pengertian rahmatan lil alamin yang berpijak pada ayat:

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

maka kita akan mengerti bahwa yang dimaksud dengan rahmat pada ayat tersebut itu dibedakan menjadi dua, yaitu:

Pertama, rahmat untuk orang Islam atau orang yang beriman adalah mereka mendapatkan rahmat berupa hidayah atau petunjuk sehingga mampu menjalankan perintah Allah dan meninggalkan larangan Allah, serta di akhirat mendapatkan pahala di sisi Allah dan dimasukkan dalam surga Allah.

Kedua, rahmat bagi orang orang yang mengingkari kebenaran Allah (kuffar) akan diberikan rahmat berupa penundaan adzab, siksa, atau hukuman mereka untuk diberikan di akhirat nanti, tidak dihukum lagsung seperti umat nabi-nabi sebelum nabi Muhammad dengan cara dibinasakan langsung dan lain sebagainya.

Melihat maksud dari kalimat “rahmatan lil alamin” pada ayat di atas tidak ditemukan konteks untuk saling mencaci maki satu sama lain, atau bermusuhan, sehingga tidak patut bagi kita untuk bermusuhan, berselisih, dan saling menghina hanya karena perbedaan cara dakwah mencapai tujuan tersebut.

Bukankah untuk mencapai satu tempat yang sama kita bisa menggunakan berbagai macam kendaraan atau alat transportasi yang berbeda beda juga dan kita sama sama bisa sampai pada tujuan yang kita inginkan dengan selamat.

Bila masih ada pola pikir, “Bila caramu salah, bagaimana bisa mendapatkan hasil yang benar”. Maka orang lain pun juga akan berpikir hal yang sama pada diri anda bahwa “cara yang anda lakukan itu salah, maka anda juga tidak akan mendapatkan hasil yang benar”. Bila hal semacam ini terus berlanjut, sampai kapan kita akan mencapai tujuan yang kita cita-citakan. Semoga Allah senantiasa memberikan rahmat kepada kita semua, Aamiin.

Wallahu a’lam bissawab


*Penulis adalah Dosen Universitas Hasyim Asy’ari (Unhasy) Tebuireng Jombang.