Perempuan yang sedang menikmati suasana dan ketenangan.

“Diiling-iling, yo, urip iki selalu berdampingan dengan makhluk Allah yang lain. Hidup jangan sembarangan, selalu berbuat baik dan menjaga diri.”

Kutipan yang diucapkan oleh Kyai Ali menggema di seluruh mushola, menutup pengajian yang baru saja selesai. Setelah itu, seperti biasa, kalimat sakral yang menandakan selesainya pengajian pun keluar dari mulut sang Kyai.

“Waallahu a’lam bishawab.”

Begitu pengajian selesai, seluruh santri bergegas meninggalkan mushola dan kembali ke kamar masing-masing. Namun, di sudut mushola baru, dua orang santri masih duduk, berbincang dengan riang. Tawa mereka sesekali terdengar.

“Heh, kamu sadar gak, semenjak banyak yang kesurupan, Kyai Ali selalu bilang kutipan itu terus, tau?” tanya Diana, teman Nopi.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

“Iya, benar. Sekarang aku paham maksud beliau, ‘berdampingan’ itu seperti hidup dengan alam ghaib, gak sih?” timpal Nopi, sambil tersenyum.

“Benar juga. Emang sih, yang kesurupan kan biasanya orang yang gak tahu sopan santun dan selalu jahil.”

Mereka melanjutkan percakapan, terhanyut dalam serunya diskusi tentang kejadian-kejadian gaib yang sering mereka alami di pondok. Namun, tiba-tiba suara lantang dari speaker pengingat kegiatan Tahfidz Murni memecah suasana.

Nopi dan Diana adalah dua santri yang mengikuti kegiatan Tahfidz Murni (TM). Mereka memilih fokus mengaji tanpa bersekolah formal, dan meski tak seperti santri lainnya, kehidupan mereka di pondok tetap sama. Mereka adalah teman dekat yang sudah bersama sejak menjadi santri baru dan kini menjadi santri senior di Pondok Al Misbahul Munir, Magelang, Jawa Tengah.

Sejak berteman dengan Nopi, Diana sering mendengar tentang hal-hal ghaib. Nopi adalah seorang indigo, yang bahkan sering membantu Kyai Ali untuk menyadarkan santri yang kesurupan.

Kegiatan TM dimulai pukul 08:00 hingga 09:30. Setelah kegiatan selesai, Nopi dan Diana pergi membeli jajanan untuk makan bersama. Karena jarak koperasi dan kamar cukup jauh, mereka harus melewati beberapa lantai.

Sesampainya di koperasi, Nopi tiba-tiba terdiam dan menatap pojok koperasi dengan tatapan intens. Diana yang penasaran langsung menghampiri Nopi.

“Heh, ndelok opo awakmu?” tanya Diana.

“Sek-sék, jajan ae ngkok tak cerita ni,” jawab Nopi, gugup.

Mereka pun bergegas meninggalkan koperasi dan kembali ke kamar untuk menikmati jajanan mereka. Namun, di tengah perjalanan, Nopi tiba-tiba bercerita.

“Yang tadi aku lihat di koperasi itu sosok yang sangat menyeramkan. Posturnya tinggi besar, hitam legam, mata merah menyala, taring panjang, dan kuku hitam.”

Belum selesai Nopi bercerita, tiba-tiba pintu kamar terbuka dengan keras.

Brak!

Keduanya terlonjak kaget dan gemetar. Nopi, yang memang memiliki jiwa pemberani, melangkah maju selangkah, sementara Diana hanya bisa berdiri di belakang. Dengan tenang, Nopi membaca ayat kursi tiga kali, diikuti dengan surat Al-Ikhlas.

Tak lama, Nopi memberi kode pada Diana bahwa sosok itu sudah pergi. Keduanya bisa bernapas lega. Di dalam hati, Diana merasa malam itu benar-benar membuat jantung mereka bekerja lebih keras dari biasanya.

Jam menunjukkan pukul 14:00 WIB. Mereka memutuskan untuk beristirahat sejenak sebelum kegiatan setelah ashar dimulai.

Selama hampir sepuluh tahun di pondok, Nopi dan Diana telah banyak berubah. Dari puasa sunnah, sholat berjamaah, hingga makan bersama dalam satu nampan, semuanya telah menjadi rutinitas yang mereka nantikan setiap hari.

Setelah makan sore, santri akan sibuk dengan beristinja’ sebelum melaksanakan sholat Maghrib dan Isya. Kegiatan ini selalu berjalan dengan khusyu dan khidmat. Namun malam itu, suasana sedikit berbeda. Saat pembacaan wirid, tiba-tiba terdengar teriakan keras yang saling sahut-menyahut dari beberapa sudut mushola. Kejadian itu membuat santri lainnya melongok dengan rasa takut dan penasaran.

Nopi dan Diana yang sudah tahu apa yang terjadi tetap duduk di sajadah sambil berbicara pelan. Tiba-tiba, seorang santri datang memberi tahu bahwa Nopi dipanggil oleh Kyai Ali untuk membantu menenangkan santri yang sedang kesurupan.

Tanpa menunggu lama, Nopi pun bergegas menuju lokasi yang dimaksud, diikuti oleh Diana. Namun, di tengah perjalanan, langkah Nopi tiba-tiba terhenti. Tubuhnya lemas, merasa sangat panas. Nopi merasakan energi negatif yang sangat kuat mengelilinginya.

Tanpa ragu, Nopi langsung membantu Kyai Ali memegang kepala santri yang kesurupan dan mulai membaca ayat kursi serta doa-doa lainnya. Ketika mereka fokus, terdengar suara tawa menggelagar dari santri yang kesurupan itu.

“Haha… Ayat kursi tok isokmu? Mbok pikir aku gak hafal?” ujarnya dengan suara serak.

Kyai Ali dan Nopi tetap membaca ayat kursi dengan lantang, diikuti oleh seluruh santri lainnya. Tanpa diduga, santri yang kesurupan itu pun ikut membaca, sambil tertawa.

“Heh, aku ki luwih hafal teko kalian kabeh, bahkan aku luwih iman teko kalian kabeh. Saiki, iling no neng arek sing tak leboni iki, kon jogo urip e, jogo lambene, lan jogo awak e.”

Tiba-tiba santri tersebut terdiam dan pingsan. Suasana mushola yang sebelumnya ramai, kini menjadi sunyi. Teriakan-teriakan yang menggema pun hilang. Setelah beberapa saat, santri itu mulai sadar kembali.

Malam semakin larut, dan Nopi serta Diana kembali ke kamar untuk istirahat. Saat melewati lorong Blok A, mereka merasakan sesuatu yang aneh. Keduanya merasa bergidik ngeri, jantung berdegup kencang. Mereka saling bertatap, dan Nopi memberi kode untuk melihat sesuatu yang ia lihat.

“Sing eling yo, urip iku ojo sembrono,” bisik Nopi.

Sosok yang mereka lihat itu hilang begitu saja. Namun, ketika mereka hampir sampai di kamar, mereka menyadari sosok itu sedang menunggu di depan kamar mereka. Dengan ketakutan, mereka berlari terbirit-birit, mencoba menghindari sosok yang mengerikan itu.



Penulis: Wan Nurlaila Putri