doc. belzaaff (foto: rarazarary)

Oleh: Rara Zarary*

“Sebagian mimpi terbesarku dihancurkan oleh orang-orang terdekatku.” Kalimat yang tak manis itu berkelindan di telinga, dari orang yang berbeda, waktu yang tak sama, dan kondisi yang jelas tak serupa. Curhatan-curhatan sepele yang kemudian berujung menegangkan atau bahkan mengenaskan itu membuat saya berpikir, bahwa sebenarnya semua orang sejak kecil telah memiliki keinginan, mimpi, atau bahkan yang biasa -lebih dekat- kita sebut sebagai ambisi, meski dalam perjalanan mimpi itu hilang, terkubur, atau sengaja dibungkam dengan alasan-alasan tertentu.  

Benar atau tidak, semua orang punya cerita di masa lalunya. Cerita itu bisa jadi baik atau sangat buruk, dan sampai saat ini pengalaman tersebut menjadi bagian terbesar dalam membentuk dirinya. Sekumpulan peristiwa masa kecil (masa lalu) itu biasa kita sebut dengan inner child. Dilansir dari Psychology Today, inner child tak jauh dari pengalaman masa kecil (baik/buruk) yang sedikit banyak mempengaruhi dan membentuk kepribadian seseorang seperti saat ini. 

Itulah mengapa kita seringkali mendengar, membaca, atau bahkan menghadapi suasana dan kondisi “berdamai dengan diri sendiri, berdamai dengan ambisi”. Rupanya itu bukan sebatas quotes yang berseliweran di laman media sosial, tetapi itu telah menjadi fenomena yang terjadi saat ini, di mana para remaja khususnya, atau bahkan semua orang sedang membutuhkan kedamaian dan penerimaan atas kehidupannya sendiri. Kehidupan yang mungkin sesuai kenyataan atau terburuknya melenceng jauh dari perencanaan. 

Apalah arti pujian orang lain, bila kita belum bisa menerima diri kita sendiri? pujian itu hanya akan menjadi bumerang berprasangka negatif, menuduh seseorang berbohong, atau bahkan semakin insecure. Sebaliknya bagaimana dengan hinaan atau bully dari pihak lain? Boleh jadi akan menjadi cara bunuh diri paling ampuh bagi seseorang yang belum memiliki cinta dan kepercayaan terhadap diri sendiri. 

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Mari kita flashback: ingatkah bahwa di masa kecil kita telah punya mimpi? Ingatkah saat kecil hidup teramat membahagiakan? Ingatkah apa hal paling membahagiakan masa kecil? Sangat sederhana bukan? Sesuatu yang mungkin tidak lagi menjadi sebuah pencapaian yang membahagiakan bila kita dapatkan saat ini, atau kamu yang saat ini membaca tulisan ini sedang menolak keras pertanyaan saya tentang bahagia? Tetapi bagaimanapun, saya yakin anda pernah merasakan bahagia. Meski kenyataan kini, definisi bahagia semakin ke sini memiliki pergeseran makna, atas dasar adopsi definisi bahagia versi orang lain, bukan diri sendiri.

Kita kembali lagi pada persoalan mimpi, harapan, dan ambisi. Meski bukan satu-satunya, tapi paling tidak ketiga hal itu menjadi salah satu alasan untuk kita tetap hidup bahagia, landasan kita percaya bahwa hidup mesti dilanjutkan sebaik mungkin, dan dilalui senikmat mungkin. Kehilangan mimpi membuat seseorang tak punya tujuan lagi, kehilangan harapan membuat seseorang tak bergairah memperjuangkan, dan kehilangan ambisi hanya akan membuat hidupnya sudah tidak berarti atau bisa kehilangan diri sendiri. Inilah fase kritis yang tak boleh dimiliki pemuda. Sebagai salah satu tonggak terbesar aset negara, kita tidak boleh menenggelamkan diri kita atas ketidakberdayaan, mengasingkan diri dari sebuah perjuangan dan pengorbanan, bahkan menyerahkan diri hanya pada takdir Tuhan –tanpa usaha- memperbaiki nasib yang dinilai begitu memilukan.

Begitu pula (kembali) pada kalimat pembuka di atas. Bagaimana seharusnya kita tetap melanjutkan hidup saat salah satu mimpi dan ambisi kita dipatahkan oleh orang terdekat kita, bahkan orang tua sendiri. Bagaimana caranya? Memang tidak mudah tetapi juga tidak sulit. Mari kita lihat kembali apa mimpi dan ambisi yang dihanguskan itu? Sudahkah kita membangun komunikasi baik pada mereka? Sudahkah kita mencoba menjelaskan mengapa mimpi dan ambisi itu yang kita pilih? Atau jangan-jangan kita menerima begitu saja tanpa mau dan mampu mempertimbangkannya di hadapan orang tua. Atau kita malah berpikir, di mana letak kebebasan seseorang dalam bermimpi jika kenyataannya harus melalui afirmasi orang sekitar? 

Sejatinya, kita adalah manusia yang utuh; yang mandiri, berdikari, berdaya, dan bahagia. Tentu termasuk dalam mengambil keputusan dan memilah serta memilih apa yang pantas, baik atau tidak untuk hidup kita. Hanya saja, lagi-lagi kita dihadapkan pada posisi kita tidak sedang hidup sendirian, ada keluarga (ayah, ibu, saudara) yang mungkin menjadi salah satu media musyawarah dalam beberapa hal. Di sinilah sebenarnya titik penting keberadaan komunikasi itu harus diterapkan. Tanpa komunikasi rasanya ruang-ruang dalam rumah itu layaknya kuburan yang tak pernah diziarahi. Kita akan merasa terasing di rumah sendiri, merasa tak nyaman atau bahkan tak menemukan jalan keluar. 

Dalam tulisan ini, saya ingin mengajak anda membuka mata dan bangkit dari posisi rebahan serta keputusasaan. Mari kita cari jalan keluar bersama-sama, salah satunya dengan cara menjalin komunikasi yang baik dan tepat pada siapapun yang sedang memiliki kaitan dengan hidup kita, bahkan komunikasi terbaik itu juga harus kita lakukan pada diri kita dan Tuhan. Sejauh ini, pernahkah anda mengajak diri sendiri berbicara? Ingin apa? Bagaimana cara mendapatkan atau mencapai sesuatu yang diinginkan? Mengapa kita melakukan hal demikian? Pernahkah kita bertanya hal-hal itu pada diri, dan apakah kita bisa menjawabnya dengan pasti? Atau jangan-jangan kita tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi sama diri sendiri. Inilah definisi “kehilangan diri”. 

Atau lebih jauh lagi, pernahkah kita berkomunikasi dengan Tuhan melalui doa? Atau melibatkan Tuhan dalam segala hal (positif) yang sedang kita lakukan? Atau kita terlalu banyak melupakan keesaan Tuhan dan menyombongkan ke-AKU-an sehingga hidup tiba-tiba seperti badai dan kalang kabut, dan kita kewalahan mengendalikannya. Lantas, kita salahkan keadaan bahkan Tuhan. Mari sejenak tenangkan pikiran, pejamkan mata, tarik nafas dan hembuskan perlahan: pikirkan apa yang sebenarnya terjadi dan apa yang seharusnya kita hadapi, dengan perilaku yang bagaimana kita mesti menghadapi hal-hal yang menjadi persoalan dalam kehidupan kita. Barangkali inilah yang disebut fase dewasa: sebuah kondisi dimana kita dianggap mampu memutuskan yang baik dan buruk, pantas dan tidak pantas: sehingga benar-benar menjadikan kehidupan ini sebagai proses belajar terus menerus. 

Hari ini, apa mimpimu? Apa harapanmu? Apa ambisimu? Katakan pada dirimu, beritahu dirimu, dan belajarlah menghadapi apapun–siapapun yang akan menjadi rintangan, cobaan, dan halangan atas ketiga hal itu, dengan sikap dewasa dan bijaksana. Anda lah yang menciptakan mimpi itu, maka anda pula yang berhak meraihnya, orang lain adalah respons yang bisa jadi anda terima atau tidak; namun jangan sekali-kali melupakan keterlibatan Tuhan dalam setiap perjuangan (baik) itu. Selamat berdamai dengan ambisi dan mari memahami diri sendiri.  

*Alumnus Universitas Sebelas Maret Surakarta.