Oleh KH. Fahmi Amrullah Hadzik*

Jamaah Jumat rahimakumullah.

Marilah kita senantiasa meningkatkan ketakwaan kepada Allah secara haqqa tuqatihi, yakni dengan sebenar-benar takwa! Dan, tidaklah kita sekali-kali meninggalkan dunia ini kecuali dalam keadaan beragama Islam dan husnul khatimah.

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah.

Dalam khotbah Jumat kali ini, saya mengajak para jamaah untuk merenungkan kisah Abu Yazid Busthami. Abu Yazid Busthami adalah seorang ulama besar sekaligus seorang sufi yang terkenal pada zamannya. Sejak kecil, dia sudah sangat taat kepada Allah. Hari-harinya dihabiskan untuk bermunajat kepada Allah. Bahkan, sering dalam munajatnya tersebut, Abu Yazid berangan-angan. Dalam berangan-angan, dia membayangkan surga sehingga dalam hatinya berkata, “Inilah tempat Rasulullah Saw. Semoga kelak aku menjadi tetangga beliau di surga.”

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Suatu ketika, Abu Yazid tengah berangan-angan. Tiba-tiba terdengar suara tanpa rupa yang menyeru, “Untuk kau ketahui, wahai Abu Yazid, kelak akan ada seseorang yang menjadi tetanggamu di surga dan orang tersebut  di negeri ini juga.” Mendengar suara yang menyatakan tentang tetangganya di surga dan tinggal di negeri yang sama, Abu Yazid pun penasaran dan ingin tahu siapa calon tetangganya dan amal apa yang dikerjakannya sehingga bisa menjadi tetangga di surga.

Didorong oleh rasa penasaran tersebut, pada suatu hari Abu Yazid pun menempuh perjalanan untuk menemui calon tetangganya di surga itu sebagaimana yang disebutkan oleh suara tanpa rupa tersebut. Setelah berjalan sekian jauh, sampailah Abu Yazid pada sebuah desa yang dimaksud. Bertanyalah Abu Yazid kepada warga setempat tentang orang yang dicarinya itu. Akan tetapi, jawaban warga itu mengejutkan.

Warga tersebut mengatakan bahwa sesungguhnya orang yang dicarinya adalah seorang fasik dan pemabuk. Warga yang ditanya itu berkata, “Orang yang Anda cari itu adalah seorang fasik dan pemabuk. Mengapa Anda hendak menemuinya padahal Anda ini adalah orang saleh?” Mendengar perkataan warga tersebut, Abu Yazid pun menjadi ragu.

Dalam hatinya, Abu Yazid berkata, “Jangan-jangan yang menyeru saya dan menyatakan ada tetangga saya di surga adalah suara setan.” Karena berpikiran seperti itu, dia pun hendak pulang. Akan tetapi, ketika hendak membalikkan badan untuk pulang, hati Abu Yazid berkata, “Bukankah aku jauh-jauh datang ke sini, menempuh perjalanan sedemikian jauh itu hendak bertemu dengan seseorang? Kenapa belum bertemu saja aku sudah ingin pulang?”

Abu Yazid pun melanjutkan tekadnya dan bertanya kepada warga setempat untuk minta ditunjukkan letak rumah orang yang dicarinya itu, calon tetangganya di surga. Setelah ditunjukkan, Abu Yazid pun menuju rumah yang dimaksud. Rumah tersebut agak besar dan di ruangan depan tampaklah sekitar 40 orang sedang bermabuk-mabukan. Mereka sedang berpesta minuman keras dan di tengah-tengah kerumunan pemabuk itu tampak duduk seseorang yang kelihatan agak tua. Orang tersebut sedang memperhatikan ke-40 orang yang sedang mabuk tersebut.

Melihat kenyataan seperti itu, betapa kecewa hati Abu Yazid. Ternyata apa yang dikatakan warga setempat itu benar adanya. Dia bergumam, “Calon tetanggaku kelak di surga adalah orang fasik dan pemabuk.”

Dengan rasa kecewa, Abu Yazid pun membalikkan badan dan bergegas pulang. Akan tetapi, ketika hendak melangkahkan kaki menuju jalan pulang, tiba-tiba tedengar suara memanggilnya. “Hendak ke mana engkau, wahai Abu Yazid? Bukankah engkau datang jauh-jauh ke sini untuk menemuiku, untuk berkenalan dengan calon tetanggamu kelak di surga?” kata orang tersebut kepada Abu Yazid.

Mendengar perkataan orang tersebut, hati Abu Yazid terheran-heran. Dia bertanya-tanya dalam hati, “Dari mana orang ini tahu maksudku?” Belum sempat Abu Yazid bertanya, orang tersebut pun melanjutkan, “Mengapa engkau hendak pulang tanpa memberi salam dan tanpa memberi nasihat kepada kami yang ada di sini? Masuklah, wahai Abu Yazid, dan duduklah sebentar saja!”

Masuklah Abu Yazid di tengah-tengah ruang tersebut. Abu Yazid bertanya, “Tolong jelaskan, apa maksud semua ini?” Orang itu menerangkan, “Wahai Abu Yazid, untuk masuk surga, kita tidak boleh egois. Untuk masuk surga, kita hendaknya tidak menang sendiri. Ingat, Islam itu berarti selamat, tetapi kita juga harus menyelamatkan orang lain! Ketahuilah, wahai Abu Yazid, dulu ada 80 orang yang menjadi pemabuk seperti ini selama bertahun-tahun. Aku berusaha menyadarkan mereka, mengembalikan mereka ke jalan Allah. Alhamdulillah, 40 orang sudah berhasil kusadarkan sehingga kini mereka menjadi orang-orang yang saleh. Sekarang tinggal 40 orang lagi, inilah giliranmu! Ini adalah tugasmu, wahai Aba Yazid. Binalah mereka dan jadikanlah mereka tetanggamu kelak di surga!”

Mendengar keterangan orang tersebut, sadarlah Abu Yazid bahwa orang itu lebih mulia daripada dirinya. Orang itu juga ahli ibadah tetapi juga masih sempat memikirkan orang lain. Orang itu bukan hanya saleh secara individual, tetapi juga saleh secara sosial.

Hadirin jamaah Jumat rahimakumullah.

Dalam Islam, kita tidak boleh meremehkan seseorang hanya dari penampilannya saja. Hal itu dikarenakan bahwa sesungguhnya Allah itu tidak memperhatikan penampilan yang tampak, sebagaimana sabda Rasulullah Saw berikut :

إِنَّ اللهَ لا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ.

Artinya :

Sesungguhnya Allah itu tidak melihat penampilan kalian dan harta kalian, tetapi Allah itu melihat hati kalian dan amalkalian. (muttafaq ‘alaih).

Dari hadis di atas jelas bahwa yang dilihat oleh Allah dalam diri manusia adalah hati dan amal. Ada seseorang yang dikenal oleh orang lain itu sebagai orang yang tidak baik. Ternyata, hatinya justru sangat baik dan gemar beramal saleh. Hal itu sebagaimana orang yang ditemui oleh Abu Yazid dalam kisah tadi. Masyarakat setempat menganggapnya bahwa orang tersebut adalah fasik dan pemabuk, ternyata anggapan masyarakat itu salah kaprah. Justru orang tersebut adalah orang saleh yang mempunyai misi untuk menyadarkan orang-orang pemabuk agar kembali ke jalan yang benar.

Ternyata, calon tetangga Abu Yazid di surga kelak itu adalah seorang yang berguna dan bermanfaat bagi orang lain. Selayaknya ajaran Islam bahwa sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain. Perlu ditekankan juga bahwa Islam sesungguhnya adalah agama yang rahmatan lil ‘alamin, rahmat bagi semua orang sehingga orang-orang yang masuk Islam itu bukan hanya dari kalangan tertentu, tetapi semua kalangan yang cakupannya seluruh alam.

Barangkali, jika kita berdakwah di hadapan masyarakat yang sudah baik dan tidak bejat, itu adalah sesuatu yang biasa saja. Akan tetapi, jika kita berdakwah di kalangan orang-orang yang berdosa, para penjudi, para pemabuk, para pelacur, dan orang-orang bejat lainnya, sehingga kita mampu mengajak mereka ke jalan yang benar, itu baru luar biasa.

Janganlah kita menghina orang-orang yang berdosa itu. Tidak seharusnya kita menghina orang-orang berdosa, tetapi sudah semestinya kita berdakwah dan menyadarkan mereka agar bertobat. Sungguh, jika kita mengolok-olok orang-orang berdosa itu, mereka justru semakin sesat dan menjauhi dakwah kita. Allah berfirman dalam QS. Al-Hujurat ayat 11 :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ.

Artinya :

Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.

Sesungguhnya dakwah di dalam Islam itu dianjurkan kepada siapa saja. Barangkali Almarhum Gus Dur adalah salah satu contoh pendakwah yang luar biasa. Beliau bukan hanya berdakwah di kalangan umat Islam. Kalau Gus Dur ngaji di hadapan ibu-ibu Muslimat itu biasa, ngaji di hadapan pengurus NU juga biasa karena beliau mantan ketua umum PBNU, tetapi beliau itu bisa berdakwah di kalangan orang-orang Yahudi, di kalangan pastur, dan orang-orang dari berbagai golongan. Itulah yang luar biasa.

Wajar saja ketika Gus Dur masih hidup, hidup beliau bermanfaat bagi orang lain. Bahkan ketika beliau wafat pun masih bisa menjadi manfaat bagi orang lain. Penghormatan terhadap beliau sungguh luar biasa. Belum pernah ada kiai selain Gus Dur yang ketika wafat didoakan oleh para pendeta, biksu, bahkan para pemuka agama-agama lainnya. Ini adalah sesuatu yang sangat luar biasa.

Hadirin jamaah Jumat rahimakumullah.

Karena itu, marilah kita menyadari secara bersama bahwa sesunguhnya kewajiban kita itu adalah untuk bedakwah, mengajak orang lain kepada kebaikan. Dengan demikian, semoga kita dijadikan sebagai umat Islam yang bisa membawa Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Marilah kita berdakwah semampu kita!

*Pengasuh Pondok Putri Tebuireng