
Berbicara mengenai politik, belakangan ini kita sering melihat pelbagai macam bendera di sepanjang ruas jalan raya. Mulai dari warna putih, merah, biru, hijau dan masih banyak lagi. Ya, namanya saja juga tahun politik, dan pemenang dari kontes politik ini akan ditentukan pada 14 Februari 2024 mendatang.
Untuk memenangkan kontes tersebut, para kandidat yang diusung dan didukung oleh masing-masing partai saling berlomba untuk menarik hati masyarakat Indonesia. Memasang spanduk, baliho, membagikan sembako menjadi bentuk kampanye yang mereka lakukan.
Dari sekian banyak jenis kampanye, salah satu tindakan yang sangat meresahkan warga adalah money politik atau lebih akrab disebut dengan politik uang. Mengapa hal ini bisa meresahkan warga? Karena, mayoritas warga Indonesia beragama Islam dan mereka mempertanyakan bagaimana hukum menerima dan bagaimana status uang tersebut.
Hukum Money Politik
Money politik adalah pemberian atau penyuapan kepada seseorang dengan tujuan agar tidak menggunakan hak memilih, atau menggunakan hak namun harus sesuai dengan penyuap. Hal ini sering terjadi di sekeliling kita, terlebih jika dekat dengan waktu pemilihan.
Di negara Indonesia, tindakan money politik ini termasuk dalam pelanggaran kampanye. Peraturannya tertulis dalam UU nomor 7 tahun 2017 pasal 523 yang berisi sebagai berikut:
“Setiap pelaksana, peserta, dan/ atau tim kampanye pemilu yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye pemilu secara langsung ataupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dlm pasal 280 ayat (1) huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp.24.000.000 (dua puluh empat juta rupiah)”
Jika hal ini sudah menjadi pelanggaran dalam negara, bagaimana jika dilihat dari sudut pandangan Islam?
Dalam kitab Ashnal Mathalib juz 4 halaman 300, Imam Zakariya Al-Anshari menjelaskan mengenai permasalahan suap menyuap:
(فَصْلٌ تَحْرُمُ عَلَيْهِ الرِّشْوَةُ) أَيْ قَبُولُهَا، وَهِيَ مَا يُبْذَلُ لَهُ لِيَحْكُمَ بِغَيْرِ الْحَقِّ أَوْ لِيَمْتَنِعَ مِنْ الْحُكْمِ بِالْحَقِّ وَذَلِكَ لِخَبَرِ «لَعَنَ اللَّهُ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ فِي الْحُكْمِ»
Artinya: “Bab yang menjelaskan tentang keharaman menerima suap. Suap adalah penyerahan harta dengan tujuan menuntut keputusan hukum yang tidak benar atau pelarangan untuk memberikan putusan hukum yang benar. Hal ini berlandaskan dari hadis Nabi yang berbunyi: Allah melaknat orang yang menyuap dan disuap dalam permasalahan hukum.”
Dari keterangan di atas, Imam Ramli Al-Kabir memberikan keterangan tambahan dalam kitabnya yang bernama Hasyiyah Ar-Ramli Al-Kabir.
(قَوْلُهُ تَحْرُمُ الرِّشْوَةُ) قَالَ الْغَزَالِيُّ فِي الْإِحْيَاءِ الْمَالُ إنْ بُذِلَ لِغَرَضٍ آجِلٍ فَصَدَقَةٌ أَوْ عَاجِلٍ، وَهُوَ مَالٌ فَهِبَةٌ بِشَرْطِ الثَّوَابِ أَوْ عَلَى مُحَرَّمٍ أَوْ وَاجِبٍ مُتَعَيِّنٍ فَرِشْوَةٌ أَوْ مُبَاحٍ فَإِجَارَةٌ أَوْ جَعَالَةٌ أَوْ تَوَدُّدٍ مُجَرَّدٍ أَوْ تَوَسُّلٍ بِجَاهِهِ إلَى أَغْرَاضِهِ فَهَدِيَّةٌ إنْ كَانَ جَاهُهُ بِالْعِلْمِ أَوْ النَّسَبِ، وَإِنْ كَانَ بِالْقَضَاءِ أَوْ الْعَمَلِ فَرِشْوَةٌ
Artinya: “Haram melakukan suap. Imam Al-Ghazali menerangkan dalam kitab Ihya Ulumiddin macam-macam status pemberian harta. Ketika harta diserahkan dengan tujuan akhirat, maka disebut dengan sedekah. Jika dengan tujuan saat ini, yaitu untuk mendapatkan harta pula, maka disebut dengan hibah bi tsawab yang lebih dikenal dengan jual beli. Jika dengan tujuan haram atau kewajiban tertentu maka berupa suap. Jika murni untuk menyambung silaturahmi atau mencapai suatu tujuan dengan pangkatnya maka disebut hadiah ketika pangkatnya ini disebabkan ilmu dan nasab. Dan jika bertujuan untuk putusan hukum atau sebuah tindakan maka disebut suap.”
Dari sini, kita bisa mengambil kesipulan bahwa money politik termasuk tindakan yang haram dilakukan. Karena tindakan suap tidak terkhusus pada keputusan hukum saja, tetapi cakupannya lebih luas seperti mewajibkan pemilih untuk memilih sesuai dengan keinginan penyuap.
Hukum Menerima Suapan
Setelah mengetahui hukum suap, bagaimana hukum menerima uang atau barang yang diberikan?
Dalam kitab Al-Hawi Al-Kabir cetakan Darul Kutub Al-Ilmyah juz 16 halaman 283, Imam Mawardi menjelaskan bahwa orang yang menerima suapan harus mengembalikan uang tersebut.
وَإِنْ كَانَتْ لِبَاطِلٍ يُعَانُ عَلَيْهِ يَحْرُمُ عَلَيْهِ بَذْلُهَا كَمَا حَرُمَ عَلَى الْمَبْذُولِ لَهُ أَخْذُهَا، وَوَجَبَ رَدُّ الرِّشْوَةِ عَلَى بَاذِلِهَا وَلَمْ يَجُزْ أَنْ تُوضَعَ فِي بَيْتِ الْمَالِ
Artinya: “Ketika penyupana itu ditujukan untuk mewujudkan perkara haram, maka haram menyerahkannya, seperti halnya haram bagi penerima untuk mengambil. Dan wajib bagi orang yang disuap untuk mengembalikannya dan tidak boleh diserahkan ke Baitul Mal.”
Melanggar Janji Money Politik Bukanlah Orang Munafik!
Jika kita lanjutkan permasalahnnya, apakah orang yang menerima uang tersebut ketika memilih tidak sesuai kesepakaan saat penyuapan dianggap orang munafik?
Sebelum menjawabnya, mari kita pahami kapan seseorang bisa dianggap munafik. Dalam hal ini Rasulullah Saw berkata,
آيَةُ المُنَافِقِ ثَلَاثٌ: إِذَا حَدثَ كَذبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا ائْتُمِنَ خَانَ
Artinya: “Tiga tanda orang munafik adalah jika berkata dia berdusta, jika berjanji dia mengingkari dan jika dipercaya dia berkhianat.”
Mari kita perhatikan tanda yang kedua “jika berjanji dia mengingkari”. Apakah orang yang disuap termasuk dalam kategori mengingkari janji jika tidak memilih sesuai dengan kesepakatan?
Dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Quwaitiyah, terdapat pembahasan mengenai janji.
الْوَعْدُ إِمَّا أَنْ يَكُونَ بِشَيْءٍ مَنْهِيٍّ عَنْهُ أَوْ بِشَيْءٍ وَاجِبٍ أَوْ بِشَيْءٍ مُبَاحٍ أَوْ مَنْدُوبٍ. أَمَّا الْوَعْدُ بِشَيْءٍ مَنْهِيٍّ عَنْهُ فَلَا خِلَافَ بَيْنَ الْفُقَهَاءِ فِي أَنَّهُ لَا يَجُوزُ لَهُ إِنْجَازُ وَعْدِهِ، بَل يَجِبُ عَلَيْهِ إِخْلَافُهُ شَرْعًا
Artinya: “Janji adakalanya berisi hal yang terlarang, wajib, mubah atau sunah. Adapun janji untuk melakukan perkara haram, maka para ulama ahli fiqih sepakat bahwa janji tersebut tidak boleh ditunaikan, bahkan wajib diingkari secara syari’at”
Dari penjelasan di atas, orang yang menginkari janji suap bukan termasuk orang yang munafik. Karena janji tersebut haram dipenuhi. Mesiki demikan, kita tetap tidak boleh untuk menerima suapan tersebut. Karena menerima suap hukumnya haram. Sekian yang bisa saya sampaikan, kurang lebihnya mohon maaf, terima kasih.
Mohammad Naufal Najib Syi’bul Huda, Mahasantri Ma’had Aly An-Nur II “Al-Murtadlo” Malang.