
Aib atau kesalahan pasti dimiliki setiap orang dimuka bumi ini, karena mereka tidak akan lepas dari kesalahan dan tidak punya sifat ma’sum yang terjaga dari perbuatan dosa. Dalam konteks Islam kita dilarang untuk mengumbar aib diri sendiri apalagi mengumbar aib orang lain. Dalam sebuah hadis disebutkan;
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ»
Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami, Abu Mu’awiyah telah menceritakan kepada kami dari Al ‘A’masy dari Abu Shalih dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah ﷺ bersabda, “Barang Siapa menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutupi aib orang tersebut di dunia dan akhirat.” HR Imam Ibnu Majah No. 2544.[1]
Dalam syarah hadis diatas dimaksudkan ialah menutupi kesalahan orang muslin lain dengan tidak menyebarkannya atau bisa juga memiliki arti memberinya pakaian agar bisa menutupi dari ketelanjangan.[2]
Hadis diatas seakan-masih sangat umum yang menjelaskan bahwa siapa yang menutup aib saudaranya yang muslim maka akan dapat balasan seperti yang dijelaskan diatas. Namun, penjelasan untuk aib orang muslim yang seperti apa yang harus ditutupi. Penjelasan singkat ada pada lanjutan syarah hadis tadi yakni Muhammad Adam al-Ityubi mengatakan bahwa;
وأما المعروف به، أو المتلبّس بالمعصية، فيجب إنكارها عليه، ورفع أمره إلى ولاة الأمور إن لم يقدر على منعه، ولم يترتّب عليه مفسدة، وأما جرح الرواة والشهود، وأمناء الصدقات، فواجب
Sedangkan bagi mereka yang dikenal berbuat dosa atau terlibat dalam kemaksiatan, harus ada penolakan terhadap perbuatannya dan melaporkan kepada pihak berwenang jika tidak bisa dicegah, tanpa menimbulkan mudarat. Adapun mencela perawi, saksi, dan pengelola zakat adalah wajib.[3]
Baca Juga: Cara Cerdas Agar Aib Diri Sendiri Aman
Biasanya proses tersebarnya aib seseorang melalui proses yang dinamakan Ghibah. Perbuatan ini dilarang dalam agama Islam. Namun, ada kondisi tertentu yang menyebabkan diperbolehkannya ghibah. Imam Nawawi menjelaskan beberapa kondisi yang memperbolehkan ghibah;
- Didzalimi
Diperbolehkan bagi orang yang didzalimi untuk mengadukannya kepada pihak berwajib.
- Meminta pertolongan
Diperbolehkan untuk Istighatsah (meminta pertolongan) untuk mengubah kemungkaran dan menolak kemaksiatan.
- Meminta fatwa
Diperbolehkan bagi orang yang di dzalimi untuk mengadu kepada mufti bahwa ia sedang di dzalimi agar si mufti memberikan solusi. Namun, sebaiknya si penggugat dalam konteks ia sebagai keluarga tergugat entah dari ayah, istri, atau anak.
- Peringatan bagi Para Muslim dari Keburukan
Ini dapat dilakukan dari beberapa sudut, antara lain mencela orang yang dianggap buruk dari kalangan perawi, saksi, dan penulis. Ini dibolehkan menurut Ijma’, bahkan menjadi kewajiban untuk melindungi syariat.
- Menyebut dosa orang yang terang-terangan melakukan dosa
Apabila ada orang yang melakukan dosa secara terang-terangan seperti minum khamar, bid’ah, merampas hak orang lain, memungut pajak secara ngawur.
- Penggunaan gelar
Jika seseorang dikenal dengan gelar tertentu, seperti Al-A’mash (yang buta), Al-A’raj (yang pincang), Al-Azraq (yang biru), Al-Qasir (yang pendek), Al-A’ma (yang buta), Al-Aqta’ (yang terputus), dan sejenisnya, maka diperbolehkan untuk menyebutnya dengan gelar tersebut. Namun, haram untuk menyebutnya dengan gelar itu dengan tujuan merendahkan, meskipun jika ada cara lain untuk mengenalinya, maka itu lebih baik.[4]
Baca Juga: Doa agar Tidak Menggunjing Aib Guru
Memang sejatinya menyebarkan aib saudara kita sesama muslim tidak baik secara agama. Namun, ada kondisi tertentu yang diperbolehkan untuk menyebut kekurangan orang lain. Bahkan hal tersebut bisa jadi wajib menurut syariat dikarenakan bisa menjadi penjaga syariat itu sebdiri misalnya rowi hadis yang tidak kredibel bisa dilabeli tidak layak meriwayatkan hadis dikarenakan ia tergolong orang yang fasik.
Penulis: Nur Dian Syah Fikri, Santri Tebuireng.
[1] Ibnu Majah al-Qazwini, Sunan Ibnu Majah, (Dar Ihya al-Kutub al-Arobiyah), 2/850.
[2] Muhammad Adam al-Ityubi, Mashariq al-Anwar al-Wahhaja wa Mataali’ al-Asrar al-Bahaja fi Sharh Sunan al-Imam Ibn Majah, (Riyadh, Dar al-Mughni, 2006), 4/340.
[3] Muhammad Adam al-Ityubi, Mashariq al-Anwar al-Wahhaja wa Mataali’ al-Asrar al-Bahaja fi Sharh Sunan al-Imam Ibn Majah, 4/340.
[4] Al-Nawawi, al-Minhaj Syarah Sahih Muslim bin Hajjaj, (Beirut, Dar Ihya al-Turats), 16/143.