Oleh: Hilmi Abdillah*

“Banyak alumni lulusan dari sini sukses. Bukan karena mereka pandai atau cerdas, tapi semua itu karena barokah Yai,” kata Ustadz Utsman sambil melipat sebuah halaman kitab untuk menandai.

Pondok ini mendadak ramai ketika seorang kiai kenamaannya dipanggil Sang Pencipta. Hari itu, langit siang terlihat mendung seperti mau menurunkan butir-butir air hujan. Para santri kebanyakan asik bersantai karena pengajian libur, hanya beberapa yang muthala’ah kitab. Tiba-tiba juga seorang tukang sapu bekerja membersihkan semua halaman pondok yang mestinya masih bersih.

Tepat pukul empat sore, speaker masjid berkoar keras. “Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un.” Seluruh santri kaget, mengucapkan lafal yang sama. Mereka kemudian bangun mengambil pakaian dan peci mereka yang menggantung. Menyambut jenazah Yai yang pulang dari rumah sakit.

Sebelum berangkat ke masjid, Wabil mencatat kata-kata Kang Utsman dan mengingatnya dalam hati dan pikiran. Sore ini hujan turun begitu deras. Rupanya, air-air itu sedari tadi menunggu di atas sana, menyambut pula kedatangan Yai dari rumah sakit. Pakaian dan peci pun kini basah kuyup.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Salah seoang santri ahli hikmah mengadahkan tangannya ke langit, lalu ia gerak-gerakkan tangannya ke arah Timur. Seolah ia menyuruh air-air itu pindah ke lain tempat. Mulutnya berbisik, “Allahumma hawalaina wa la alaina,” Sebuah doa yang berarti: Tuhan, kami sudah berkecukupan air.

Jenazah Yai dikeluarkan dari ambulans dalam keadaan sudah kaku. Seember air kembang di pemandian sudah menunggunya. Pemandian yang hanya ditutup dengan bilik kain putih. Orang-orang yang sejak tadi menunggu di masjid tidak kebasahan air hujan, seperti Pak Takmir. Tapi, speaker masjid kemasukan air dan sekarang imam shalat jenazah harus mengeraskan suaranya.

Setelah hujan reda, menangis seorang abdi dalem di teras rumah Yai. Wabil memperhatikannya sejenak, lalu melenggang. Kenapa ia menangis, padahal Yai dimakamkan dengan cepat. Tidak ada air yang menggenangi liang lahatnya walaupun hujan turun begitu lama. Orang-orang berbisik kalau itu bagian dari karomah Yai. Mungkin saja Yai adalah wali.

Sebelum matahari tenggelam, makam telah sepi oleh pelayat. Kecuali seorang abdi dalem yang menangis di situ. Wabil tak menghiraukannya lagi. Sampai adzan maghrib berkumandang, abdi dalem itu tetap duduk di samping makam Yai.

***

Setelah tujuh hari kematian Yai kegiatan pondok kembali berjalan normal. Yang berubah hanyalah isi dari ucapan wasilah yang bertambah satu orang. Wabil kembali mengaji, dan Ustadz Utsman kembali mengajar. Speaker masjid pun sudah dibetulkan.

“Apa itu barokah?”, Wabil melempar pertanyaan kepada Ustadz Utsman.

Dengan keilmuannya yang lumayan, Ustadz Utsman langsung menjawab, “Barokah hiya ziyadatul khoir. Barokah adalah peningkatan kebaikan.”

“Seperti apa, Ustadz?”

“Jika hari ini kau sedekah lima ratus rupiah, lalu besok kau sedekah seribu rupiah, berarti itu barokah. Jika hari ini kau membaca shalawat seratus kali, lalu besoknya dua ratus kali, berarti itu barokah. Tapi jika hari ini kau ghasab sandal sekali, lalu besoknya dua kali, itu bukan barokah.”

“O, begitu. Lalu apa artinya barokah Yai?”

“Barokah Yai maksudnya, bila kita mendapat barokah dari Yai, maka kita seolah mendapat tambahan kebaikan dari beliau.”

“Kenapa itu bisa terjadi?”

“Ya… karena Yai sayang kepada para santrinya.”

“Apa semuanya?”

“Ya, semuanya. Tak terkecuali.”

“Andai saja ada santri yang nakal, sering melanggar aturan pondok, gak pernah ngaji, apakah dia akan mendapat barokah Yai?”

“Tentu. Yai tetap memberikan barokahnya kepada seluruh santrinya, walaupun santri itu nakal”, Dari bau mulutnya, Ustadz Utsman seperti habis makan bakso.

Wabil mengangguk seolah paham, walaupun sebenarnya ia masih punya pertanyaan panjang yang akan ia lempar lain waktu.

Di hari berikutnya, seperti biasa, Wabil telah menunggu Ustadz Utsman di lantai dua masjid usai maghrib. Mudzakaroh baru akan dimulai ketika Ustadz Utsman datang dan membuka kitab kuningnya. Pelajaran baru sampai di bab shalat witir.

“Ustadz, sebenarnya, barokah Yai itu diberikan oleh Yai atau oleh Allah? Apakah Yai bisa mengatur barokah itu sendiri?”

Ustadz Utsman tidak menjawab. “Seharusnya barokah itu bukan untuk semua santri, tapi sebagian,” lanjut Wabil.

Akhirnya Ustadz Utsman menjawab, “Barokah itu tidak dapat dilihat. Tapi sebagai santri pondok, kita harus percaya itu. Setelah saya pikir-pikir lagi, ternyata benar juga pendapatmu. Barokah itu mungkin buat sebagian santri saja.”

“Lalu, jika Ustadz sudah setuju, bagaimana caranya menjadi orang yang mendapat jatah barokah itu?”

Ustadz Utsman terdiam lagi. Sepertinya ia hanya paham soal definisi barokah, tapi tidak memahami artinya secara mendalam. “Saya belum bisa menjawab. Maaf, kita lanjutkan saja baca kitabnya.”

Di pertengahan bacaan kitab, Wabil melihat seorang santri yang ribut di halaqoh lain. Ia tidak memperhatikan ustadznya yang sedang menerangkan. Wabil memotong, “Akankah barokah diperuntukkan buat santri seperti itu, Ustadz?”

Ustadz Utsman yang sedari kemarin Wabil tanyai tentang barokah sepertinya sudah geregetan. “Wabil, aku pikir kau masih punya banyak pertanyaan tentang barokah. Aku tak bisa menjawab semuanya. Sebaiknya kau tujukan saja kepada Ustadz Umar.”

Satu jam sebelum tengah malam, Wabil bertemu dengan Ustadz Umar di persimpangan jalan. Sepertinya beliau sedang buru-buru, gumam Wabil. “Ustadz, barokah itu diberikan oleh Yai atau Allah?”.  Dia tetap berjalan cepat. Wabil hampir meraih tangannya.

Nampaknya Ustadz Umar tidak kebingungan dengan pertanyaan yang tiba-tiba melucut dari mulut Wabil itu. Ia pun akhirnya memelankan langkah. “Barokah itu seperti jodoh. Sama halnya dengan hidayah. Dan jodoh pasti bertemu.”

“Lalu, bagaimana caranya menemukan jodohku, Ustadz?”

“Jodoh itu kan takdir.”

Wabil dan Ustadz Umar akhirnya duduk di serambi masjid paling Selatan. Di sana agak gelap, dekat dengan tempat wudhu dan jemuran-jemuran santri.

“Takdir kan juga bisa diusahakan?”, wabil belum puas.

“Ya, kau harus rajin belajar, rajin mengaji, tidak usah melanggar aturan pondok. Itulah yang akan mendekatkanmu dengan barokah.”

“Semudah itu?”

Ustadz Umar mengangguk yakin. “Lalu kenapa banyak alumni yang tidak pintar dan dulunya nakal, kemudian menjadi sukses? Bukankah itu karena barokah?”

Ustadz Umar mengangguk kedua kalinya. “Ada yang perlu kau ketahui. Banyak jalan menuju barokah. Yang aku sebutkan tadi hanyalah salah satunya. dan itu cara paling gampang. Mungkin saja alumni yang waktu mondoknya bodoh, nakal, suka ngelanggar itu sangat ta’dhim kepada Yai. Saking ta’dhim-nya, ia mendapat pancaran barokah dari Yai.”

Kini giliran Wabil yang mengangguk. “Umm… kalo begitu, barokah itu dari Yai atau dari Allah?”

“Hakikatnya yang mengatur semuanya adalah Allah. Yai tidak menentukan kau yang akan dapat barokah atau aku. Namun, kebaikan Yai yang seperti samudera itulah yang membuat santrinya mendapat tambahan kebaikan. Seperti gelas yang berlebihan air, lalu airnya tumpah ke tempat yang tidak pernah ditentukan gelas itu.”

Ustadz Umar mengangkat pinggulnya dari tempat duduk. Sebelum ia berdiri penuh, Wabil menahannya dengan sebuah pertanyaan, “Terakhir, Ustadz! Kalau Yai sudah meninggal, apakah beliau masih bisa barokahi?”

“Tentu,” jawab Ustadz Umar singkat.

“Sampai kapan?”

“Sampai kapan pun. Kita takkan pernah tahu.”

“Iya, kita tak mungkin tahu. Maksudku, apakah barokah Yai akan habis pada suatu waktu?”

Ustadz Umar berhenti sejenak. Berpikir. Lalu melanjutkan, “Bagiku, barokah itu tidak akan pernah habis. Ia akan terus memancar. Walaupun Nabi Muhammad sudah meninggal ribuan tahun yang lalu, mungkin saja kau bisa menerima barokahnya. Coba, bila kamu punya api, dan seribu orang datang membawa lilin, menempelkan ujung lilin mereka ke apimu. Apakah apimu akan berkurang? Tidak. Dua ribu lilin? Tidak. Sejuta lilin? Tetap saja. Apimu tetap saja segitu.”

“O, begitu. Jadi sampai hari kiamat pun akan tetap ada orang sukses lulusan pondok ini?”

“Belum tentu. Pada suatu waktu barokah akan berhenti.”

Dahi Wabil mengernyit. “Lho katanya tadi?”

“Aku bilang barokah akan berhenti, bukan habis.”

“Kapan itu?”

“Ketika tidak ada orang yang pantas diberi barokah.”

***

Wabil bangun dari bantal yang amat keras. Ia temui sebuah pancaran cahaya dari makam Yai yang selalu harum bunga. Pundaknya kini telah kosong dari beban. Semua pertanyaannya tentang barokah telah dijawab Ustadz Umar semalam.

“Barokah itu bukan untuk santri ahli hikmah yang bisa mengalihkan hujan. Bukan untuk si tukang sapu yang bersih-bersih saat halaman pondok masih bersih. Bukan untuk abdi dalem yang menangisi Yai sampai di pusara kuburnya. Apalagi untuk santri malas yang ribut saat halaqoh.”

“Lalu buat siapa?”

“Buat orang-orang yang pantas.”

 

*Mahasiswa Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng, aktif di Komunitas Penulis Muda Tebuireng, Sanggar Kepoedang, dan cerpenis muda Tebuireng