Ilustrasi

Oleh: Almara Sukma*

Menawar harga ketika ingin menjual sesuatu pada pedagang kaki lima merupakan hal yang sering terjadi. Hakikatnya, pedagang kaki lima menjual barang dagangannya hanya mengambil upah yang sedikit, mereka berjualan agar mereka bisa bertahan hidup di kemudian hari. Berjualan merupakan sumber penghasilan mereka.

Berbeda halnya dengan berbelanja di toko swalayan, mall, dan yang sejenisnya, pembeli tidak akan menawar harganya. Mereka akan membayar dengan harga yang sudah ditetapkan pada banderol. Meskipun pedagang kaki lima telah memberikan menggunakan sistem yang sama, yakni memberikan banderol pada dagangannya akan tetapi pembeli tetap saja menawar harganya. Sebagaimana kisah berikut.

Pada suatu hari ada seorang kaya raya yang akan melakukan perjalanan ke Jakarta, ia pergi ke sana menggunakan kendaraan pribadinya. Di tengah perjalanan, haus menyerangnnya, dan ia pun berhenti di toko swalayan untuk membeli air mineral agar rasa hausnya segera pergi.

Di depan toko swalayan memang banyak pedagang kaki lima, salah satunya yakni penjual keripik tempe. Setelah selesai membayar ia keluar dari toko, matanya tertuju pada seorang Ibu tua, yang rambut indahnya tertutupi jilbab warna biru sedang berjualan keripik tempe.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Ia mempercepat langkahnya kemudian menghampiri Ibu tersebut, ia memulai membuka percakapan. “Ibu jualan apa?”

Jawab ibu.“Ini mas, saya jualan keripik tempe.”

Tanyanya. “Berapa harga sebungkus Ibu?”

Jawab Ibu. “Murah mas, 5000 ribu saja.”

Ia bertanya lagi. “Rp. 10.000 ribu dapat 3 boleh atau tidak Ibu?”

Ibu penjual yang ramah tersebut, berusaha untuk tetap tersenyum dan menjawab pertanyaannya dengan sopan. “Maaf mas, ini harganya sudah murah, dan sudah dibanderol dengan harga segitu. Tapi kalau kamu mau sedekah dari saya, mas boleh bayar 10.000 dan ambil 3 bungkus. Yang satu sedekah saya untuk mas.”

Seketika ia merasa malau sekali. Bayangkan! Ia seorang kaya raya dan membawa mobil akan diberi sedekah sebungkus keripik tempe oleh seorang ibu tua.

Untuk menutupi rasa malu, ia berusaha berargumentasi kepada Ibu tersebut. “Masak tidak boleh ditawar Ibu, ‘kan tawar menawar merupakan hal yang biasa dalam jual beli.”

Ibu masih menjawab dengan ramah. “ Keripik tempe ini sudah saya beri banderol. Saya mau tanya, apakah tadi di toko swalayan Mas menawar barang yang sudah ada banderolnya?”

Ia semakin malu dan tidak bisa berkata-kata. Kemudian Ibu tua tersebut menyambung ceritanya, “Mas toko swalayan itu miliknya konglomerat, orang yang hartanya berlimpah, mas pasti kenal pemiliknya. Mungkin uang sumbangan yang Anda donasikan lewat bon belanja itu dia kumpulin, jika dikumpulin se-Indonesia, dalam sehari bisa puluhan milyar rupiah, betul tidak? Itu baru dari donasinya saja. Pemilik toko swalayan itu juga punya beberapa perusahaan besar lain, bahkan mungkin punya partai politik juga.”

Waduh, Ia tambah malu dan cuma bisa menunduk dengan rasa menyesal karena telah menawar.

Lalu Ibu tua menambahkan lagi dengan senyumnya. “Kalau saya jualan keripik tempe ini cuma untuk nyambung hidup, untuk menyekolahkan anak saya di pesantren, dan untuk bayar kontrakan rumah saya tiap bulan. Boro-boro mau bikin partai, buat makan harian saja saya harus mangkal di sini dari jam 2 siang kadang sampai jam 10 malam baru habis. Bagi saya yang penting berkah dan halal.”

Tak terasa tenggorokan seorang kaya raya itu tercekat, dadanya terasa sesak dan matanya mulai meneteskan air mata. Ia memandangi wajah Ibu tua tersebut, dan berkata dalam hati. “Sepertinya Ibu ini bukan orang tua sembarangan yang tak berpendidikan sama sekali.”

Si kaya raya malu sekali, malu hati sendiri, dengan celotehan Ibu yang tadinya ia anggap sepele. Ada perasaan berdosa menzhalimi orang tua yang masih mau bersusah payah mencari uang. Terus terang ia menjadi teringat almarhum orang tua sendiri.

Akhirnya ia sadar, ia segera mengambil dompet di saku celananya dan ia minta dibungkuskan 4 bungkus kripik tempe. Kemudian Ibu membugkuskannya dan mengasihkan keripik kepadanya, sambil berkata: “Ini saya lebihkan sebungkus buat anak-anak kamu dalam mobil itu.”

Lalu ia menggenggamkan uang ratus ribuan tiga lembar sambil menyalami tangannya agak lama sebagai tanda terima kasihnya kepada orang yang telah menyadarkannya.

“Lho mas, ini uangnya kelebihan,” ungkapnya.

Lalu ia menjawab pelan. “Ambillah, buat Ibu, saya ikhlas. Buat bantu-bantu uang sekolah anak ibu,” katanya. Berganti Ibu tua itu yang tidak dapat berkata – kata dan ada bulir bening menggelembung di sudut mata tuanya.

Menawar boleh, akan tetapi jangan sampai menawar harga berlebihan. Semoga kita diberikan kelancaran rizki sehingga mampu membeli jualannya pedagang kecil tanpa menawar.


*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari