Terbatasnya kesempatan untuk bercakap, bergaul, dan bertemu langsung dengan rekan sebaya, baik pada anak, remaja, maupun orang dewasa, semasa pandemi memang dapat menurunkan minat dan keterampilan bersosialisasi pada diri seseorang. Agustine Dwiputri mencatat saat ini ada penurunan keterampilan sosial yang dialami oleh anak-anak, terutama Generasi-Z (kelahiran 1997-2012).[1]
Beberapa gejala yang tampil, misalnya, banyak murid tidak merasa perlu mengucapkan salam kepada gurunya ketika berjumpa di pagi hari, anak yang kurang hangat dan terbuka berelasi dengan orangtuanya, rekan kerja yang kurang dapat ikut merasakan kesulitan yang tengah dialami sesamanya ketika harus bekerja sama ataupun atasan yang kurang menampilkan apresiasi dan kepedulian pada bawahannya.
Masdar Hilmy juga mencatat adanya gejala nomofobia (kecanduan ponsel) pada Gen-Z. “Nurani kemanusiaan mana yang tidak terkoyak membaca berita pilu nan viral ini: murid SD di Cirebon mengalami depresi berat gegara ponsel yang dia beli dari hasil menabung dijual ibunya untuk menutupi kebutuhan sehari-hari. Buntutnya, anak tersebut sering uring-uringan. Bahkan, dia pernah pergi dari rumah tanpa arah hingga mengancam mogok sekolah. Si ibu tidak pernah menyangka bahwa tindakannya dapat menyebabkan dampak seburuk itu.” Begitu katanya dalam Opini Jawa Pos 17 Mei 2024.[2]
Yang tersebut merupakan bukti menurunnya keterampilan sosial yang baik pada Gen-Z. Ciri seseorang mempunyai keterampilan yang baik yakni: percaya diri dalam situasi sosial; mengenali emosi orang lain; paham ketika mereka membuat kesalahan sosial; dapat mengekpresikan emosinya dengan cara yang sadar secara sosial; dapat mengindentifikasi isyarat sosial seputar humor, sarkasme, dan ironi; mampu menyeimbangkan kejujuran dan kearifan. Keterampilan sosial juga keseimbangan percakapan, yakni menemukan topik menarik dan menyeimbangkan antara berbicara dan mendengarkan.
Sementara ciri seorang punya keterampilan sosial yang buruk; sering merasa tersesat dalam situasi sosial; harus berjuang untuk memahami perasaan orang lain; sering mengatakan atau melakukan hal yang salah, tetapi tidak yakin mengapa demikian. Mereka juga berjuang untuk dapat mengekpresikan emosi negatif seperti frustasi dan kemarahan, atau mengekpresikannya terlalu kuat, tidak tahu kapan seseorang sedang bercanda atau menyindir.
Agaknya generasi-Z perlu belajar dari Nabi tentang keterampilan sosialnya. Ada beberapa hal yang perlu ditiru dari Nabi soal keterampilan sosial.
Hadis tentang Mendahulukan yang Lebih Tua dalam Berbicara
“Rasulullah salallahu alaihi wasallam bersabda: “Yang lebih tua, yang lebih tua.” Yahya berkata; “Maksudnya hendaknya yang paling tua yang lebih dulu angkat bicara.” (HR. Bukhari No: 5677). Hadis ini tentu penting dijadikan pedoman bagi seseorang ketika berkomunikasi dengan orang yang lebih tua, atau orang lain pada umumnya. Bahkan Ibnu Hajar meluaskan bukan hanya kepada orang tua saja, melainkan yang termasuk lebih alim.
Hadis tentang Menjauhi Perdebatan dengan Lawan Bicara
“Barangsiapa meninggalkan dusta, sementara dia bathil, maka akan dibangunkan baginya istana di tepian surga. Barangsiapa meninggalkan debat meskipun ia benar, maka akan dibangunkan baginya istana di tengah surga. Barangsiapa memperbaiki akhlaknya maka baginya akan dibangunkan istana di surga yang paling tinggi.” (HR. Ibnu Majah No: 50). Salah satu bentuk keterampilan sosial yang baik yakni tidak mendebat seseorang meski ia benar. Hal tersebut menunjukan bahwa meninggalkan debat meskipun dalam perkara yang benar akan lebih utama dari sekedar mengungkapkan apa adanya.
Peduli Teman Meski Sama-sama Tertekan
Kalangan Islam yang mampu melaksanakan saling cinta kasih itu adalah para sahabat di abad pertama hijriyah. Perang Yarmuk, ada sahabat namanya Abu Jahm ibn Hudzaifah. Abu Jahm ini punya saudara misanan yang juga ikut perang, tapi ternyata dia tidak pulang-pulang. Akhirnya Abu Jahm mencarinya sambil membawa air minum. Dan memang betul saudara misanan itu terluka parah. Air itu belum sampai di mulut, saudaranya mendengar rintihan orsng lain. Dia mengisyaratkan agar memberikan air itu. Ternyata orang itu adalah Hisyam. Namun, air belum sampai di mulut Hisyam, ia mendengar rintihan yang lain. Ia tak mau meminumnya. Hal itu terus dilakukan oleh para sahabat.
Sebenarnya masih banyak peristiwa yang tergambarkan oleh riwayat-riwayat tentang bentuk kearifan dan keterampial sosial Nabi Muhammad, para sahabat, serta tabiin. Tentu cara-cara yang mereka praktikkan dalam sosial kemasyarakatan dapat kita tiru, tanpa merasa Muhammad Nabi sementara kitai hanya insan biasa.
Penulis: Yuniar Indra Yahya
(Mahasantri M2 Mahad Aly Tebuireng)
[1] https://www.kompas.id/baca/opini/2024/05/17/keterampilan-sosial
[2] https://www.jawapos.com/nasional/014661099/mengatasi-sindrom-nomofobia-gen-z