Sebuah suasana bahagia keluarga yang damai dan kompak.

“Kelak, kita akan hidup bersama dan apapun yang terjadi kita harus hadapi bersama-sama.” Sebuah kalimat yang pernah Angga dan Indah sepakati sebelum mereka memutuskan untuk menjalin ikatan sakral dalam pernikahan.

Mereka adalah sepasang manusia yang harus tinggal di bawah satu atap, bukanlah hal yang mudah walau semua mengimpikan akhir yang indah. Seperti yang dialami oleh Angga dan Indah, suami istri yang telah bersama lebih dari lima tahun, namun perjalanan mereka sebagai suami-istri selalu dipenuhi dengan pembelajaran dan tantangan yang tak terduga.

Sejak awal menikah, mereka berdua sepakat untuk membangun rumah tangga yang sakinah, mawaddah wa rahmah, serta maslahah—sebuah keluarga yang tidak hanya berfokus pada kebahagiaan pribadi, tetapi juga pada kebahagiaan bersama dan kebaikan untuk orang lain. Namun, seperti kebanyakan pasangan lainnya, jalan menuju tujuan tersebut tidak pernah mulus.

Suatu malam, Angga pulang kerja lebih larut dari biasanya. Tiba di rumah, ia langsung menuju meja makan di ruang tengah, tempat Indah sedang duduk sambil membuka laptop. Indah menatapnya dengan senyum tipis, meski matanya terlihat lelah. Sejak pagi, ia telah mengurus segala hal di rumah dan mengerjakan tugas-tugas freelance sebagai seorang desainer grafis. Tapi meski penat, ia tak ingin menampilkan ketidakpuasannya.

“Angga, hari ini berat sekali. Kayaknya aku butuh bantuan,” ujar Indah, memandangi suaminya dengan tatapan penuh pengertian.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Angga menarik kursi dan duduk di hadapannya. “Ada apa, Sayang?” tanyanya lembut. Wajah Indah memancarkan kelelahan yang sudah tak bisa ditutupi lagi.

“Sekolah anak-anak mulai padat, pekerjaan juga semakin banyak. Aku merasa terjebak dalam rutinitas yang tak ada habisnya. Terkadang aku merasa, aku nggak punya waktu untuk diri sendiri,” ungkap Indah.

Angga menatap Indah dengan perhatian penuh. Sejak menikah, mereka sudah sepakat untuk berbagi peran. Meskipun Angga bekerja penuh waktu sebagai manajer pemasaran, ia juga terlibat dalam pengasuhan anak-anak mereka yang masih kecil—Nabila yang berusia 6 tahun dan Ilham yang baru berusia 3 tahun. Angga tidak ingin merasa seperti “suami yang hanya bekerja” dan “istri yang hanya mengurus rumah”. Mereka berdua percaya bahwa keseimbangan adalah kunci.

Namun, akhir-akhir ini, keseimbangan itu mulai rapuh.

“Sayang, aku tahu kita berdua sama-sama lelah. Aku juga merasa aku kurang membantu di rumah. Tapi kita ini tim, kan? Mari kita coba cari cara baru untuk berbagi tugas dan tanggung jawab. Aku akan lebih banyak melibatkan diri di urusan anak-anak dan rumah,” Angga berkata dengan penuh tekad.

Indah memandang suaminya. “Tapi, yah… kadang aku merasa, pekerjaanmu di luar sana sudah cukup berat. Aku nggak mau kamu merasa kewalahan juga,” jawab Indah, berusaha memahami kekhawatiran suaminya.

“Justru karena kita menjalani ini bersama, maka kita harus berbagi, bukan?” Angga mengangkat bahu. “Bukan hanya masalah pekerjaan atau rumah tangga, tapi juga soal emosi dan perasaan. Kita nggak boleh menahan beban sendiri. Aku ingin kita berdua sama-sama merasa bahagia.”

Indah menghela napas panjang. Ia tahu bahwa Angga memang selalu berusaha untuk memahami dirinya, dan dia pun berusaha memahami Angga. Mereka berdua memiliki prinsip yang sama—pernikahan bukan hanya tentang mencintai satu sama lain, tetapi juga tentang saling mengerti dan mendukung dalam segala hal.

*******

Keesokan harinya, Angga mulai mengambil alih tugas yang biasa dilakukan Indah, seperti memandikan anak-anak dan menyiapkan sarapan. Meskipun awalnya sedikit kikuk, lama-kelamaan ia mulai menikmati waktu yang dihabiskan bersama anak-anaknya. Mereka bercanda dan bermain di pagi hari, menciptakan momen kebersamaan yang selama ini sering terabaikan oleh rutinitas yang padat.

Indah pun merasa lega. Ia merasa lebih ringan karena bisa sedikit melepas beban. Walaupun harus mengatur waktu dengan ketat antara pekerjaan freelance-nya dan mengurus rumah, ia tidak merasa sendirian lagi.

Namun, perjuangan mereka tidak berhenti di situ. Suatu hari, saat Angga pulang lebih awal dari biasanya, ia mendapati Indah duduk di depan laptop, tampak serius bekerja. Angga mengangguk pelan, mengerti bahwa istrinya sedang menyelesaikan deadline penting.

“Sayang, kamu sudah makan?” Angga bertanya sambil mengambil kotak makanan di dapur.

Indah menatapnya sebentar. “Belum… Aku masih sibuk dengan proyek ini. Satu lagi jam lagi, Angga.”

Angga mendekat, duduk di sebelah Indah, dan memandangi layar laptop. “Aku paham, Indah. Tapi, kamu sudah kerja keras seharian. Kita bisa atur waktu untuk ini nanti, kan?” Angga berkata lembut.

Indah menghela napas. “Aku merasa aku harus terus bekerja keras. Proyek ini penting untuk karierku. Tapi, aku nggak mau sampai melupakan keluarga. Kadang aku merasa terpecah.”

Angga mengelus punggung Indah dengan lembut. “Indah, kita ini satu tim. Kamu harus percaya, aku di sini untuk mendukungmu, bukan hanya di rumah, tapi juga dalam kariermu. Jangan merasa kamu harus memilih antara kami dan pekerjaanmu.”

Indah memandang suaminya dengan mata berkaca-kaca. “Aku tahu… Aku cuma takut kalau aku gagal menyeimbangkan semuanya,” ujarnya dengan suara pelan.

Angga tersenyum dan merangkul Indah. “Tak ada yang namanya sempurna. Yang terpenting adalah kita selalu saling mendukung. Jangan takut untuk jatuh, karena kita akan saling mengangkat satu sama lain.”

Pada malam itu, setelah anak-anak tidur, mereka duduk bersama di ruang tamu. Angga memegang tangan Indah, dan mereka mulai berbicara tentang masa depan mereka. Mereka menyadari bahwa tidak ada satu pun perjalanan yang mudah. Namun, selama mereka saling mengerti, saling mendukung, dan terus berbagi, mereka akan melewati setiap cobaan bersama.

Rumah tangga mereka mungkin penuh dengan perjuangan, tetapi di dalamnya terdapat cinta yang tak pernah pudar. Mereka tahu bahwa kebahagiaan tidak datang dari kemudahan, tetapi dari keberanian untuk terus berjuang bersama. Dan selama mereka berdua bersatu, mereka akan selalu menemukan jalan untuk meraih tujuan bersama.

Dalam perjalanan panjang mereka, Angga dan Indah belajar bahwa rumah tangga yang sakinah, mawaddah wa rahmah bukan hanya tentang saling mencintai, tetapi juga tentang saling memahami, berbagi beban, dan mengedepankan kemaslahatan keluarga. Mereka adalah dua pribadi yang tidak sempurna, tetapi bersama-sama, mereka menciptakan keharmonisan yang abadi.



Penulis: Ummu Masrurah, alumnus An-Nuqayah Sumenep